Faisal Basri Tantang Hatta Rajasa karena Bauksit
A
A
A
JAKARTA - Mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi (Migas) Faisal Basri mengaku tidak gentar terhadap cuitan mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa di Twitter terkait tuduhannya sebagai inisiator larangan ekspor bauksit.
Pengamat ekonomi Universitas Indonesia justru menantang Hatta saling membuktikan kebenaran atas tuduhannya itu.
"Baguslah, kalau diam semua, saya yang bingung. Kalau orang banyak bicara, ayo kita cari kebenaran, saya siap," kata Faisal di Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (26/5/2015).
Bahkan secara tegas, Faisal tidak akan mundur satu langkah pun menghadapi Hatta. "Kalau ingin diapakan saya siap, saya tanggung jawab dengan apa yang saya katakan," tandas dia.
Menurutnya, dalam Undang-undang (UU) Nomor 4/2009 tidak ada larangan ekspor, hanya akal-akalan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dilihat dari perubahan waktu ke waktu, ekspor tetap dilanjutkan kendati tidak dibangun pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter).
"Jelas baca Undang-undang 1.000 kali tidak ada larangan ekspor, dalam waktu sekejap berubah-ubah selalu dibolehkan lagi. Jadi menunjukan adanya negosiasi," kata dia.
Faisal menuding, negosiasi larangan ekspor bauksit hanya digunakan sebagai alat oleh Hatta untuk memuluskan rencananya mencalonkan diri sebagai Wakil Presiden 2014. Hal itu bisa dibaca saat kepentingan pemerintah terhadap perusahaan asing asal Rusia, yakni Rusia Alumunium (Rusal).
Padahal dari sisi kapasitas dan kompetensi, Rusal merupakan salah satu perusahaan yang telah melakukan wanprestasi.
"Padahal sudah wanprestasi. Pada 2007, dia sudah MoU dengan Antam, tapi tidak ada bekasnya dan sekarang sudah terbukti," jelas dia.
Kebenaran itu-pun berlanjut karena sampai saat ini, Rusal tidak merealisasikan pembangunan smelter bauksit yang sudah dijanjikan. Bahkan pihaknya heran perusahaan yang tidak memiliki konsensi tambang bauksit seperti Rusal berkeinginan membangun smelter.
"Tidak akan Rusal bangun smelter. Sekarang boro-boro peletakan batu pertama, baunya pun sudah tidak ada. Kan jadi kalau saya mulai dari hasil, hasilnya tidak ada Rusal bikin smelter," tutur dia.
Pengamat ekonomi Universitas Indonesia justru menantang Hatta saling membuktikan kebenaran atas tuduhannya itu.
"Baguslah, kalau diam semua, saya yang bingung. Kalau orang banyak bicara, ayo kita cari kebenaran, saya siap," kata Faisal di Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (26/5/2015).
Bahkan secara tegas, Faisal tidak akan mundur satu langkah pun menghadapi Hatta. "Kalau ingin diapakan saya siap, saya tanggung jawab dengan apa yang saya katakan," tandas dia.
Menurutnya, dalam Undang-undang (UU) Nomor 4/2009 tidak ada larangan ekspor, hanya akal-akalan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dilihat dari perubahan waktu ke waktu, ekspor tetap dilanjutkan kendati tidak dibangun pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter).
"Jelas baca Undang-undang 1.000 kali tidak ada larangan ekspor, dalam waktu sekejap berubah-ubah selalu dibolehkan lagi. Jadi menunjukan adanya negosiasi," kata dia.
Faisal menuding, negosiasi larangan ekspor bauksit hanya digunakan sebagai alat oleh Hatta untuk memuluskan rencananya mencalonkan diri sebagai Wakil Presiden 2014. Hal itu bisa dibaca saat kepentingan pemerintah terhadap perusahaan asing asal Rusia, yakni Rusia Alumunium (Rusal).
Padahal dari sisi kapasitas dan kompetensi, Rusal merupakan salah satu perusahaan yang telah melakukan wanprestasi.
"Padahal sudah wanprestasi. Pada 2007, dia sudah MoU dengan Antam, tapi tidak ada bekasnya dan sekarang sudah terbukti," jelas dia.
Kebenaran itu-pun berlanjut karena sampai saat ini, Rusal tidak merealisasikan pembangunan smelter bauksit yang sudah dijanjikan. Bahkan pihaknya heran perusahaan yang tidak memiliki konsensi tambang bauksit seperti Rusal berkeinginan membangun smelter.
"Tidak akan Rusal bangun smelter. Sekarang boro-boro peletakan batu pertama, baunya pun sudah tidak ada. Kan jadi kalau saya mulai dari hasil, hasilnya tidak ada Rusal bikin smelter," tutur dia.
(rna)