ULN Kuartal II Melambat Akibat Kurs Rupiah
A
A
A
JAKARTA - Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada akhir kuartal II/2015 tumbuh 6,3% (yoy), lebih lambat dibanding pertumbuhan kuartal I/2015 sebesar 7,9% (yoy) atau menjadi USD304,3 miliar.
Perlambatan ULN terutama disebabkan menurunnya pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya risiko kurs rupiah terhadap USD.
Pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listianto mengatakan, semakin terdepresiasi rupiah maka biaya pengembalian utang ketika jatuh tempo akan semakin mahal, walaupun suku bunganya lebih rendah dari utang dalam negeri.
"Ini yang membuat ULN terutama swasta melambat pertumbuhannya," kata Eko kepada Koran Sindo, kemarin.
Menurutnya, ULN yang melambat bisa membuat ketersediaan likuiditas valuta asing (valas) di domestik ikut berkurang. Namun menurutnya, faktor depresiasi yuan dan FeD rate lebih dominan atas pelemahan rupiah seperti sekarang ini.
Eko memprediksi, ULN bulan depan akan kembali melambat. Pasalnya, tensi ekonomi global akan meningkat jelang rapat The Federal Open Market Committee (FOMC) pada 16-17 september mendatang. "Kalau pinjam ULN saat ekonomi sedang bergejolak maka lebih berisiko," ujarnya.
Seperti diketahui, posisi ULN pada akhir kuartal II/2015 tercatat sebesar USD304,3 miliar, terdiri dari ULN sektor publik sebesar USD134,6 miliar (44,2% dari total ULN) dan ULN sektor swasta sebesar USD169,7 miliar (55,8% dari total ULN).
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara mengatakan, perlambatan pertumbuhan ULN terutama terjadi pada ULN sektor swasta, dari 13,4% (yoy) pada kuartal sebelumnya menjadi 9,7% (yoy).
"Dengan perkembangan tersebut, debt service ratio (DSR) atau rasio utang terhadap pendapatan ekspor sedikit membaik dari 56,9% pada kuartal I/2015 menjadi 56,3% pada kuartal II/2015," kata Tirta.
Dia mengungkapkan, berdasarkan jangka waktu asal, posisi ULN Indonesia didominasi ULN berjangka panjang (85,0% dari total ULN). ULN berjangka panjang pada akhir kuartal II/2015 mencapai USD258,7 miliar, tumbuh 8,1% (yoy), lebih rendah dari pertumbuhan kuartal sebelumnya sebesar 9,2% (yoy).
ULN berjangka panjang tersebut, terdiri dari ULN sektor publik USD131,3 miliar (97,6% dari total ULN sektor publik) dan ULN sektor swasta USD127,4 miliar (75,1% dari total ULN swasta).
Sementara, pertumbuhan ULN berjangka pendek tercatat sebesar 2,9% (yoy) setelah pada kuartal sebelumnya masih tumbuh 0,7% (yoy). Dia menjelaskan, ULN sektor swasta pada akhir kuartal II-2015 terutama terkonsentrasi di sektor keuangan, industri pengolahan, pertambangan, dan listrik, gas dan air bersih.
Menurutnya, pangsa ULN keempat sektor tersebut terhadap total ULN swasta mencapai 76,3%. Pada kuartal II/2015, pertumbuhan tahunan ULN sektor keuangan, industri pengolahan, dan listrik, gas dan air bersih mengalami perlambatan dibanding kuartal sebelumnya, ULN sektor pertambangan mengalami kontraksi.
Bank Indonesia memandang perkembangan ULN kuartal II/2015 sejalan dengan pertumbuhan perekonomian domestik yang melambat. "Kami juga akan terus memonitor perkembangan ULN, khususnya ULN sektor swasta," tukas dia.
Perlambatan ULN terutama disebabkan menurunnya pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya risiko kurs rupiah terhadap USD.
Pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listianto mengatakan, semakin terdepresiasi rupiah maka biaya pengembalian utang ketika jatuh tempo akan semakin mahal, walaupun suku bunganya lebih rendah dari utang dalam negeri.
"Ini yang membuat ULN terutama swasta melambat pertumbuhannya," kata Eko kepada Koran Sindo, kemarin.
Menurutnya, ULN yang melambat bisa membuat ketersediaan likuiditas valuta asing (valas) di domestik ikut berkurang. Namun menurutnya, faktor depresiasi yuan dan FeD rate lebih dominan atas pelemahan rupiah seperti sekarang ini.
Eko memprediksi, ULN bulan depan akan kembali melambat. Pasalnya, tensi ekonomi global akan meningkat jelang rapat The Federal Open Market Committee (FOMC) pada 16-17 september mendatang. "Kalau pinjam ULN saat ekonomi sedang bergejolak maka lebih berisiko," ujarnya.
Seperti diketahui, posisi ULN pada akhir kuartal II/2015 tercatat sebesar USD304,3 miliar, terdiri dari ULN sektor publik sebesar USD134,6 miliar (44,2% dari total ULN) dan ULN sektor swasta sebesar USD169,7 miliar (55,8% dari total ULN).
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara mengatakan, perlambatan pertumbuhan ULN terutama terjadi pada ULN sektor swasta, dari 13,4% (yoy) pada kuartal sebelumnya menjadi 9,7% (yoy).
"Dengan perkembangan tersebut, debt service ratio (DSR) atau rasio utang terhadap pendapatan ekspor sedikit membaik dari 56,9% pada kuartal I/2015 menjadi 56,3% pada kuartal II/2015," kata Tirta.
Dia mengungkapkan, berdasarkan jangka waktu asal, posisi ULN Indonesia didominasi ULN berjangka panjang (85,0% dari total ULN). ULN berjangka panjang pada akhir kuartal II/2015 mencapai USD258,7 miliar, tumbuh 8,1% (yoy), lebih rendah dari pertumbuhan kuartal sebelumnya sebesar 9,2% (yoy).
ULN berjangka panjang tersebut, terdiri dari ULN sektor publik USD131,3 miliar (97,6% dari total ULN sektor publik) dan ULN sektor swasta USD127,4 miliar (75,1% dari total ULN swasta).
Sementara, pertumbuhan ULN berjangka pendek tercatat sebesar 2,9% (yoy) setelah pada kuartal sebelumnya masih tumbuh 0,7% (yoy). Dia menjelaskan, ULN sektor swasta pada akhir kuartal II-2015 terutama terkonsentrasi di sektor keuangan, industri pengolahan, pertambangan, dan listrik, gas dan air bersih.
Menurutnya, pangsa ULN keempat sektor tersebut terhadap total ULN swasta mencapai 76,3%. Pada kuartal II/2015, pertumbuhan tahunan ULN sektor keuangan, industri pengolahan, dan listrik, gas dan air bersih mengalami perlambatan dibanding kuartal sebelumnya, ULN sektor pertambangan mengalami kontraksi.
Bank Indonesia memandang perkembangan ULN kuartal II/2015 sejalan dengan pertumbuhan perekonomian domestik yang melambat. "Kami juga akan terus memonitor perkembangan ULN, khususnya ULN sektor swasta," tukas dia.
(izz)