Pungutan Bea Materai Rugikan Belanja Rakyat Kecil
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) kembali membuat kebijakan kontroversial dalam upaya meningkatkan penerimaan negara. Kali ini, sasarannya adalah pengenaan bea materai untuk transaksi di toko ritel mulai dari transaksi belanja Rp250.000. Jika tidak dipilah, yang dirugikan belanja bulanan rakyat kecil.
Tidak hanya itu, tarif bea materai pun dinaikkan per Juni 2015. Besarannya Rp10 ribu untuk materai Rp3.000, dan Rp18 ribu untuk materai 6.000 dari sebelumnya seharga Rp3.000 dan Rp6.000.
Direktur Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan, masyarakat harus cermat soal efektivitas pemungutan bea materai tersebut. "Misalnya, toko ritel itu ketika saya belanja ke toko, terus saya bayar materai, materai itu masuk kas negara tidak," ujarnya saat dihubungi Sindonews di Jakarta, Selasa (30/6/2015).
Sebab, toko ritel tidak pernah membubuhkan tandatangan dalam setiap transaksi. Terlebih, penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) dalam transaksi di toko ritel pun masih diragukan langsung masuk ke kas negara.
"Ini kan efektivitas dari pemungutan materai di sektor perdagangannya. Itu mekanismenya seperti apa, agar pengenaan bea materai memang masuk ke kas negara. Karena kalau belanja kan kita langsung ke kasir. Apa itu langsung ditambahkan untuk bea materai? Apa itu langsung masuk kas negara?" tegas dia.
Penerapan Tarif Progresif
Enny mengusulkan, dibanding mengenakan tarif bea materai untuk belanja ritel dengan kisaran transaksi belanja mulai dari Rp250 ribu, lebih baik mengenakan tarif progresif untuk transaksi konsumtif dalam jumlah besar.
"Tapi, kalau misalnya yang dikenakan orang yang belanja Rp1 juta, ya Rp1 juta itu kan harga bulanan belanja masyarakat menengah ke bawah saja segitu. Itu yang harus dipilah. Artinya, harus perhitungan yang matang," katanya.
Dia mencontohkan, pembelian mobil mewah seharga Rp500 juta yang biasanya hanya dikenakan bea materai Rp6.000. Hal tersebut tentu tidak adil untuk transaksi belanja seharga Rp2 juta atau Rp3 juta. "Itu yang harus diberikan tarif perbedaan," ungkapnya.
"Katakan misalnya total transaksi di atas Rp100 juta sampai segini bea materai berapa? Terus transaksi di atas Rp1 miliar misalnya, bea materainya berapa? Tapi yang konsumtif. Jangan yang untuk industri. Kalau industri kan itu untuk diolah dari bahan baku. Itu jangan," tandas Enny.
Baca juga:
Penerapan Bea Materai dalam Transaksi Bebani Ekonomi
Pengenaan Bea Materai Tak Boleh Ganggu Ekonomi
Bea Materai Bukan Satu-satunya Cara Genjot Pendapatan
Tidak hanya itu, tarif bea materai pun dinaikkan per Juni 2015. Besarannya Rp10 ribu untuk materai Rp3.000, dan Rp18 ribu untuk materai 6.000 dari sebelumnya seharga Rp3.000 dan Rp6.000.
Direktur Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan, masyarakat harus cermat soal efektivitas pemungutan bea materai tersebut. "Misalnya, toko ritel itu ketika saya belanja ke toko, terus saya bayar materai, materai itu masuk kas negara tidak," ujarnya saat dihubungi Sindonews di Jakarta, Selasa (30/6/2015).
Sebab, toko ritel tidak pernah membubuhkan tandatangan dalam setiap transaksi. Terlebih, penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) dalam transaksi di toko ritel pun masih diragukan langsung masuk ke kas negara.
"Ini kan efektivitas dari pemungutan materai di sektor perdagangannya. Itu mekanismenya seperti apa, agar pengenaan bea materai memang masuk ke kas negara. Karena kalau belanja kan kita langsung ke kasir. Apa itu langsung ditambahkan untuk bea materai? Apa itu langsung masuk kas negara?" tegas dia.
Penerapan Tarif Progresif
Enny mengusulkan, dibanding mengenakan tarif bea materai untuk belanja ritel dengan kisaran transaksi belanja mulai dari Rp250 ribu, lebih baik mengenakan tarif progresif untuk transaksi konsumtif dalam jumlah besar.
"Tapi, kalau misalnya yang dikenakan orang yang belanja Rp1 juta, ya Rp1 juta itu kan harga bulanan belanja masyarakat menengah ke bawah saja segitu. Itu yang harus dipilah. Artinya, harus perhitungan yang matang," katanya.
Dia mencontohkan, pembelian mobil mewah seharga Rp500 juta yang biasanya hanya dikenakan bea materai Rp6.000. Hal tersebut tentu tidak adil untuk transaksi belanja seharga Rp2 juta atau Rp3 juta. "Itu yang harus diberikan tarif perbedaan," ungkapnya.
"Katakan misalnya total transaksi di atas Rp100 juta sampai segini bea materai berapa? Terus transaksi di atas Rp1 miliar misalnya, bea materainya berapa? Tapi yang konsumtif. Jangan yang untuk industri. Kalau industri kan itu untuk diolah dari bahan baku. Itu jangan," tandas Enny.
Baca juga:
Penerapan Bea Materai dalam Transaksi Bebani Ekonomi
Pengenaan Bea Materai Tak Boleh Ganggu Ekonomi
Bea Materai Bukan Satu-satunya Cara Genjot Pendapatan
(dmd)