Kaleidoskop 2022: Siklus Komoditas Berubah Terdampak Perang Rusia Ukraina
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pergantian tahun tinggal menghitung hari. Awal 2022 lalu dunia dikejutkan dengan perang Rusia Ukraina yang terjadi 24 Februari 2022. Pandemi yang belum selesai ditambah konflik Rusia Ukraina mengubah siklus komoditas global.
Harga komoditas naik tinggi akibat terdampak perang, di antaranya nikel terganggu karena Rusia sebagai pemasok 10% kebutuhan dunia. Rusia juga sebagai penghasil paladium terbesar di dunia dan memasok 5% kebutuhan alumunium global.
Harga komoditas energi seperti minyak, gas dan batubara ikut meningkat. Kenaikan beberapa komoditas mendorong inflasi global lebih tinggi. Namun, kenaikan batubara menjadi sentimen positif bagi Indonesia akan tetapi kenaikan komoditas yang lain menjadi hambatan perekonomian.
Perubahan siklus komoditas tersebut menolong Indonesia dari kontraksi ekonomi. Inflasi tinggi telah mendorong banyak negara menyesuaikan kebijakan fiskal dan moneter lebih ketat. Hal ini menjadi hambatan pemulihan ekonomi.
Pengetatan kebijakan memaksa Bank Sentral mengerek suku bunga untuk mengendalikan inflasi. Langkah tersebut dilakukan The Fed kemudian diikuti bank sentral global. Mengutip BBC, Chairman The Fed Jerome Powell berahap langkah tersebut dapat meredam gejolak inflasi. Pada 17 Maret, The Fed menaikkan suku bunga 26 basis poin (bps) dilanjutkan kenaikan suku bunga 5 bps pada 5 Mei lalu.
The Fed terus mengerek suku bunga pada 16 Juni 75 bps diteruskan hingga 15 Desember 50 bps dengan bunga acuan 4,25-4,5%. Langkah The Fed diikuti European Central Bank dan Bank of England (BOE) lebih agresif. Bank Indonsia (BI) juga ikut mengerek suku bunga di tengah inflasi yang masih cukup terkendali.
Kenaikan suku bunga diproyeksikan mencapai puncak di semester II 2023. The Fed diperkirakan menaikkan suku bunga 50-75 bps menjadi 5%-5,25% sampai pertengahan tahun depan. Kebijakan moneter masih berpotensi menurunkan aktivitas ekonomi dan mendorong sejumlah negara masuk jurang resesi tahun depan. Eropa bahkan diprediksi menghadapi periode yang lebih suram. Ekonomi Indonesia diprediksi tetap tumbuh positif meskipun mengalami perlambatan.
Sementara, harga komoditas energi masih sulit diprediksi tahun depan. Namun, kenaikan harga masih cukup kuat setidaknya hingga kuartal I 2023. Semakin lama konflik terjadi, maka salah satu potensi yang paling mungkin adalah pelaku pasar mencari pasokan alternatif pengganti energi.
Penentu arah komoditas energi selanjutnya bakal ditentukan pada akhir Desember 2022. Kenaikan permintaan ini tentunya juga menjadi sentimen positif pendongkrak harga komoditas terkait yakni batubara, minyak mentah ataupun gas alam. Terutama pelonggaran aktivitas di China akan mendorong permintaan energi lebih besar tahun depan.
Harga komoditas naik tinggi akibat terdampak perang, di antaranya nikel terganggu karena Rusia sebagai pemasok 10% kebutuhan dunia. Rusia juga sebagai penghasil paladium terbesar di dunia dan memasok 5% kebutuhan alumunium global.
Harga komoditas energi seperti minyak, gas dan batubara ikut meningkat. Kenaikan beberapa komoditas mendorong inflasi global lebih tinggi. Namun, kenaikan batubara menjadi sentimen positif bagi Indonesia akan tetapi kenaikan komoditas yang lain menjadi hambatan perekonomian.
Perubahan siklus komoditas tersebut menolong Indonesia dari kontraksi ekonomi. Inflasi tinggi telah mendorong banyak negara menyesuaikan kebijakan fiskal dan moneter lebih ketat. Hal ini menjadi hambatan pemulihan ekonomi.
Pengetatan kebijakan memaksa Bank Sentral mengerek suku bunga untuk mengendalikan inflasi. Langkah tersebut dilakukan The Fed kemudian diikuti bank sentral global. Mengutip BBC, Chairman The Fed Jerome Powell berahap langkah tersebut dapat meredam gejolak inflasi. Pada 17 Maret, The Fed menaikkan suku bunga 26 basis poin (bps) dilanjutkan kenaikan suku bunga 5 bps pada 5 Mei lalu.
The Fed terus mengerek suku bunga pada 16 Juni 75 bps diteruskan hingga 15 Desember 50 bps dengan bunga acuan 4,25-4,5%. Langkah The Fed diikuti European Central Bank dan Bank of England (BOE) lebih agresif. Bank Indonsia (BI) juga ikut mengerek suku bunga di tengah inflasi yang masih cukup terkendali.
Kenaikan suku bunga diproyeksikan mencapai puncak di semester II 2023. The Fed diperkirakan menaikkan suku bunga 50-75 bps menjadi 5%-5,25% sampai pertengahan tahun depan. Kebijakan moneter masih berpotensi menurunkan aktivitas ekonomi dan mendorong sejumlah negara masuk jurang resesi tahun depan. Eropa bahkan diprediksi menghadapi periode yang lebih suram. Ekonomi Indonesia diprediksi tetap tumbuh positif meskipun mengalami perlambatan.
Sementara, harga komoditas energi masih sulit diprediksi tahun depan. Namun, kenaikan harga masih cukup kuat setidaknya hingga kuartal I 2023. Semakin lama konflik terjadi, maka salah satu potensi yang paling mungkin adalah pelaku pasar mencari pasokan alternatif pengganti energi.
Penentu arah komoditas energi selanjutnya bakal ditentukan pada akhir Desember 2022. Kenaikan permintaan ini tentunya juga menjadi sentimen positif pendongkrak harga komoditas terkait yakni batubara, minyak mentah ataupun gas alam. Terutama pelonggaran aktivitas di China akan mendorong permintaan energi lebih besar tahun depan.