Cita-cita Kedaulatan Pangan Jangan Tersandera Pencuri Ikan

Rabu, 31 Desember 2014 - 17:24 WIB
Cita-cita Kedaulatan Pangan Jangan Tersandera Pencuri Ikan
Cita-cita Kedaulatan Pangan Jangan Tersandera Pencuri Ikan
A A A
JAKARTA - Publik masih sulit melupakan janji kampanye pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla sesaat setelah mendeklarasikan diri sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam Pemilu Presiden (Pilres) 2014 di Gedung Joang 45, Menteng, Jakarta, Mei lalu.

Di hadapan ribuan rakyat yang rela berjemur di bawah terik matahari, Jokowi menyatakan visi Indonesia berdaulat dan mandiri khususnya di sektor pangan.

"Kami akan mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Dalam rangka itu, salah satu program aksi yang akan dilakukan adalah membangun kedaulatan pangan," katanya, membacakan butir ketuju Nawacita saat itu.

Belajar dari pendahulunya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang telah gagal merealisasikan program swasembada produksi lima komoditas pangan yakni beras, gula, jagung, kedelai, serta daging sapi, jelas membangun kedaulatan pangan yang akan dilaksanakan Jokowi-JK bukanlah hal mudah.

Ketua Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Riza Damanik mengatakan, kedaulatan pangan dalam konteks negara kepulauan seperti Indonesia hendaknya didasarkan pada dua ciri utama. Partisipasi masyarakat yang luas adalah salah satunya. Karena, fakta menunjukkan 50% aktivitas perokonomian masyarakat Indonesia bertumpu pada sektor pangan, terutama di bidang pertanian maupun perikanan.

"Sektor pangan bukan hanya setrategis dalam segi ekonomi, tetapi juga menjadi ciri utama demokrasi ekonomi, dimana partisipasi masyarakat sangat besar," ujar Riza saat berbincang dengan Sindonews, Selasa (30/12/2014).

Selain itu, secara kontekstual wajar jika bangsa ini menyatakan sumber daya pangan tidak hanya terdapat di darat, tapi lebih besar berada di laut.

Bahkan, negara-negara seperti Norwegia yang lautnya tidak seluas Indonesia, justru perekonomian dan pangannya bertumpu pada sektor perikanan.

Demikian juga dengan negara di kawasan seperti Jepang dan China yang menjadikan ikan sebagai asupan pangan utama mereka. "Buktinya, tingkat konsumsi ikan negara-negara tersebut lebih besar dari Indonesia," kata Riza.

Kenapa konsumsi ikan kemudian menjadi penting? Dihubungi terpisah, Guru Besar Pangan dan GiziInstitut Pertanian Bogor (IPB) Profesor Ali Khomsan mengatakan, ikan memiliki kandungan omega tiga yang sangat kaya. Sehingga, ikan sangat bagus dikonsumsi oleh para ibu hamil karena berkasiat untuk menjega kesehatan janinnya.

Selain itu, unsur omega tiga juga mencerdaskan anak dan menjaga stabilitas kerja jantung para manula.

Namun, negeri bahari ini belum dapat memanfaatkan sumber daya perikanan secara optimal. Indonesia harus mengakui tingkat konsumsi ikannasional per kapita per tahunnya jauh tertinggal dari negara lain. Bahkan, jika dibandingkan dengan Malaysia dan Singapura, konsumsi ikan per kapita per tahun masyarakat Indonesia masih kalah jauh.

Sangat memprihatinkan bilamana Indonesia yang saat ini tercatat sebagai negara pada peringkat nomor dua terbesar perikanan tangkap di dunia setelah China, dan nomor lima terbesar produsen perikanan budidaya di dunia, tapi konsumsi ikan nasionalnya lebih rendah dari pada negara-negara produsen yang tidak masuk 10 besar, seperti Malaysia dan Thailand.

"Kita harus menyadari bahwa sumber kecerdasan kita berasal dari ikan. Ikan baik secara ekonomi, baik juga secara kesehatan dalam konteks pangan, sehingga kita punya kepentingan besar terhadapnya," kata Ali.

Persoalan budaya juga menjadi salah satu persoalan utama. Orang yang suka makan ikan berasal dari luar Jawa. Mayoritas mereka berasal dari wilayah timur Indonesia.

Ali mencontohkan, ketika orang luar Jawa sudah makan ikan sebanyak 70 kg, orang Yogyakarta baru makan sekitar 5 kg. Kemudian di Pulau Jawa bagian lain, baru makan ikan 13 kg. Ini menunjukkan bahwa ada gap dan ketimpangan dalam konsumsi ikan antara di Jawa dan di luar Jawa.

Karena itu, menurut Ali, persoalan ini bukan hanya menyangkut tantangan untuk mengkampanyekan keutamaan mengkonsumsi ikan. Tetapi juga bagaimana tanggung jawab pemerintah dalam meningkatkan daya beli masyarakat yang masih rendah terhadap produk-produk perikanan.

Menurut Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Laut (P2H) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Saut Hutagalung, target konsumsi ikan nasional tahun 2014 hanya 38 kg per kapita per tahun. Semantara itu, Malaysia sudah mencapai 70 kg per kapita per tahun, Singapura 48,9 kg perkapita per tahun dan Jepang 140 kg per kapita per tahun.

Model pembangunan salah arah

Tak optimalnya pemanfaatan sumber daya ikan di Indonesia adalah akibat dari terjadinya disorientasi pembangunan yang selalu melihat seluruh dimensi kehidupan bangsa ini terpusat di darat. Bahkan termasuk perkara pangan. Kita telah lama memunggungi lautan. Seolah olah pangan hanya ada di darat.

Padahal, menurut Riza Damanik, ketua dewan pembina KNTI, pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi akan berimplikasi terhadap semakin menyempitnya lahan-lahan pertanian. Bahkan, akhir-akhir ini hilangnya lahan pertanian itu menjadi semakin masif karena dirampas oleh perusahaan industri pangan skala besar, industri pertambangan, dan pembangunan perumahan yang pada akhirnya semakin memperkecil lahan pangan di darat. "Untuk itu, masa depan pangan kita justru ada di laut," kata dia.

Berbicara tentang kedaulatan pangan, hal itu harus dimulai dengan mensejahterakan masyarakat nelayan dan mendorong terjadinya diversifikasi pangan yang berasal dari darat sehingga juga diperoleh dari laut. Selain itu, pemerintah juga perlu memperbaiki distribusi tata kelola pangan berasal dari ikan di Indonesia.

Menurut Riza, saat ini sekitar 52% aktivitas perikanan berada di sektor produksi (menagkap maupun budidaya ikan), 30% ada di sektor pemasaran, dan hanya 10% yang beraktivitas di sektor pengolahan ikan.

Perlu ada konektivitas sistem logistik nasional antar pulau dalam rangka memastikan terjadinya hilirisasi produk-produk perikanan. Menurut Riza, dengan sendirinya hilirisasi produk perikanan akan membalik logika dari proporsi distribusi tata kelola pangan di Indonesia.

Prasyarat lainnya adalah meberantas pencurian ikan. Mengutip data Food and Agriculture Organization (FAO), Riza mengatakan, kerugian yang dialami bangsa-bangsa di dunia akibat dari pencurian ikan adalah sebesar USD10 miliar 0-USD23 miliar.

Menurut perhitungannya, 30% dari USD10 miliar-USD23 miliar dicuri dari Indonesia. "Dengan asumsi itu bisa kita pastikan pencuri ikan membawa kabur 1,5 hingga 2 juta ton per tahun dari laut Indonesia," katanya.

Dia pun mengaku menyambut baik kebijakan penenggelaman kapal pelaku pencurian ikan yang dilakukan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan. Namun belakangan, Riza berpendapat, ada dua hal yang janggal dengan kebijakan fenomenal dari Menteri Susi Pujiastuti tersebut.

Pertama, proses hukum terhadap kapal pencuri ikan terkesan lambat. Riza mengatakan, dirinya tidak melihat ada efek jera dari kebijakan penenggelaman kapal ikan. Pasalnya, setelah ada proses penenggelaman, tidak ada upaya mengusut siapa dalang di balik pencurian ikan tersebut.

"Setelah peneggelaman kok selesai begitu saja, sementara yang ditenggelamkan adalah kapal kecil. Kalau ingin memberikan efek jera, kenapa bukan kapal-kapal besar yang ditenggelamkan? Kapal-kapal Vietnam itu umumnya adalah kapal-kapal yang di negaranya juga dianggap ilegal. Bukan hanya ilegal di Indonesia, di negaranya saja pun dia sudah ilegal. Kalau anda mau tenggelamkan, maka itu tidak akan memberikan efek jera kepada mereka," jelas Riza.

Kedua
, ada kehawatiran bilamana proses hukum ini tidak berjalan optimal, maka pemerintah akan meletakkan pemberantasan pencurian ikan sebagai ongkos. Bukannya upaya menutupi kerugian, operasional penenggelaman ikan justru akan menjadi lubang baru sumber pengeluaran negara. Dan parahnya, kita juga tidak akan pernah menemukan aktor utama dari pencurian ikan.

"Karena nelayan-nelayan asing pencuri ikan di laut Indonesia tidak akan datang dengan berspekulasi. Dia pasti sudah tahu sumber ikan berada dan ada yang mengamankan," kata Riza.

Pemberantasan pencurian ikan di Indoneisa hendaknya didasarkan pada UU Nomer 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.

Riza mengatakan, UU Perikanan yang dimiliki Indonesia adalah salah satu perangkat hukum yang paling progresif di dunia. Di dalamnnya sudah diperkenalkan tentang pengadilan perikanan. Ketentuan UU perikanan juga menyebutkan pemerintah tidak hanya memberikan hukuman kepada operator, namun juga kepada pemilik kapal dan pemilik perusahaan yang melakukan pencurian ikan di perairan Indonesia.

UU Perikanan juga memberikan langkah-langkah khusus dalam menenggelamkan kapal-kapal asing yang mencuri di laut Indonesia, dengan tetap harus melalui proses hukum. Bahkan UU tersebut memastikan bahwa nelayan-nelayan kecil bisa sejahtera. Misalnya dengan tidak dimintai retribusi.

Di atas kertas, UU Perikanan yang dimiliki Indonesia sudah cukup progresif. Bahkan revisi dari tahun ke tahun didasari oleh upaya pemberantasan pencurian ikan. Hanya saja, upaya tersebut tidak pernah serius.

Indikasinya adalah tidak ada satupun putusan pengadilan yang berhasil memberikan putusan maksimum. Baik dengan memberikan denda yang besar atau ganjaran penjara terhadap pemilik kapal. Hukuman setimpal itu tidak pernah ada. "Putusan pengadilan kompromi semua," kata Riza.

Sebab itu, lanjut dia, jangan sampai penenggelaman kapal pencuri ikan diposisikan sebagai upaya mengalihkan bahkan menyulitkan pemerintah menemukan atau memutus aktor utama dari praktik pencurian ikan (illegal fishing). Jika itu terjadi, maka negara ini tidak akan pernah selesai tersandera pencurian ikan.
(dmd)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6032 seconds (0.1#10.140)