Strategi Tak Tepat Sasaran, Ekonomi Makin Terpuruk
A
A
A
JAKARTA - Kondisi perekonomian Indonesia semakin terpuruk dan akan terus berlanjut tanpa adanya kebijakan yang menyeluruh dan strategi yang tak tepat sasaran dari pemerintah.
Ekonom Didik J. Rachbini mengatakan, permasalahan ekonomi yang dihadapi Indonesia saat ini kompleks, mulai dari penurunan ekspor, defisit neraca perdagangan dan neraca berjalan.
“Kondisi ini lemah dan rentan terhadap nilai tukar,” katanya.
Nilai tukar rupiah berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) pada Rabu (23/9/2015) berada pada level Rp14.623/dolar Amerika Serikat (USD), terburuk sejak Agustus 1998.
Devisa pun makin menipis. Saat ini, berada di posisi USD103 miliar, menurun USD2,5 miliar dibandingkan akhir Agustus lalu.
Masalahnya, lanjut Didik, pemerintah tidak mengantisipasi atau meredam untuk menahan penurunan tersebut, termasuk mengantisipasi ekspor yang menurun. Di sisi lain pabrik-pabrik bergelimpangan.
“Pemerintah justru menambah masalah dengan target penerimaan pajak yang tinggi. Target pajak naik 40% saat krisis. APBN tidak diubah,” tutur Didik.
Seperti diketahui, pabrik-pabrik menurunkan produksinya seiring menurunnya permintaan. Beberapa perusahaan tercatat memangkas jumlah karyawannya.
Data yang tercatat di Kementerian Tenaga Kerja hingga awal September sudah 26.000 karyawan terkena pemutusan hubungan kerja alias PHK.
“Saya lihat strategi pemerintah tidak tajam, tidak mengena sasaran. Apa yang dilakukan itu sedikit-sedikit. Kita itu perlu rencana yang komprehensif, totalitas,” ungkap Ketua Umum (Ketum) Partai Perindo Hary Tanoesoedibjo (HT).
Totalitas yang dimaksud adalah mengatasi permasalahan secara menyeluruh. Mulai dari persoalan kurs, kemudian lapangan kerja bisa aktif kembali serta dunia usaha bisa bergerak lebih baik.
Kepercayaan Pasar
Kondisi perekonomian Indonesia saat ini rapuh karena tak memiliki penopang yang kuat. Jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.
Sebagai contoh, ketika tahun 2008 terjadi krisis akibat subprime mortgage, kondisi global masih terhitung sehat. Malah pertumbuhan ekonomi China masih melesat. Harga komoditas yang menjadi penopang perekonomian Indonesia tidak terpengaruh.
Namun kali ini ekonomi global melambat. Harga komoditas pun luluh lantah berjatuhan. Akibatnya, kinerja ekspor pun terganggu. Indonesia tak lagi memiliki penopang yang kuat seperti sebelumnya, yang membuat perekonomian menjadi rapuh.
Situasi saat ini, kata HT, juga berbeda jauh dibanding tahun 1998 silam. Saat itu, yang terkena dampak paling besar dari krisis ekonomi adalah dunia perbankan dan kalangan menengah atas.
Namun kali ini yang terkena dampak masyarakat menengah bawah. Sebab, untuk memenuhi kebutuhan pokok Indonesia bergantung pada impor.
Seperti diketahui, Bank Pembangunan Asia atau Asian Development Bank (ADB) pun mengoreksi pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2015 menjadi 4,9%. Proyeksi tersebut lebih rendah dibanding estimasi yang dirilis Maret lalu sebesar 5,5%.
Koreksi proyeksi tersebut disebabkan oleh faktor eksternal, yaitu kondisi ekonomi global yang cenderung belum stabil. Sementara faktor internal dipengaruhi oleh tertundanya sejumlah proyek infrastruktur pemerintah.
Menurut HT, pemerintah harus melakukan introspeksi sebab hal tersebut merupakan peringatan penting. “Ini kepentingan kita bersama. Jangan sampai bangsa ini terpuruk. Masyarakat kita yang miskin masih banyak,” katanya.
Dalam kondisi seperti ini dibutuhkan invetasi masuk ke Indonesia. Untuk itu, diperlukan pemangkasan kebijakan-kebijakan yang menghambat investasi. Selain itu, belanja pemerintah juga harus dipercepat.
“Konsisten dengan anggaran dan jadwalnya,” tegas HT.
Namun menurut perhitungannya, hal tersebut akan sulit dilakukan karena penerimaan pajak pun pasti tidak akan tercapai karena perlambatan ekonomi yang terjadi.
Langkah tepat sasaran secara menyeluruh harus dilakukan. Di samping itu, eksekusi yang cepat dari kebijakan juga diperlukan. Hal tersebut untuk mengembalikan kepercayaan pasar. Runyamnya, dalam internal pemerintah sendiri hingga saat ini belum menunjukkan soliditas dan keprihatinan bersama terhadap krisis.
“Malah berkelahi saling tuding yang menjadi indikasi bahwa pemerintah tidak terlalu cakap membangun teamwork. Dari sini pasar dan publik tidak percaya bahwa pemerintah bisa menyelesaikan masalah. Menyelesaikan masalahnya sendiri susah,” pungkas Didik.
Ekonom Didik J. Rachbini mengatakan, permasalahan ekonomi yang dihadapi Indonesia saat ini kompleks, mulai dari penurunan ekspor, defisit neraca perdagangan dan neraca berjalan.
“Kondisi ini lemah dan rentan terhadap nilai tukar,” katanya.
Nilai tukar rupiah berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) pada Rabu (23/9/2015) berada pada level Rp14.623/dolar Amerika Serikat (USD), terburuk sejak Agustus 1998.
Devisa pun makin menipis. Saat ini, berada di posisi USD103 miliar, menurun USD2,5 miliar dibandingkan akhir Agustus lalu.
Masalahnya, lanjut Didik, pemerintah tidak mengantisipasi atau meredam untuk menahan penurunan tersebut, termasuk mengantisipasi ekspor yang menurun. Di sisi lain pabrik-pabrik bergelimpangan.
“Pemerintah justru menambah masalah dengan target penerimaan pajak yang tinggi. Target pajak naik 40% saat krisis. APBN tidak diubah,” tutur Didik.
Seperti diketahui, pabrik-pabrik menurunkan produksinya seiring menurunnya permintaan. Beberapa perusahaan tercatat memangkas jumlah karyawannya.
Data yang tercatat di Kementerian Tenaga Kerja hingga awal September sudah 26.000 karyawan terkena pemutusan hubungan kerja alias PHK.
“Saya lihat strategi pemerintah tidak tajam, tidak mengena sasaran. Apa yang dilakukan itu sedikit-sedikit. Kita itu perlu rencana yang komprehensif, totalitas,” ungkap Ketua Umum (Ketum) Partai Perindo Hary Tanoesoedibjo (HT).
Totalitas yang dimaksud adalah mengatasi permasalahan secara menyeluruh. Mulai dari persoalan kurs, kemudian lapangan kerja bisa aktif kembali serta dunia usaha bisa bergerak lebih baik.
Kepercayaan Pasar
Kondisi perekonomian Indonesia saat ini rapuh karena tak memiliki penopang yang kuat. Jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.
Sebagai contoh, ketika tahun 2008 terjadi krisis akibat subprime mortgage, kondisi global masih terhitung sehat. Malah pertumbuhan ekonomi China masih melesat. Harga komoditas yang menjadi penopang perekonomian Indonesia tidak terpengaruh.
Namun kali ini ekonomi global melambat. Harga komoditas pun luluh lantah berjatuhan. Akibatnya, kinerja ekspor pun terganggu. Indonesia tak lagi memiliki penopang yang kuat seperti sebelumnya, yang membuat perekonomian menjadi rapuh.
Situasi saat ini, kata HT, juga berbeda jauh dibanding tahun 1998 silam. Saat itu, yang terkena dampak paling besar dari krisis ekonomi adalah dunia perbankan dan kalangan menengah atas.
Namun kali ini yang terkena dampak masyarakat menengah bawah. Sebab, untuk memenuhi kebutuhan pokok Indonesia bergantung pada impor.
Seperti diketahui, Bank Pembangunan Asia atau Asian Development Bank (ADB) pun mengoreksi pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2015 menjadi 4,9%. Proyeksi tersebut lebih rendah dibanding estimasi yang dirilis Maret lalu sebesar 5,5%.
Koreksi proyeksi tersebut disebabkan oleh faktor eksternal, yaitu kondisi ekonomi global yang cenderung belum stabil. Sementara faktor internal dipengaruhi oleh tertundanya sejumlah proyek infrastruktur pemerintah.
Menurut HT, pemerintah harus melakukan introspeksi sebab hal tersebut merupakan peringatan penting. “Ini kepentingan kita bersama. Jangan sampai bangsa ini terpuruk. Masyarakat kita yang miskin masih banyak,” katanya.
Dalam kondisi seperti ini dibutuhkan invetasi masuk ke Indonesia. Untuk itu, diperlukan pemangkasan kebijakan-kebijakan yang menghambat investasi. Selain itu, belanja pemerintah juga harus dipercepat.
“Konsisten dengan anggaran dan jadwalnya,” tegas HT.
Namun menurut perhitungannya, hal tersebut akan sulit dilakukan karena penerimaan pajak pun pasti tidak akan tercapai karena perlambatan ekonomi yang terjadi.
Langkah tepat sasaran secara menyeluruh harus dilakukan. Di samping itu, eksekusi yang cepat dari kebijakan juga diperlukan. Hal tersebut untuk mengembalikan kepercayaan pasar. Runyamnya, dalam internal pemerintah sendiri hingga saat ini belum menunjukkan soliditas dan keprihatinan bersama terhadap krisis.
“Malah berkelahi saling tuding yang menjadi indikasi bahwa pemerintah tidak terlalu cakap membangun teamwork. Dari sini pasar dan publik tidak percaya bahwa pemerintah bisa menyelesaikan masalah. Menyelesaikan masalahnya sendiri susah,” pungkas Didik.
(rna)