Industri Keluhkan Tingginya Harga Gas
A
A
A
JAKARTA - Tingginya harga gas untuk industri dalam negeri, membuat kalangan industri menjerit. Mereka meminta pemerintah mengevaluasi margin harga distribusi, sehingga harga bisa turun dan industri dapat bersaing dengan kompetitor dari mancanegara.
Menurut Koordinator Gas Industri Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Achmad Widjaya, seharusnya pemerintah mengevaluasi harga gas yang saat ini terlampau mahal.
"Kalau harga di hulu saja sudah bisa diturunkan, mengapa di hilir tidak? Pemerintah seharusnya melakukan evaluasi dan kajian agar harga bisa turun. Margin pemilik pipa juga harus dievaluasi," kata dia dalam rilisnya, Jakarta, Senin (5/10/2015).
Harga gas untuk industri yang mencapai USD3-USD10 per MMBTU tentu saja membuat industri dalam negeri tidak bisa bersaing dengan kompetitor. Untuk itu, jangankan membandingkan dengan harga di luar negeri yang hanya USD3,7, membandingkan dengan kondisi 15 tahun lalu saja, sudah jelas harga gas seharusnya bisa jauh lebih murah.
"Bagi kami, industri pengguna gas, kondisi ini ibaratnya, sudah jatuh tertimpa tangga. Di saat dolar terus naik, kami masih harus membayar mahal gas," katanya.
Di sisi lain, Widjaya juga menyesalkan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk yang mengambil margin rata-rata USD4 per MMBTU atau di atas 40%. Margin tersebut, lanjutnya, jauh lebih besar daripada aturan toll fee yang ditetapkan oleh BPH Migas.
"PGN harusnya mengambil margin yang wajar, yakni gross profit 30%. Mengapa mereka mematok begitu tinggi? Mengapa mereka tidak menjalankan aturan yang sudah ada?" ujarnya.
Dalam konteks ini, pihaknya berharap, seharusnya harga gas bisa diturunkan menjadi sekitar USD6 per MMBTU, termasuk toll fee. Dengan harga sebesar itu, meski masih lebih tinggi dibanding negara tetangga, namun industri masih bisa bersaing dan menjalankan roda bisnisnya.
Menurut Koordinator Gas Industri Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Achmad Widjaya, seharusnya pemerintah mengevaluasi harga gas yang saat ini terlampau mahal.
"Kalau harga di hulu saja sudah bisa diturunkan, mengapa di hilir tidak? Pemerintah seharusnya melakukan evaluasi dan kajian agar harga bisa turun. Margin pemilik pipa juga harus dievaluasi," kata dia dalam rilisnya, Jakarta, Senin (5/10/2015).
Harga gas untuk industri yang mencapai USD3-USD10 per MMBTU tentu saja membuat industri dalam negeri tidak bisa bersaing dengan kompetitor. Untuk itu, jangankan membandingkan dengan harga di luar negeri yang hanya USD3,7, membandingkan dengan kondisi 15 tahun lalu saja, sudah jelas harga gas seharusnya bisa jauh lebih murah.
"Bagi kami, industri pengguna gas, kondisi ini ibaratnya, sudah jatuh tertimpa tangga. Di saat dolar terus naik, kami masih harus membayar mahal gas," katanya.
Di sisi lain, Widjaya juga menyesalkan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk yang mengambil margin rata-rata USD4 per MMBTU atau di atas 40%. Margin tersebut, lanjutnya, jauh lebih besar daripada aturan toll fee yang ditetapkan oleh BPH Migas.
"PGN harusnya mengambil margin yang wajar, yakni gross profit 30%. Mengapa mereka mematok begitu tinggi? Mengapa mereka tidak menjalankan aturan yang sudah ada?" ujarnya.
Dalam konteks ini, pihaknya berharap, seharusnya harga gas bisa diturunkan menjadi sekitar USD6 per MMBTU, termasuk toll fee. Dengan harga sebesar itu, meski masih lebih tinggi dibanding negara tetangga, namun industri masih bisa bersaing dan menjalankan roda bisnisnya.
(izz)