Perpustakaan Ubah Pengangguran Jadi Pengusaha Jahe Merah
A
A
A
DI era teknologi seperti sekarang ini sulit menemukan generasi muda pergi ke perpustakaan. Mereka autis dengan handphonenya untuk selfie atau update status di media sosial. Padahal, di perpustakaan banyak sumber ilmu yang bisa didapat.
Di Wonorejo ada seorang pengusaha jahe merah yang sukses karena perpustakaan. Namanya Wahyu Widodo, pria berusia 19 tahun yang mengaku drop out setelah lulus SMA karena ketiadaan biaya untuk kuliah.
“Bapak ibu saya seorang petani. Tahun lalu selepas SMA saya tidak bisa melanjutkan kuliah. Hanya bantu orangtua di sawah,” ujarnya, saat media gathering Perpuseru yang diprakarsai Cola Cola Foundation di Jakarta.
Wahyu menuturkan, ketika sawah orangtuanya gagal panen mereka menyuruh bekerja di pabrik. Tapi, Wahyu menolak. Alasannya, dia ingin membuka usaha sendiri. Namun bagi anak petani gurem seperti dia impian usaha sendiri itu bagai pungguk merindukan bulan.
Pada akhirnya, ada pengelola perpustakaan desa (perpusdes) yang mengajaknya ikut pelatihan di Perpusdes Sragen. Awalnya, dia menolak karena bayangan perpustakaan yang berdebu, kumuh, gelap dan membosankan. Namun, ayah ibunya mendesak dia ikut daripada seumur hidup hanya menjadi petani kecil. “Waktu itu orangtua saya bilang mungkin pelatihan di perpustakaan bisa membuka jalan menjadi wirausahawan,” tuturnya.
Omongan orangtuanya itu memang benar. Perpusdes Sragen tidak seperti bayangannya. Malah Wahyu dilatih komputer dan cara memakai internet. Wahyu juga dicekoki video motivasi dari para orang yang berhasil membuka usaha karena perpustakaan.
Perpustakaan itu akhirnya semakin memotivasi Wahyu untuk berwirausaha. Dari obrolan dengan temannya usaha jahe merah dirasa menarik. Dia pun memanfaatkan internet di perpusdes untuk mengetahui bagaimana caranya berbudidaya jahe merah.
Sepulangnya dari pelatihan dia dipinjamkan modal Rp200.000 dari kakaknya lalu dengan sisa uang jajan akhirnya terkumpul Rp400.000 sebagai modalnya membeli bibit jahe merah secara online.
Sayang, usahanya gagal karena seluruh bibit mati. Namun, dia tidak pantang menyerah hingga akhirnya kembali ke Sragen untuk browsing dan membaca buku referensi bagaimana cara membuat bibit jahe merah sendiri.
“Ketika ingin menanam jahe lagi tetangga saya tertawa karena kegagalan sebelumnya. Tapi, ternyata bibit jahe merah yang saya semai sebulan malah lebih bagus dari yang saya beli di internet itu,” ungkapnya.
Wahyu lalu memfoto bibitnya untuk diiklankan di internet dari komputer yang dipinjam di Perpusdes. Dia mengaku, dua jam setelah diiklankan ada peminat dari Purwodadi menelponnya lalu berturut-turut dari Solo dan Purworejo juga.
Wahyu mengantar sendiri pesanannya ke kota-kota tersebut. Dua bulan berselang pesanan datang dari Jawa Barat hingga Sumatera. Lima bulan berikutnya, pendapatannya per bulan antara Rp4-Rp10 juta dan cukup untuk membiayai cita-cita untuk kuliah.
Saat ini, Wahyu tercatat sebagai mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, jurusan Agrobisnis. Lalu apakah keinginanya berwirausaha berhenti di jahe merah? Ternyata tidak. Wahyu merambah ke penjualan karung, tetes tebu dan ke depan ingin usaha pembibitan jahe gajah.
Direktur Program Perpuseru Erlyn Sulistyaningsih mengatakan, masyarakat membutuhkan akses informasi untuk membantu mengembangkan dirinya dan meningkatkan kualitas hidup. Di era digital ini infomasi tidak hanya bisa didapat melalui buku namun juga akses internet.
“Kami bekerja sama dengan perpustaakaan di 1.059 perpustakaan untuk mengembangkan perpustakaan umum menjadi pusat belajar masyarakat yang memberi pelayanan berbasis TIK untuk masyarakat,” terangnya.
Dampak nyatanya adalah, peningkatan kualitas hidup melalui penciptaan lapangan kerja baru, pekerjaan baru, peningkatan pendapatan, peningkatan pengetahuan kesehatan hingga media aktualisasi diri. Namun, agar perpustakaan lebih optimal perannya diperlukan dukungan dari pemerintah pusat dan daerah, swasta dan lembaga pendidikan lainnya.
Menurut Erlyn, kemitraan dapat mendukung pengembangan perpustaakaan melalui sinergi program dan sumber daya terkait.
Di Wonorejo ada seorang pengusaha jahe merah yang sukses karena perpustakaan. Namanya Wahyu Widodo, pria berusia 19 tahun yang mengaku drop out setelah lulus SMA karena ketiadaan biaya untuk kuliah.
“Bapak ibu saya seorang petani. Tahun lalu selepas SMA saya tidak bisa melanjutkan kuliah. Hanya bantu orangtua di sawah,” ujarnya, saat media gathering Perpuseru yang diprakarsai Cola Cola Foundation di Jakarta.
Wahyu menuturkan, ketika sawah orangtuanya gagal panen mereka menyuruh bekerja di pabrik. Tapi, Wahyu menolak. Alasannya, dia ingin membuka usaha sendiri. Namun bagi anak petani gurem seperti dia impian usaha sendiri itu bagai pungguk merindukan bulan.
Pada akhirnya, ada pengelola perpustakaan desa (perpusdes) yang mengajaknya ikut pelatihan di Perpusdes Sragen. Awalnya, dia menolak karena bayangan perpustakaan yang berdebu, kumuh, gelap dan membosankan. Namun, ayah ibunya mendesak dia ikut daripada seumur hidup hanya menjadi petani kecil. “Waktu itu orangtua saya bilang mungkin pelatihan di perpustakaan bisa membuka jalan menjadi wirausahawan,” tuturnya.
Omongan orangtuanya itu memang benar. Perpusdes Sragen tidak seperti bayangannya. Malah Wahyu dilatih komputer dan cara memakai internet. Wahyu juga dicekoki video motivasi dari para orang yang berhasil membuka usaha karena perpustakaan.
Perpustakaan itu akhirnya semakin memotivasi Wahyu untuk berwirausaha. Dari obrolan dengan temannya usaha jahe merah dirasa menarik. Dia pun memanfaatkan internet di perpusdes untuk mengetahui bagaimana caranya berbudidaya jahe merah.
Sepulangnya dari pelatihan dia dipinjamkan modal Rp200.000 dari kakaknya lalu dengan sisa uang jajan akhirnya terkumpul Rp400.000 sebagai modalnya membeli bibit jahe merah secara online.
Sayang, usahanya gagal karena seluruh bibit mati. Namun, dia tidak pantang menyerah hingga akhirnya kembali ke Sragen untuk browsing dan membaca buku referensi bagaimana cara membuat bibit jahe merah sendiri.
“Ketika ingin menanam jahe lagi tetangga saya tertawa karena kegagalan sebelumnya. Tapi, ternyata bibit jahe merah yang saya semai sebulan malah lebih bagus dari yang saya beli di internet itu,” ungkapnya.
Wahyu lalu memfoto bibitnya untuk diiklankan di internet dari komputer yang dipinjam di Perpusdes. Dia mengaku, dua jam setelah diiklankan ada peminat dari Purwodadi menelponnya lalu berturut-turut dari Solo dan Purworejo juga.
Wahyu mengantar sendiri pesanannya ke kota-kota tersebut. Dua bulan berselang pesanan datang dari Jawa Barat hingga Sumatera. Lima bulan berikutnya, pendapatannya per bulan antara Rp4-Rp10 juta dan cukup untuk membiayai cita-cita untuk kuliah.
Saat ini, Wahyu tercatat sebagai mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, jurusan Agrobisnis. Lalu apakah keinginanya berwirausaha berhenti di jahe merah? Ternyata tidak. Wahyu merambah ke penjualan karung, tetes tebu dan ke depan ingin usaha pembibitan jahe gajah.
Direktur Program Perpuseru Erlyn Sulistyaningsih mengatakan, masyarakat membutuhkan akses informasi untuk membantu mengembangkan dirinya dan meningkatkan kualitas hidup. Di era digital ini infomasi tidak hanya bisa didapat melalui buku namun juga akses internet.
“Kami bekerja sama dengan perpustaakaan di 1.059 perpustakaan untuk mengembangkan perpustakaan umum menjadi pusat belajar masyarakat yang memberi pelayanan berbasis TIK untuk masyarakat,” terangnya.
Dampak nyatanya adalah, peningkatan kualitas hidup melalui penciptaan lapangan kerja baru, pekerjaan baru, peningkatan pendapatan, peningkatan pengetahuan kesehatan hingga media aktualisasi diri. Namun, agar perpustakaan lebih optimal perannya diperlukan dukungan dari pemerintah pusat dan daerah, swasta dan lembaga pendidikan lainnya.
Menurut Erlyn, kemitraan dapat mendukung pengembangan perpustaakaan melalui sinergi program dan sumber daya terkait.
(dmd)