Proyek Kontroversi Reklamasi Pantai Utara Jakarta

Minggu, 11 September 2016 - 10:59 WIB
Proyek Kontroversi Reklamasi Pantai Utara Jakarta
Proyek Kontroversi Reklamasi Pantai Utara Jakarta
A A A
GANTI pajabat, ganti pemerintah, ganti aturan, ganti kebijakan. Hal ini sepertinya lumrah terjadi di negeri ini. Kepastian hukum dan aturan masih menjadi tanda tanya besar di tengah semangat reformasi birokrasi yang didengung-dengungkan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK).

Sebagai contoh nyata adalah pembangunan proyek kontroversi reklamasi Pantai Utara Jakarta atau Teluk Jakarta. Menteri Koordinator bidang Kemaritiman (Menko Kemaritiman) Luhut Binsar Pandjaitan memutuskan untuk membuka kembali izin proyek reklamasi Pulau G di Pantai Utara Jakarta. Padahal, sebelumnya di era Rizal Ramli, Kemenko Kemaritiman telah menyegel proyek tersebut dengan menghentikan pembangunan karena banyak pelanggaran berat.

Kebijakan Luhut juga kontra dengan kementerian teknis di bawahnya. Koordinasi antara Kemenko Kemaritiman dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) kini tidak harmonis terkait kebijakan reklamasi tersebut.

Hal ini terlihat usai rapat paripurna di Istana Kepresidenan, Jakarta. Raut wajah Menteri KKP Susi Pudjiastuti berbeda dari biasanya, yang kerap ceria penuh canda tatkala bercengkerama dengan media. Ditanya pendapatnya soal keputusan Menko Kemaritiman Luhut yang melanjutkan reklamasi Pulau G, Susi cemberut, dan mengangkat bahu tanpa bicara sepatah kata pun.

Gesturnya seolah menunjukkan dirinya tidak bahagia dengan keputusan sang Menko. Susi sendiri dikenal salah satu menteri yang tegas menolak reklamasi Pulau G dilanjutkan. Dia pernah mengecam karena kegiatan reklamasi tersebut termasuk pelanggaran berat. Karena mengancam kehidupan biota laut serta kehidupan nelayan di daerah sekitar.

"Misi Kementerian Kelautan dan Perikanan bukan hanya soal kedaulatan perairan, juga keberlanjutan potensi perikanan dalam negeri," tegasnya.

Diberondong pertanyaan wartawan, Susi berujar singkat. Meminta wartawan menanya langsung kepada empunya keputusan. "Tanya sama beliau keputusan melanjutkan reklamasi Pulau G. Ya kan koordinator Pak Luhut. Ya sudah," ujarnya, dengan nada kecewa di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (9/9/2016).

Bila Susi tampak cemberut, hal ini kontras terjadi pada Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Mukanya tampak cerah sembari memilih menunggu surat keputusan dari Luhut, sebelum melanjutkan reklamasi Pulau G.

"Ya, kita senang saja (reklamasi Pulau G dilanjutkan). Berarti semua pihak diuntungkan lagi. Nanti tunggu surat resmi saja. Kalau enggak ya langsung kita perintahkan saja. Kan mereka ikutin prosedur. Tinggal tulis surat saja. Saya lihat dulu aturannya," katanya.

Setelah ada surat resmi dari Menko bidang Kemaritiman, lanjut dia, pengembang tinggal melanjutkan kegiatannya di lepas pantai Teluk Jakarta tersebut. "Kita tunggu suratnya. Berarti masa moratorium selesai, mereka tinggal melanjutkan saja proses pelaksanaan reklamasinya," ujar Ahok.

Menurutnya, pengembang tidak akan mengalami kesulitan untuk melanjutkan kegiatannya tersebut meskipun sempat dimoratorium selama enam bulan. Hanya saja, pengembang rugi lantaran kegiatan reklamasi sempat dihentikan.

"Enggak ada (kesulitan memulai kembali reklamasi). Selama enam bulan tidak ada yang sulit. Perusahaan rugi saja. Enggak tahu ruginya berapa karena kapal-kapal sudah kontrak kan mereka mesti bayar," ungkapnya.

Gonjang ganjing nasib reklamasi Pulau G seolah sudah bisa ditebak, selepas dicopotnya Menko bidang Kemaritman Rizal Ramli. Luhut, berdalil dirinya telah meninjau langsung lokasi reklamasi di Pulau G. Menurutnya, hal-hal yang ditakutkan selama ini tidak terbukti sehingga kegiatan reklamasi di Pulau G diputuskan untuk dilanjutkan.

"Kami sudah putuskan, kami putuskan ya kami lanjuti. Semua yang kami lihat seperti dampak yang ditakutkan dari aspek hukum, aspek lingkungan, PLN, tidak ada masalah," katanya, Jumat (9/9/2016).

Mantan Menko bidang Politik Hukum dan Keamanan ini menerangkan, pihaknya juga telah melakukan rekayasa engineering dan hasilnya semua bisa dilakukan. Dia telah mendiskusikan dalam hal ini dengan PT PLN (Persero) dan BPPT.

"Semua ahli saya sertakan, jadi jangan kita bicara dipolitisasi. Saya mau semua bicara profesional, itu semua sudah kami lakukan assessment dan kami sampai pada kesimpulan bahwa keputusan untuk melanjutkan itu yang terbaik," tegasnya.

Menurut Luhut, hal ini sejatinya menyangkut reputasi pemerintah. Sejak zaman Presiden Soeharto sudah diputuskan untuk ada kegiatan reklamasi di Pantai Utara Jakarta. Jadi pemerintah pun harus konsisten dengan keputusan tersebut.

"Dan menurut kami memang ada penyesuaian di sana-sini, dari lingkungan hidup juga. Tapi ternyata semua sudah dipenuhi dan semua bisa jalan," tandasnya.

Pelanggaran Berat

Sebelumnya, mantan Menteri Koordinator (Menko) bidang Kemaritiman Rizal Ramli memutuskan untuk membatalkan pembangunan Pulau G , terkait reklamasi di lepas pantai Teluk Jakarta. Pasalnya, pembangunan Pulau G membahayakan dan terindentifikasi masuk dalam pelanggaran kategori berat.

Menurutnya, pulau reklamasi yang masuk dalam pelanggaran berat adalah pulau yang keberadaannya membahayakan lingkungan hidup, proyek vital strategis, pelabuhan, dan lalu lintas laut. ‎"Sebagai contoh, komite gabungan dan para menteri sepakat bahwa Pulau G masuk dalam pelanggaran berat," katanya di Gedung BPPT, Jakarta, Kamis (30/6/2016).

Menurut Rizal, Pulau G masuk dalam kategori pelanggaran berat lantaran di bawah pulau tersebut banyak terdapat kabel jaringan listrik milik PLN. Selain itu, keberadaan pulau tersebut juga mengganggu lalu lintas kapal nelayan.

"‎Di bawahnya itu banyak kabel yang terkait dengan listrik, powerstation milik PLN. Ini juga mengganggu lalu lintas kapal nelayan," imbuhnya.

Mantan Menko bidang Perekonomian ini menjelaskan, sebelum ada pulau tersebut, kapal-kapal nelayan mudah mendarat dan parkir di Muara Angke. Namun, semenjak adanya pembangunan Pulau G, pengembang membuat pagar penutup hingga daratan.

"Sebelum ada pulau itu, kapal nelayan dengan mudah mendarat, parkir di Muara Angke. Tapi begitu pulau ini dibikin, dia tutup sampai daratan sehingga kapal-kapal mesti muter dulu. Ngabisin solar baru bisa parkir," bebernya.

Tidak hanya itu, Rizal juga menilai tata cara pembangunan Pulau G secara teknis sangat sembarangan, merusak lingkungan, dan mematikan sistem biota laut. ‎"Jadi kesimpulan kami atas pelanggaran ini, Pulau G kami putuskan dibatalkan untuk waktu seterusnya," tandas pria yang dikenal dengan Rajawali Kepretnya itu.

Dia mengatakan, proses pembuatan daratan baru dari dasar laut atau reklamasi sejatinya hal yang biasa di seluruh dunia. Namun, Rizal menekankan bahwa negara tidak bisa diatur oleh pengembang terkait reklamasi yang dilakukan di 17 pulau Pantai Utara, Jakarta.

Rizal menyatakan, pengembang harus mematuhi aturan yang dibuat negara dalam melaksanakan kegiatan reklamasi di wilayah pesisir Jakarta. Selain itu, risiko terhadap lingkungan hidup, kemungkinan banjir, dan risiko terhadap jalur lalu lintas laut juga harus diperhatikan.

"‎Tidak bagus kalau reklamasi di-drive atau dikendalikan swasta. Swasta yang mengatur mesti begini, rancangan sudah ada," katanya.

Selain itu, lanjut mantan Menko bidang Perekonomian ini, kegiatan reklamasi juga harus mengandung tiga kepentingan, yaitu kepentingan negara, kepentingan rakyat, dan kepentingan bisnis.

Dia juga meminta agar dampak terhadap ‎lingkungan harus diminimalisir, risiko terhadap banjir harus dikurangi, dan aspek penerimaan negara harus dipenuhi.

"‎Tugas kami bagaimana ketiga kepentingan itu bisa dioptimalkan. Tetapi harus di-drive negara. Negara yang tentukan apa aturannya, UU dan semua harus dilaksanakan pengembang. Kalau tidak, mau jadi apa negara kita kalau diatur swasta. Swasta bikin aturan sendiri, dia bikin aturan seenaknya. Negara yang atur kita enforce‎," tegasnya.

Permasalahan lain yang sempat dipertanyakan, gangguan terhadap pasokan gas anak usaha PT Pertamina (Persero), PT Pertamina Hulu Energi (PHE) Offshore North West Java (ONWJ) jika proyek reklamasi Teluk Jakarta dilakukan. Sebab, pipa yang sudah ada dibangun berdekatan dengan pulau reklamasi.

Communication Manager PHE ONWJ‎ Dona M Priadi mengatakan, penyaluran gas ke Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tanjung Priok dan Muara Karang bisa terganggu dengan adanya proyek reklamasi. Sehingga, perusahaan mempelajari kemungkinan terburuk yang bisa terjadi.

"Kalau terganggu, pasokan ke PLTU tentu saja terganggu. Itu yang sedang kami kaji," ujarnya, dalam acara Media Gathering SKK Migas di Subang, Jawa Barat, Selasa (19/7/2016).

Menurutnya, total pasokan gas ke kedua pembangkit listrik PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) tersebut tidak sedikit. Jumlahnya hampir 50% dari keseluruhan produksi untuk PLN di Jakarta.

"Hampir separuh dari total produksi kita untuk PLN (di PLTU Priok sama Muara Karang). Itu suplai untuk listrik Jakarta," katanya.

Guru Besar Manajemen Pembangunan Pesisir dan Kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB) Rokhmin Dahuri menilai reklamasi di Teluk Jakarta semraut. Hal ini terlihat banyak aturan dan studi belum selesai namun reklamasi sudah berjalan.

Menteri Kelautan dan Perikanan Kabinet Gotong Royong, Rokhmin Dahuri mengatakan ini bisa dijadikan pelajaran bagi wilayah lainnya jika ingin melaksanakan proyek serupa ini. Ada kabar yang menyebut di Indonesia akan ada 40 proyek reklamasi pesisir maupun pulau baru.

"Kalau memang betul masih ada 40 reklamasi di Indonesia, kasus Teluk Jakarta ini jadi pelajaran. Amdal belum selesai, Detail Enginering Design (DED) belum ada, proyek sudah mulai, kacau ini," ujar Rokhmin dalam diskusi SindoTrijaya, Jakarta Pusat, Sabtu (23/4/2016).

Menurut Rokhmin ke depan, reklamasi harus melibatkan semua pemangku kepentingan, nelayan itu sendiri, dan pakar lingkungan. Tidak seperti reklamasi Teluk Jakarta yang menuai polemik saat ini. ‎"Ke depan reklamasi harus benar-benar dilakukan sesuai prosedur ilmiah maupun hukum yang tepat. Pelajaran bagi semua proyek reklamasi," tegasnya.

Penolakan Nelayan

.
.
.
Sejatinya, reklamasi di pantai utara Jakarta sudah mendapat penolakan keras dari nelayan dan masyarakat pesisir. Bahkan, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) telah memenangkan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.

Anggota DPRD DKI Jakarta Prabowo Soenirman menyayangkan jika pemerintah masih ingin melanjutkan reklamasi. "Harusnya Ahok taat hukum dan menghentikan reklamasi karena keputusan PTUN telah mencabut SK Gubernur," ujar Prabowo, Rabu (1/6/2016).

Politikus Gerindra itu menyebutkan jika Ahok ingin melanjutkan seharusnya mengikuti ketentuan undang-undang yang berlaku. Artinya, semua prosedur harus dilalui dengan benar dan taat azas. "Kalau diteruskan tanpa prosedur jelas melanggar terkecuali mengikuti ketentuan undang-undang," tegas Prabowo.

Sebagai informasi, KNTI mendaftarkan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terkait pemberian izin reklamasi Pulau G di Jakarta Utara. KNTI menggugat Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Nomor 2.238 Tahun 2014 tentang pemberian izin reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra. Nelayan menilai reklamasi tersebut berdampak buruk bagi pekerjaan mereka dan dapat merusak lingkungan sekitar.

Majelis hakim akhirnya memutuskan untuk mengabulkan gugatan yang diajukan nelayan terhadap Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Nomor 2.238 Tahun 2014 tentang pemberian izin reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra.
(dmd)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9980 seconds (0.1#10.140)