Untung-Rugi Indonesia Masuk TPP

Sabtu, 07 November 2015 - 09:06 WIB
Untung-Rugi Indonesia Masuk TPP
Untung-Rugi Indonesia Masuk TPP
A A A
RENCANA Indonesia masuk dalam perdagangan bebas Trans-Pacific Partnership (TPP) menjadi polemik. Maklum, Indonesia bukan negara yang penginisiasi hubungan perdagangan tersebut. Banyak pihak yang menghitung Indonesia akan rugi jika ikut TPP.

Mantan staf khusus presiden pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Firmanzah mengungkapkan, Amerika Serikat (AS) sejatinya sudah melobi Indonesia bergabung dengan Trans-Pacific Partnership, sejak 2012 silam.

"Saya tidak tahu persis kapan, tapi sejak 2012 itu sudah (mengajak masuk ke dalam TPP)," ujarnya kepada wartawan di Jakarta, Jumat (6/11/2015).

Menurut Firman, wajar jika Amerika Serikat masih tetap berharap Indonesia bisa masuk ke dalam sistem perdagangan yang dimotorinya itu. "Ya kurang lebih enggak apa-apa mereka terus menawarkan (masuk TPP)," ucapnya.

Dia menjelaskan, pada era SBY, pemerintah memutuskan tidak masuk ke dalam TPP karena masih fokus terhadap pasar domestik dibanding luar negeri dengan melakukan ekspor.

Firman menerangkan, produk Indonesia saat ini belum siap dipasarkan dalam jumlah besar ke luar negeri, sedangkan jika masuk dalam TPP barang dari asing akan membanjiri pasar Tanah Air.

Selain itu, lanjut dia, kesiapan lainnya, seperti perusahaan, pendidikan, dan teknologi masih dirasa belum bisa bersaing dengan negara maju yang tergabung dalam TPP.

"Di TPP, yang jadi standar negara maju. Perusahaan, pendidikan, dan teknologi mereka lebih advance. Belum tepat sekarang (Indonesia) masuk ke TPP," tegasnya.

Sementara itu, pengamat Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana memandang, kepentingan Indonesia tidak akan terakomodasi dalam kerja sama Trans-Pacific Partnership (TPP). Pasalnya, Indonesia bukan negara yang ikut dalam proses pembentukan perjanjian tersebut.

Menurutnya, Indonesia tidak akan memberikan warna pada perjanjian lintas pasifik. Indonesia hanya akan mengikuti segala peraturan yang sebelumnya disepakati negara-negara pencetus TPP.

"Kita juga akan dibanjiri barang-barang impor. Pengusaha nasional yang tidak mampu bersaing dengan produk impor akan gulung tikar. Ini berarti penciutan lapangan kerja," katanya.

Selain itu, lanjut dia, TPP tidak berpihak terhadap kepentingan Indonesia, karena tak memperbolehkan perlakuan istimewa terhadap BUMN. Padahal, dalam Pasal 33 ayat 2 UUD 1945 disebutkan pemerintah bisa saja memberi monopoli kepada perusahaan pelat merah sepanjang jenis usahanya menguasai hajat hidup orang banyak.

"Urgensinya semakin tidak ada mengingat Indonesia akan menghadapi MEA. Pemerintah belum sepenuhnya siap menghadapi MEA. Kalau dalam waktu dekat Indonesia gabung TPP maka beban Indonesia akan semakin berat," terang Hikmahanto.

Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyarankan pemerintah meminta bisikan ekonom sebelum memutuskan bergabung dalam Trans-Pacific Partnership (TPP) atau tidak.

Selain itu, lanjut SBY, pemerintah juga perlu meminta pendapat para pengusaha dan masyarakat. Ini mengingat dampak besar yang muncul dari perdagangan lintas pasifik tersebut.

"Mengingat dampak TPP besar bagi ekonomi kita, pemerintah perlu minta pendapat para ekonom, dunia usaha, dan masyarakat," tulisnya melalui akun twitter @SBYudhoyono, Jumat (30/10/2015).

SBY mengatakan, adanya diskusi dengan ketiga elemen bangsa ini bisa membuat Indonesia lebih kuat dalam posisi tawar-menawar dengan para negara yang bergabung dalam TPP.

"Negosiasi kita harus kuat (tough), jangan sampai kita hanya dapat sedikit. Lagipula negosiasi, 12 negara TPP telah tuntas 5 Oktober 2015," jelas Ketua Umum Partai Demokrat ini.

Selain itu, pemerintah harus memastikan siapapun bekerja sama, kepentingan nasional harus di atas segalanya. Sehingga, Indonesia harus mendapat keuntungan nyata, baik dalam pertumbuhan ekonomi, pembukaan lapangan kerja, maupun pengurangan kemiskinan.

"Mari kita bantu Presiden Jokowi untuk bisa mengambil keputusan dengan tepat dan jernih, demi kepentingan bangsa dan negara tercinta," tandasnya.

Sementara itu, Ketua Umum Partai Perindo Hary Tanoesoedibjo (HT) mengatakan rencana pemerintah bergabung dalam TPP harus ditinjau ulang. Sebab, Indonesia hanya akan menjadi pasar bagi selusin negara besar dalam blok ekonomi tersebut.

"Bukan kita mengambil market mereka, tetapi mereka ambil market kita. Hati-hati saja," ujar HT, usai temu kader Partai Perindo Kabupaten Bogor di Citeureup, Bogor, Rabu, 4 November 2015.

Dia mengatakan, basis ekonomi Indonesia sudah bergeser dari produksi ke konsumsi. Sifat konsumtif masyarakat ini akan menguntungkan negara-negara yang tergabung dalam TPP. Mereka bisa leluasa memasarkan produk dan jasanya di Tanah Air.

"Harus diingat, masyarakat kita konsumtif, karena generasi muda kita besar. Mereka lebih banyak mengeluarkan, membelanjakan daripada saving atau menabung," tuturnya.

Menurut HT, dalam tatanan masyarakat yang mayoritas belum mapan, pemberlakuan pasar bebas sangat merugikan. Indonesia akan tergilas negara-negara lain yang daya saingnya lebih tinggi. "Kita belum siap diadu sama negara maju. Bagaimana kita mau menang," tegasnya.

HT mengatakan, jangankan bersaing dengan Amerika Serikat, Kanada dan negara-negara maju lainnya dalam TPP, untuk menghadapi persaingan dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) saja, Indonesia belum siap. "Trans Pacific Partnership itu makin memperburuk, kalau itu dibuka untuk semua lapisan," ungkapnya.

Di sisi lain, Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi menyatakan, Indonesia belum memutuskan apakah akan bergabung atau tidak dengan kelompok kerja sama tersebut.

Dia menuturkan saat ini Indonesia belum mendapatkan dokumen soal TPP. Keputusan bergabung atau tidak dengan TPP dikeluarkan setelah mendapatkan dan memperlajari dokumen tersebut.

"Mengenai TPP, kita mengharapkan agar dapat segera memperoleh dokumennya untuk kita pelajari. Jadi, kita ada satu tahapan yang harus kita lalui dulu karena sekarang kita kan dokumennya belum ada. Maka kita minta agar dokumen itu bisa segera diterima dengan utuh untuk dipelajari," ujar Retno, di Kompleks Kementerian Luar Negeri Indonesia, Jakarta, Senin (2/11/2015).

Dia meminta kepada semua pihak untuk melihat pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pascamelakukan pertemuan dengan Presiden Barack Obama secara utuh, sehingga tidak terjadi kesalahpemahaman.

"Jadi sebenarnya harus dilihat secara utuh kalimatnya. Pak Jokowi menyampaikan secara utuh kalimatnya kepada Presiden Obama bahwa ekonomi Indonesia adalah ekonomi yang terbuka," tandas Retno.
(dmd)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7146 seconds (0.1#10.140)