Belanja Iklan Dongrak Ekonomi Uni Eropa hingga Rp9.240 Triliun

Selasa, 17 Januari 2017 - 00:20 WIB
Belanja Iklan Dongrak Ekonomi Uni Eropa hingga Rp9.240 Triliun
Belanja Iklan Dongrak Ekonomi Uni Eropa hingga Rp9.240 Triliun
A A A
NEW YORK - Lembaga akuntan terkemuka dunia, Deloitte melansir data bahwa bisnis belanja media alias iklan mendongkrak perekonomian Uni Eropa hingga USD692 miliar atau setara Rp9.240 triliun (estimasi kurs Rp13.353/USD).

Melansir dari CNBC, Senin (16/1/2017) lebih dari 92 miliar euro atau USD98 miliar setara dengan Rp1.308 triliun dihabiskan untuk belanja iklan pada tahun 2014. Uang berjibun tersebut dihabiskan untuk iklan oleh merek-merek yang ada di seluruh Eropa.

Lembaga yang berpusat di New York, AS, mengatakan jumlah tersebut merangsang konsumsi yang akhirnya berpengaruh pada Produk Domestik Bruto (PDB) Uni Eropa yang mencapai 642,8 miliar euro alias USD692 miliar. Belanja media ini menghasilkan sumbangan tujuh kali lipat bagi perekonomian Benua Biru.

“Iklan dan belanja media di Eropa memberi kontribusi besar bagi ekonomi,” tulis Deloitte atas nama Federasi Periklanan Dunia (World Federation of Advertisers/WFA), yang meneliti belanja media di 28 negara Uni Eropa, diantaranya Jerman, Spanyol, dan Inggris.

Deloitte dan WFA juga memperkirakan bahwa belanja media di 28 negara Uni Eropa pada 2016 akan menghabiskan uang 102 miliar euro yang berdampak pada PDB Uni Eropa sebesar 709 miliar euro.

Selain berkontribusi terhadap ekonomi Uni Eropa, bisnis periklanan dan belanja media memberi gaji yang lebih tinggi kepada pekerjanya dibandingkan rata-rata gaji profesional lain. Gaji industri periklanan di Uni Eropa mencapai 34.000 euro (Rp480 juta) per tahun dibanding rata-rata pekerja lainnya sebesar 22.000 euro atau senilai Rp311 juta per tahun.

Menurut Deloitte, hampir enam juta orang bekerja di industri periklanan dan media, naik 2,6% dari jumlah tenaga kerja lainnya.

Di tengah sumbangsih industri periklanan dan media bagi perekonomian, Komisi Uni Eropa berencana mengeluarkan regulasi baru. Yaitu perusahaan pemilik merek dan industri periklanan harus mendapatkan persetujuan konsumen ketika mengumpulkan data tentang mereka di online. Kebijakan ini dianggap berpotensi menganggu bisnis periklanan.

“Iklan adalah mesin ekonomi penting yang mendorong persaingan, mendorong inovasi dalam bisnis dan memberikan manfaat signifikan kepada masyarakat. Para pembuat kebijakan harus sadar bahwa pembatasan iklan berdampak penting terhadap ekonomi, sosial, dan konsekuensi budaya," kata CEO WFA Stephan Loerke.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.9278 seconds (0.1#10.140)