Industri Sawit dalam Ancaman Asing, Pemerintah Jangan Naif

Rabu, 28 Oktober 2015 - 15:54 WIB
Industri Sawit dalam Ancaman Asing, Pemerintah Jangan Naif
Industri Sawit dalam Ancaman Asing, Pemerintah Jangan Naif
A A A
JAKARTA - Berbagai upaya dilakukan negara lain untuk mengganjal perkembangan industri kepala sawit nasional. Mulai dari isu lingkungan, anti-dumping, sampai dengan kabut asap yang melanda Indonesia saat ini, semua menjadi senjata untuk membunuh sektor strategis tersebut.

Proteksi yang mereka lakuan adalah dengan menggunakan isu lingkungan melalui corong lembaga swadaya masyarakat (LSM) dari luar dan dalam negeri, regulasi ketat untuk produk dari Indonesia, isu kesehatan dan sebagainya. Bagaimana menyikapi ancaman ini yang disinyalir sebagai bagian dari proxy war (perang proksi yang sangat berbahaya menggunakan pihak ketiga)?

"Di sini pemerintah jangan naif. Kita ini berada dalam lingkungan global yang pada ujung-ujungnya adalah kepentingan ekonomi suatu negara. Kita seakan dilupakan isu lingkungan dan HAM atau lainnya, tanpa mengindahkan kepentingan di balik itu. Di sini dibutuhkan pejabat negara yang smart, yang melihat kepentingan bangsa secara global dan menyeluruh," ujar Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono dalam diskusi di Auditorium Gedung Sindo, Jakarta, Selasa (27/10/2015) malam.

Situasi ini, sangat disadari para pengusaha di Tanah Air. Bagaimana mereka sulit menembus pasar Eropa dengan berbagai peraturan dan syarat yang ketat. Sementara produk mereka bisa dengan mudah masuk ke Indonesia. Pemerintah harus jeli melihat ini.

Joko mencontohkan, saat Pakistan mengajak Indonesia menjalin hubungan perdagangan bebas, pemerintah tidak membacanya dengan baik. Pakistan hanya menginginkan bagaimana jeruk andalan mereka bisa masuk ke Indonesia. Pemerintah menolak dengan dalih untuk memberikan perlindungan terhadap petani jeruk di Indonesia. Padahal, jika dihitung kalkulasi ekonomi Indonesia diuntungkan jauh lebih besar. Di mana Indonesia bisa mengekspor minyak sawit atau CPO ke Pakistan sebesar 600 ribu ton, jauh dari nilai jeruk itu sendiri.

"Selama 4 tahun pemerintah ngotot untuk tidak melakukan perjanjian perdagangan. Di sini justru kita yang rugi. karena Pakistan tidak mau menerima minyak sawit dan produk kita yang lain. Sementara impor jeruk hitungan ekonominya sangat kecil. Nah, sekarang telah dibuka, apa keuntungan buat kita? Kita sanggup ekspor sawit ke Paskistan mencapai 1 juta ton. Di sini lah hal harus dihitung pemerintah," jelasnya.

Dalam situasi ini, pemerintah harus berani bersikap dan mengambil posisi. "Jangan sampai seperti yang dialami komoditi tembakau, yang mulai saat ini kita berbalik jadi pengimpor. Alasannya adalah ancaman kesehatan dan rokok kretek tidak boleh. Di sini banyak pihak yang bermain dalam regulasi, dan banyak terjebak dalam aturan semu," papar Joko.
(dmd)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6014 seconds (0.1#10.140)