KPPU Putus Bersalah 7 Maskapai, Pengamat: Perlu Sinkronisasi UU
loading...
A
A
A
JAKARTA - Keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang menetapkan vonis bersalah kepada sebanyak tujuh maskapai karena diduga menetapkan harga tiket bersama-sama pada periode 2018-2019 menunjukkan tidak sinkronnya landasan hukum yang berlaku.
Pengamat penerbangan Gatot Rahardjo mengatakan, perlu ada sinkronisasi dua Undang Undang yakni UU KPPU dan UU Penerbangan. Menurutnya apa yang dilakukan maskapai pada perode tersebut tidak melanggar aturan karena sesuai dengan UU Penerbangan dan Peraturan Menteri Perhubungan dimana tarif tiket pesawat mengacu pada tarif batas atas dan batas bawah.
"Ya, sebenarnya tidak ada masalah kalau di UU penerbangan karena semua mengacu berdasarkan mekanisme tarif dari regulator Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Nah, akan berbeda kalau acuannya UU KPPU,” ucapnya saat dihubungi SINDOnews.com di Jakarta, Senin (13/7/2020).
Gatot mengatakan, penerapan soal tarif diawasi pelaksanaannya oleh regulator penerbangan udara. Sedangkan KPPU , kata dia, menyandarkan fakta pada penelusuran penerapan tarif dalam jangka dua tahun tersebut (2018-2019). "Makanya putusan KPPU tidak ada menyebutkan UU Penerbangan sehingga ini diperlukan sinkronisasi, sebab kalau begini terus, yang ada malah citra buruk perusahaan penerbangan itu sendiri," ungkapnya.
Dia menambahkan, putusan KPPU kepada tujuh maskapai tersebut bukan berupa denda namun meminta mekanisme keterbukaan kebijakan tarif pada sebanyak tujuh maskapai tersebut. "Jadi bukan denda, tapi bersalah karena ada dugaan kartel sehingga mereka (KPPU) meminta ada keterbukaan pada kebijakan tarif yang ditetapkan maskapai. Tidak masalah soal kebijakan keterbukaan tarif ini bagi perusahaan publik, namun yang belum go public, ya pastinya merasa keberatan, karena itu sinkronisasi perlu biar kedepan tidak membingungkan dengan dua UU," tandasnya.
Seperti diketahui, Lion Air Group resmi mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terkait penetapan harga tiket pesawat penumpang kelas ekonomi pada periode 2018-2019. Communications Strategic of Lion Air Group, Danang Mandala Prihantoro, mengatakan, surat keberatan sudah diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Jumat (10/7). "Lion Air Group sudah mengajukan keberatan, di mana kami tidak terima atas hasil putusan tersebut dan akan mengambil jalur sesuai dengan proses hukum berlaku," ungkapnya.
Pada 23 Juni 2020, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menetapkan 7 maskapai penerbangan terbukti bersalah atas kasus penetapan harga tiket pesawat. Hal itu diputuskan dalam perkara Nomor 15/KPPU-I/2019 tentang Dugaan Pelanggaran Pasal 5 dan Pasal 11 UU Nomor 5 Tahun 1999 terkait Jasa Angkutan Udara Niaga Berjadwal Penumpang Kelas Ekonomi Dalam Negeri. Adapun 7 maskapai terlapor atas kasus tersebut yakni PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, PT Citilink Indonesia, PT Sriwijaya Air, PT NAM Air, PT Batik Air, PT Lion Mentari, dan PT Wings Abadi.
Pengamat penerbangan Gatot Rahardjo mengatakan, perlu ada sinkronisasi dua Undang Undang yakni UU KPPU dan UU Penerbangan. Menurutnya apa yang dilakukan maskapai pada perode tersebut tidak melanggar aturan karena sesuai dengan UU Penerbangan dan Peraturan Menteri Perhubungan dimana tarif tiket pesawat mengacu pada tarif batas atas dan batas bawah.
"Ya, sebenarnya tidak ada masalah kalau di UU penerbangan karena semua mengacu berdasarkan mekanisme tarif dari regulator Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Nah, akan berbeda kalau acuannya UU KPPU,” ucapnya saat dihubungi SINDOnews.com di Jakarta, Senin (13/7/2020).
Gatot mengatakan, penerapan soal tarif diawasi pelaksanaannya oleh regulator penerbangan udara. Sedangkan KPPU , kata dia, menyandarkan fakta pada penelusuran penerapan tarif dalam jangka dua tahun tersebut (2018-2019). "Makanya putusan KPPU tidak ada menyebutkan UU Penerbangan sehingga ini diperlukan sinkronisasi, sebab kalau begini terus, yang ada malah citra buruk perusahaan penerbangan itu sendiri," ungkapnya.
Dia menambahkan, putusan KPPU kepada tujuh maskapai tersebut bukan berupa denda namun meminta mekanisme keterbukaan kebijakan tarif pada sebanyak tujuh maskapai tersebut. "Jadi bukan denda, tapi bersalah karena ada dugaan kartel sehingga mereka (KPPU) meminta ada keterbukaan pada kebijakan tarif yang ditetapkan maskapai. Tidak masalah soal kebijakan keterbukaan tarif ini bagi perusahaan publik, namun yang belum go public, ya pastinya merasa keberatan, karena itu sinkronisasi perlu biar kedepan tidak membingungkan dengan dua UU," tandasnya.
Seperti diketahui, Lion Air Group resmi mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terkait penetapan harga tiket pesawat penumpang kelas ekonomi pada periode 2018-2019. Communications Strategic of Lion Air Group, Danang Mandala Prihantoro, mengatakan, surat keberatan sudah diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Jumat (10/7). "Lion Air Group sudah mengajukan keberatan, di mana kami tidak terima atas hasil putusan tersebut dan akan mengambil jalur sesuai dengan proses hukum berlaku," ungkapnya.
Pada 23 Juni 2020, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menetapkan 7 maskapai penerbangan terbukti bersalah atas kasus penetapan harga tiket pesawat. Hal itu diputuskan dalam perkara Nomor 15/KPPU-I/2019 tentang Dugaan Pelanggaran Pasal 5 dan Pasal 11 UU Nomor 5 Tahun 1999 terkait Jasa Angkutan Udara Niaga Berjadwal Penumpang Kelas Ekonomi Dalam Negeri. Adapun 7 maskapai terlapor atas kasus tersebut yakni PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, PT Citilink Indonesia, PT Sriwijaya Air, PT NAM Air, PT Batik Air, PT Lion Mentari, dan PT Wings Abadi.
(nng)