Darmin Ungkap Penyebab USD Sulit Jatuh
A
A
A
TANGERANG - Menteri Koordinator (Menko) bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, salah satu alasan semakin menguatnya dolar Amerika Serikat (USD), karena seluruh orang di dunia senang pegang USD.
Menurutnya, semakin banyak masyarakat memegang USD, semakin banyak pula USD disimpan. Padahal, AS pernah alami krisis keuangan yang harus melakukan kebijakan moneter, dan mengesampingkan fiskal sehingga keuangannya pada masa itu melemah.
Kondisi tersebut juga memicu Jepang untuk melakukan kebijakan moneter yang sama seperti AS tapi tidak berhasil.
"Waktu krisis keuanngan AS datang, dia tidak punya pilihan lain selain moneter. Fiskal sudah mentok istilahnya. Namanya AS, ternyata relatif berhasil dengan kebijakan tidak lumrah ini. Jepang beberapa tahun mencoba, tapi tidak berhasil, karena orang maunya cuma dolar, bukan yen. Makin banyak USD makin senang simpannya, jadi enggak pernah jatuh nilainya," katanya di Tangerang, Jumat (18/12/2015).
Namun, meski AS melakukan kebijakan moneter dengan menekan suku bunganya hingga 0,25% waktu itu, ternyata tidak bagus dan mengandung risiko jika diteruskan. AS akhirnya mencari momontum untuk keluar dari situasi tersebut namun tidak bisa serta merta keluar begitu saja.
"Mereka (AS) penuh pertimbangan sekali untuk keluar dari kebijakan moneter itu. Karena mereka takut kalau dia keluar dari posisi itu, ekonominya bakal drop lagi. Akhirnya mereka melakukan terobosan, penciptaan lapangan kerja baru dan inflasi. Inflasi harus naik, itu menandakan ekonominya menggeliat," terang Darmin.
Sehingga, pada akhirnya Federal Reserve (The Fed) menaikkan suku bunga (fed rate) 0,25%-0,50% setelah sejak 2013 isu kenaikan Fed Rate mencuat dan menimbulkan ketidakpastian pasar.
"Tapi ini enggak pengaruh besar ke kita. Terus jadi apa yang dilakukan Indonesia? Ya kita enggak apa-apa, karena memang betul kita sudah mem-price-in," pungkas dia.
Menurutnya, semakin banyak masyarakat memegang USD, semakin banyak pula USD disimpan. Padahal, AS pernah alami krisis keuangan yang harus melakukan kebijakan moneter, dan mengesampingkan fiskal sehingga keuangannya pada masa itu melemah.
Kondisi tersebut juga memicu Jepang untuk melakukan kebijakan moneter yang sama seperti AS tapi tidak berhasil.
"Waktu krisis keuanngan AS datang, dia tidak punya pilihan lain selain moneter. Fiskal sudah mentok istilahnya. Namanya AS, ternyata relatif berhasil dengan kebijakan tidak lumrah ini. Jepang beberapa tahun mencoba, tapi tidak berhasil, karena orang maunya cuma dolar, bukan yen. Makin banyak USD makin senang simpannya, jadi enggak pernah jatuh nilainya," katanya di Tangerang, Jumat (18/12/2015).
Namun, meski AS melakukan kebijakan moneter dengan menekan suku bunganya hingga 0,25% waktu itu, ternyata tidak bagus dan mengandung risiko jika diteruskan. AS akhirnya mencari momontum untuk keluar dari situasi tersebut namun tidak bisa serta merta keluar begitu saja.
"Mereka (AS) penuh pertimbangan sekali untuk keluar dari kebijakan moneter itu. Karena mereka takut kalau dia keluar dari posisi itu, ekonominya bakal drop lagi. Akhirnya mereka melakukan terobosan, penciptaan lapangan kerja baru dan inflasi. Inflasi harus naik, itu menandakan ekonominya menggeliat," terang Darmin.
Sehingga, pada akhirnya Federal Reserve (The Fed) menaikkan suku bunga (fed rate) 0,25%-0,50% setelah sejak 2013 isu kenaikan Fed Rate mencuat dan menimbulkan ketidakpastian pasar.
"Tapi ini enggak pengaruh besar ke kita. Terus jadi apa yang dilakukan Indonesia? Ya kita enggak apa-apa, karena memang betul kita sudah mem-price-in," pungkas dia.
(izz)