Paket Kebijakan Tak Mempan Dongkrak Rupiah

Sabtu, 26 September 2015 - 10:11 WIB
Paket Kebijakan Tak...
Paket Kebijakan Tak Mempan Dongkrak Rupiah
A A A
DALAM mengatasi perlambatan ekonomi dan melemahnya rupiah, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengeluarkan paket kebijakan untuk mendongkrak perekonomian nasional. Namun, paket kebjiakan yang diberi nama September I itu belum bisa mengangkat rupiah dari tekanan dolar Amerika Serikat (USD).

Posisi rupiah berdasarkan data Sindonews bersumber dari Limas, pada akhir pekan ini, ditutup di level Rp14.738/USD, lebih buruk 76 poin dibanding posisi penutupan sebelumnya di angka Rp14.662/USD

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengemukakan, terjungkalnya rupiah terjadi akibat ketidakpastian eksternal, terkait kembali mundurnya rencana AS menaikkan tingkat suku bunga (Fed rate). Namun, kondisi di dalam negeri juga tidak boleh diabaikan karena perlambatan ekonomi.

Paket kebijakan September I yang diharapkan jadi stimulus roda perekonomian tidak bisa memberikan optimisme terhadap pasar dan pelaku usaha. "Ketidakpastian di dalam negeri, pertama karena paket stimulus yang kemarin diluncurkan tidak memberikan optimisme. Artinya, tidak banyak menyelesaikan masalah," ujar Direktur Eksekutif Enny Sri Hartati saat dihubungi Sindonews di Jakarta, Kamis (24/9/2015).

Enny menuturkan, ketidakpastian yang terjadi pada perekonomian global membuka ruang terjadinya spekulasi di pasar. Ditambah ketidakpastian domestik membuat spekulasi semakin menguat. "Kita sudah cukup ditekan dengan ketidakpastian global, ya jangan ditambah dengan ketidakpastian domestik juga," imbuhnya.

Menurut Enny, pemerintah tidak memiliki kontrol terhadap apa yang terjadi dalam perekonomian global. Namun, pemerintah dapat mengontrol kondisi perekonomian domestik agar tetap kondusif. Sehingga, kepercayaan pasar akan kembali digenggam dan tidak menambah spekulasi yang menghantui rupiah.

"Kondisi kondusif di dalam negeri itu under control pemerintah. Kalau komunikasi publik bagus dan bauran kebijakan dipercaya pasar, ini tidak akan menambah spekulasi tadi," jelasnya.

Seperti diketahui, nilai tukar rupiah hingga akhir pekan ini telah melampaui batas wajar di atas Rp14.600/USD. Bulan ini sangat kritis bagi ketahanan perekonomian Indonesia khususnya dengan sentimen dari penantian suku bunga Amerika Serikat.

Pemerintahan yang solid menjadi syarat mutlak dan mengurangi sentimen negatif dari kegaduhan di kabinet yang dapat memperparah situasi.

Kepala Ekonom BNI Ryan Kiryanto mengatakan, faktor ketidakpastian kenaikan Fed rate membuat mata uang Asia, termasuk rupiah mudah bergejolak. Hal ini semakin parah karena sentimen positif dari dalam negeri nyaris tidak ada sama sekali.

"Sehingga di tengah ketidakpastian Fed rate, ada baiknya pemerintah memberikan sentimen positif ke pasar. Ini penting guna mempertebal kepercayaan pelaku pasar yang berujung meredakan kepanikan pasar," ujar Ryan.

Menurutnya, pemerintah juga harus menjalankan paket ekonomi jilid I agar memberikan dampak langsung terhadap sektor riil. Menurutnya, pasar butuh aksi nyata, bukan hanya janji tanpa realisasi. "Bahkan sangat penting juga untuk mengurangi atau menghilangkan kegaduhan di dalam negeri yang tidak perlu. Tunjukkan bahwa pemerintah solid dan kompak dari atas dan bawah," tegasnya.

Di tengah situasi ekonomi global kurang kondusif, lanjut Ryan, pemerintah harus lebih aktif berperan mendorong perekonomian. Namun, banyaknya pembangunan infrastruktur yang terhambat serta janji perbaikan layanan ekspor impor justru tampak belum bisa diatasi pemerintah dengan baik.

Sejalan dengan itu, gejolak pasar keuangan Indonesia diperkirakan terus berlanjut dalam beberapa bulan ke depan. Khususnya karena masa-masa penantian pelaku ekonomi atas keputusan suku bunga the Fed.

Sementara itu, ekonom DBS Bank Gundy Cahyadi berpendapat, komitmen Bank Indonesia (BI) untuk tetap aktif di pasar guna mencegah volatilitas yang berlebihan terbukti tidak cukup menjamin.

Menurutnya, data pertumbuhan ekonomi akan turut menentukan. Arus modal masuk diekuitas dan surat utang negara masih positif, yakni hampir USD5 miliar sejak awal tahun. Ini membuktikan investor asing tetap berinvestasi karena melihat potensi ekonomi secara jangka panjang. "Namun, potensi ini akan sia sia ketika pertumbuhan PDB kita terus melambat," kata Gundy.

Gundy menyebutkan, pertumbuhan investasi yang kuat akan sangat krusial, sehingga pasar akan terus memonitor data secara intens dalam hal ini karena sangat dibutuhkan. (Baca: Rupiah Makin Kritis Pemerintah Diminta Kurangi Kegaduhan)

Menanggapi situasi ini, CEO MNC Group Hary Tanoesoedibjo (HT) memandang, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) yang berlanjut membuat kondisi ekonomi semakin buruk. "Pemerintah harus mampu mengembalikan kepercayaan pasar agar nilai tukar rupiah membaik," ujar HT.

Menurut HT, melemahnya nilai tukar rupiah terhadap USD disebabkan oleh tiga hal, yakni tingkat kepercayaan investor berkurang, ekspor minim, serta devisa turun akibat adanya intervensi.

“Hal inilah yang menjadi tantangan bagi pemerintahan Jokowi-JK ke depan untuk memperbaiki kondisi perekonomian bangsa,” jelasnya.

Ketua Umum Partai Perindo ini menyarankan pemerintah agar berupaya menarik minat para investor untuk menanamkan modalnya. Hal ini agar USD bisa kembali ke Indonesia. Selain itu, belanja pemerintah juga harus dipercepat. (Baca: Rupiah Terus Melamah Kondisi Ekonomi Buruk)

HT memandang penguatan rupiah terhadap dolar AS (USD) tergantung pada fundamental perekonomian Indonesia. “Bagaimana ekspor bisa naik relatif terhadap impor. Investasi bisa meningkat baik dari investor asing maupun domestik,” ujarnya.

Dia mengatakan, pemerintah harus mengupayakan dana masuk ke Indonesia, sehingga mata uang rupiah bisa kembali perkasa.

Mengenai aturan penggunaan rupiah, HT memandang hal tersebut bagus. Namun, yang perlu dipikirkan adalah seberapa jauh langkah tersebut efektif.

Menurut HT, rupiah harus segera menguat. Bila tidak, masyarakat kecil yang paling dirugikan. Jika ada yang beranggapan rupiah melemah itu adalah baik, orang tersebut salah.

“Rupiah melemah bagus untuk Indonesia, itu salah besar. Sebab, masyarakat bawah bisa makin sengsara, makin mahal biaya hidup, sedangkan pendapatan tetap. Masak kurs melemah malah baik, teori dari mana itu,” tegas HT. (Baca: Penguatan Rupiah Tergantung Fundamental Ekonomi)

Di sisi lain, Kepala Riset PT MNC Securities Edwin Sebayang memperkirakan, dampak dari pelemahan rupiah adalah pemutusan hubungan kerja (PHK) yang masih akan berlanjut hingga akhir tahun ini.

Kondisi tersebut didukung nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) yang masih akan melemah sampai Rp15.000/USD, sehingga membebani perusahaan.

"Perkiraan kita sampai akhir tahun, rupiah berada di Rp14.500-15.000/USD. Kalau memang emiten banyak menggunakan USD, pasti PHK masih akan berlanjut," ujarnya.

Menurut Edwin, belum adanya penguatan rupiah dalam menghadapi perkasanya mata uang Negeri Paman Sam berdampak cukup parah ke perusahaan terbuka maupun belum. "Efek domino parah berdampak ke emiten, perusahaan terbuka maupun tidak sama saja," jelasnya.

Dia menyebutkan, kondisi demikian membuat perusahaan memiliki pilihan untuk menaikkan harga jual produknya atau menutup cabang yang ada.

"Daya beli masyarakat menurun, harga barang meningkat, emiten punya utang USD bisa tutup toko. Memotong biaya dengan menutup cabang tersebut yang secara ekonomi tidak menguntungkan," pungkasnya.

Menteri Koordinator (Menko) bidang Perekonomian Darmin Nasution memandang terjungkalnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) karena pasar terlalu berlebihan menanggapi ekonomi China.

Dia mengatakan, pelemahan nilai tukar mata uang Garuda ini disebabkan karena pasar mulai spekulasi mengenai apa yang sebenarnya terjadi terhadap ekonomi Tirai Bambu.‎ Selain itu, harga komoditas kembali turun sehingga berdampak terhadap rupiah.

"‎Ya, memang harga komoditi kelihatannya turun lagi. Dan, market mulai spekulasi mengenai seperti apa ekonomi China sebetulnya. Itu semua ada kaitannya, dan itu membuat spekulasi agak menguat," ujarnya di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Rabu (23/9/2015).

Mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) ini awalnya berharap spekulasi akan mereda setelah bank sentral Amerika Serikat (The Federal Reserve) mengumumkan tidak jadi menaikkan tingkat suku bunga. Namun ternyata, pasar justru merespon lebih besar terhadap ekonomi Tirai Bambu.

"Saya tidak melihat ada faktor khusus dari domestik. Ini cuma nanti kita bicara dengan BI untuk mengetahui itu," tukasnya.
(dmd)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0850 seconds (0.1#10.140)