Kemenperin Pantau Ketat Produksi Gula Rafinasi
A
A
A
LAMPUNG - Industri gula rafinasi di Indonesia diakui menopang geliat industri makanan dan minuman nasional. Untuk menjamin tidak adanya rembesan gula rafinasi ke pasar umum, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) memantau ketat produksi gula rafinasi yang dikhususkan untuk kebutuhan industri tersebut.
Pemantauan ketat itu sekaligus menjamin pemisahan pasar gula kristal putih untuk konsumsi langsung masyarakat dan gula kristal rafinasi untuk memenuhi kebutuhan industri.
“Kementerian Perindustrian menelisik produksi gula rafinasi melalui verifikasi kontrak. Sedangkan audit distribusi dilakukan Kementerian Perdagangan. Kami tidak mau gula rafinasi bobol ke luar industri,” ujar Menteri Perindustrian Saleh Husin di pabrik gula rafinasi milik Sugar Labinta di Lampung, Sabtu (26/6/2015).
Menperin berada di Lampung untuk melakukan Safari Ramadan. Ada tiga perusahaan yang berbasis agro yang disambangi Saleh Husin, yaitu Sugar Labinta, Great Giant Pineapple dan Sungai Budi Group.
Di sisi lain, pemerintah juga memberi apresiasi kepada pabrik gula rafinasi (PGR) yang memenuhi komitmen menyalurkan produk gula kristal rafinasi ke industri makanan dan minuman.
“Saya harus fair. Monitoring ketat harus dilakukan untuk menjamin gula rafinasi merembes kemana-mana. Nah, jika ada perusahaan yang disiplin menyalurkan produknya sesuai ketentuan, hanya ke industri, ya harus diapresiasi,” tegasnya.
Bahan baku gula rafinasi berupa raw sugar didapatkan dari impor. Untuk menguranginya, Menperin mendorong pengusaha memiliki kebun tebu sendiri. "Satu-satunya cara mengurangi impor raw sugar ya dengan memiliki kebun tebu sendiri," ujar Menteri.
Khusus Labinta, perusahaan ini juga gigih meningkatkan mutu produk dan efisiensinya, sehingga gula dengan spesifikasi khusus misalnya untuk formula bayi yang sebelumnya seluruhnya diimpor, secara bertahap sudah dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri.
Sebagai PGR, Labinta mengolah raw sugar menjadi gula rafinasi untuk industri minuman, susu olahan, kembang gulam buah dalam kaleng, farmasi dan lain-lain. Kapasitas izin perusahaan ini dari BKPM sebesar 540.000 ton per tahun dan kapasitas melting sebesar 484.110 ton per tahun.
Gula rafinasi merupakan salah satu bahan penolong industri makanan minuman bersama bahan baku utama lainnya. “Maka, keberadaan industri gula kristal rafinasi di dalam negeri sangat diperlukan untuk mendukung pertumbuhan industri makanan dan minuman yang terus berkemban,” ujar Menperin.
Pada tahun 2014, industri makanan dan minuman memberikan kontribusi terhadap PDB sebesar Rp. 560,62 Trilyun (berdasarkan harga berlaku) atau memberikan kontribusi sebesar 29,95% terhadap PDB industri pengolahan non-migas. Pada tahun yang sama, ekspor industri makanan dan minuman sebesar US$ 5,55 Milyar atau menyumbang 4,73% dari ekspor hasil industri.
Pertumbuhan industri makanan dan minuman (tidak termasuk industri pengolahan tembakau) berada diatas pertumbuhan ekonomi nasional. Pada tahun 2014 pertumbuhan ekonomi sebesar 5,02%, sedangkan industri makanan dan minuman tumbuh sebesar 9,54%.
EKSPOR
Di provinsi paling selatan di Sumatera ini, Menperin juga mendorong industri olahan buah nanas, Great Giant Pineapple mendongkrak kinerja ekspor. Perusahaan ini dikenal sebagai penghasil produk nanas dalam kaleng ketiga terbesar di dunia.
“Jika dihitung dalam volume produksi yang terintegrasi dengan lahan pertanian nanas milik sendiri, maka menjadi yang terbesar di dunia. Jadi memang sesuai nama perusahaan. Hebat dan meraksasa,” seloroh Saleh Husin.
Berkapasitas produksi nanas dalam kaleng sebesar 200.000 ton per tahun, nilai investasi Great Giant Pineapple sebesar Rp 500 miliar serta menyerap tenaga kerja sebanyak 16.000 orang.
"Nilai ekspor kami mencapai USD 220 juta atau lebih dari Rp 2,6 triliun," kata Ruslan Krisno, Direktur Sustainability Great Giant Pineapple. Dari lahan seluas 33.000 hektar, berhasil diproduksi nanas dalam kaleng, jus serta konsentrat nanas yang telah dipasarkan kelebih dari 60 negara tujuan ekspor di Eropa, Amerika, Timur Tengah, Afrika dan Asia Pasifik.
Anggota DPR RI yang turut hadir, Frans Agung Mula Putra mengatakan, keberadaan industri hilir membuktikan Lampung prospektif untuk investasi. "Apalagi sumber bahan baku berasal dari provinsi ini sehingga memberi nilai tambah dan membuka lapangan kerja bagi warga lokal," ujar wakil rakyat dari Dapil I Lampung ini.
Pabrik Gula Rp3 Triliun
Menperin menuntaskan kunjungan ke Lampung dengan menyambangi Sungai Budi Group. Perusahaan ini memiliki beragam bisnis dari kebun kelapa sawit, CPO dan turunannya, biodiesel, beras, tepung tapioka, angkutan laut, tambang marmer, batubara, air mineral hingga industri gula.
Untuk gula, melalui anak usaha Adi Karya Gemilang, perseroan tengah membangun pabrik gula kristal putih yang bahan bakunya dari kebun tebu sendiri. Kapasitas giling mencapai 8000 ton cane per day (TCD) dengan target produksi 180 ribu ton per tahun.
"Investasi pabrik gula Rp 1,3 triliun. Jika dihitung bersama investasi kebun tebu, jadi totalnya Rp 2,5 - 3 triliun," kata Widarto, Presiden Direktur Sungai Budi Group.
Dia menargetkan, pabrik rampung dan mulai produksi pada akhir 2016. Sedangkan total luas lahan tebu 20 ribu hektare, sebanyak 9000 hektare telah ditanami.
"Ekspansi Sungai Budi membangun pabrik gula yang terintegrasi dengan kebun tebu ikut menurunkan impor gula Indonesia. Ini menjadi penguat keyakinan bahwa kita mampu membangun industri gula nasional yang mandiri," terang Menperin.
Menteri juga mendorong pelaku bisnis dan investor lainnya mengikuti jejak Sungai Budi. Bukan hanya soal gula, tetapi terkait bisnis terintegrasi perusahaan yang menopang bisnis berorientasi ekspor perusahaan.
Di bisnis CPO, perusahaan melakukan hilirisasi melalui anak perusahaan PT Tunas Baru Lampung Tbk, berupa produksi minyak goreng berkapasitas 1700 ton per hari. Widarto menargetkan, produksi minyak goreng mencapai 1,5 juta ton per tahun.
Dari limbah sawit, Sungai Budi memanfaatkannya dengan memproduksi sabun berkapasitas produksi 13.750 ton per tahun. Selain itu, hilirisasi minyak sawit juga menghasilkan biodiesel
Pemantauan ketat itu sekaligus menjamin pemisahan pasar gula kristal putih untuk konsumsi langsung masyarakat dan gula kristal rafinasi untuk memenuhi kebutuhan industri.
“Kementerian Perindustrian menelisik produksi gula rafinasi melalui verifikasi kontrak. Sedangkan audit distribusi dilakukan Kementerian Perdagangan. Kami tidak mau gula rafinasi bobol ke luar industri,” ujar Menteri Perindustrian Saleh Husin di pabrik gula rafinasi milik Sugar Labinta di Lampung, Sabtu (26/6/2015).
Menperin berada di Lampung untuk melakukan Safari Ramadan. Ada tiga perusahaan yang berbasis agro yang disambangi Saleh Husin, yaitu Sugar Labinta, Great Giant Pineapple dan Sungai Budi Group.
Di sisi lain, pemerintah juga memberi apresiasi kepada pabrik gula rafinasi (PGR) yang memenuhi komitmen menyalurkan produk gula kristal rafinasi ke industri makanan dan minuman.
“Saya harus fair. Monitoring ketat harus dilakukan untuk menjamin gula rafinasi merembes kemana-mana. Nah, jika ada perusahaan yang disiplin menyalurkan produknya sesuai ketentuan, hanya ke industri, ya harus diapresiasi,” tegasnya.
Bahan baku gula rafinasi berupa raw sugar didapatkan dari impor. Untuk menguranginya, Menperin mendorong pengusaha memiliki kebun tebu sendiri. "Satu-satunya cara mengurangi impor raw sugar ya dengan memiliki kebun tebu sendiri," ujar Menteri.
Khusus Labinta, perusahaan ini juga gigih meningkatkan mutu produk dan efisiensinya, sehingga gula dengan spesifikasi khusus misalnya untuk formula bayi yang sebelumnya seluruhnya diimpor, secara bertahap sudah dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri.
Sebagai PGR, Labinta mengolah raw sugar menjadi gula rafinasi untuk industri minuman, susu olahan, kembang gulam buah dalam kaleng, farmasi dan lain-lain. Kapasitas izin perusahaan ini dari BKPM sebesar 540.000 ton per tahun dan kapasitas melting sebesar 484.110 ton per tahun.
Gula rafinasi merupakan salah satu bahan penolong industri makanan minuman bersama bahan baku utama lainnya. “Maka, keberadaan industri gula kristal rafinasi di dalam negeri sangat diperlukan untuk mendukung pertumbuhan industri makanan dan minuman yang terus berkemban,” ujar Menperin.
Pada tahun 2014, industri makanan dan minuman memberikan kontribusi terhadap PDB sebesar Rp. 560,62 Trilyun (berdasarkan harga berlaku) atau memberikan kontribusi sebesar 29,95% terhadap PDB industri pengolahan non-migas. Pada tahun yang sama, ekspor industri makanan dan minuman sebesar US$ 5,55 Milyar atau menyumbang 4,73% dari ekspor hasil industri.
Pertumbuhan industri makanan dan minuman (tidak termasuk industri pengolahan tembakau) berada diatas pertumbuhan ekonomi nasional. Pada tahun 2014 pertumbuhan ekonomi sebesar 5,02%, sedangkan industri makanan dan minuman tumbuh sebesar 9,54%.
EKSPOR
Di provinsi paling selatan di Sumatera ini, Menperin juga mendorong industri olahan buah nanas, Great Giant Pineapple mendongkrak kinerja ekspor. Perusahaan ini dikenal sebagai penghasil produk nanas dalam kaleng ketiga terbesar di dunia.
“Jika dihitung dalam volume produksi yang terintegrasi dengan lahan pertanian nanas milik sendiri, maka menjadi yang terbesar di dunia. Jadi memang sesuai nama perusahaan. Hebat dan meraksasa,” seloroh Saleh Husin.
Berkapasitas produksi nanas dalam kaleng sebesar 200.000 ton per tahun, nilai investasi Great Giant Pineapple sebesar Rp 500 miliar serta menyerap tenaga kerja sebanyak 16.000 orang.
"Nilai ekspor kami mencapai USD 220 juta atau lebih dari Rp 2,6 triliun," kata Ruslan Krisno, Direktur Sustainability Great Giant Pineapple. Dari lahan seluas 33.000 hektar, berhasil diproduksi nanas dalam kaleng, jus serta konsentrat nanas yang telah dipasarkan kelebih dari 60 negara tujuan ekspor di Eropa, Amerika, Timur Tengah, Afrika dan Asia Pasifik.
Anggota DPR RI yang turut hadir, Frans Agung Mula Putra mengatakan, keberadaan industri hilir membuktikan Lampung prospektif untuk investasi. "Apalagi sumber bahan baku berasal dari provinsi ini sehingga memberi nilai tambah dan membuka lapangan kerja bagi warga lokal," ujar wakil rakyat dari Dapil I Lampung ini.
Pabrik Gula Rp3 Triliun
Menperin menuntaskan kunjungan ke Lampung dengan menyambangi Sungai Budi Group. Perusahaan ini memiliki beragam bisnis dari kebun kelapa sawit, CPO dan turunannya, biodiesel, beras, tepung tapioka, angkutan laut, tambang marmer, batubara, air mineral hingga industri gula.
Untuk gula, melalui anak usaha Adi Karya Gemilang, perseroan tengah membangun pabrik gula kristal putih yang bahan bakunya dari kebun tebu sendiri. Kapasitas giling mencapai 8000 ton cane per day (TCD) dengan target produksi 180 ribu ton per tahun.
"Investasi pabrik gula Rp 1,3 triliun. Jika dihitung bersama investasi kebun tebu, jadi totalnya Rp 2,5 - 3 triliun," kata Widarto, Presiden Direktur Sungai Budi Group.
Dia menargetkan, pabrik rampung dan mulai produksi pada akhir 2016. Sedangkan total luas lahan tebu 20 ribu hektare, sebanyak 9000 hektare telah ditanami.
"Ekspansi Sungai Budi membangun pabrik gula yang terintegrasi dengan kebun tebu ikut menurunkan impor gula Indonesia. Ini menjadi penguat keyakinan bahwa kita mampu membangun industri gula nasional yang mandiri," terang Menperin.
Menteri juga mendorong pelaku bisnis dan investor lainnya mengikuti jejak Sungai Budi. Bukan hanya soal gula, tetapi terkait bisnis terintegrasi perusahaan yang menopang bisnis berorientasi ekspor perusahaan.
Di bisnis CPO, perusahaan melakukan hilirisasi melalui anak perusahaan PT Tunas Baru Lampung Tbk, berupa produksi minyak goreng berkapasitas 1700 ton per hari. Widarto menargetkan, produksi minyak goreng mencapai 1,5 juta ton per tahun.
Dari limbah sawit, Sungai Budi memanfaatkannya dengan memproduksi sabun berkapasitas produksi 13.750 ton per tahun. Selain itu, hilirisasi minyak sawit juga menghasilkan biodiesel
(dmd)