Pengampunan Pajak Karpet Merah bagi Pelaku Kejahatan Ekonomi

Senin, 15 Februari 2016 - 16:58 WIB
Pengampunan Pajak Karpet Merah bagi Pelaku Kejahatan Ekonomi
Pengampunan Pajak Karpet Merah bagi Pelaku Kejahatan Ekonomi
A A A
JAKARTA - Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menengarai, Rancangan Undang Undang (RUU) Pengampunan Pajak berpotensi menjadi fasilitas 'karpet merah' bagi para konglomerat, pelaku kejahatan ekonomi dan keuangan, serta tindakan pencucian uang.

Sekretaris Jenderal Fitra Yenny Sucipto menyatakan, ‎masih minimnya penerimaan pajak di Tanah Air merupakan masalah utama yang perlu diselesaikan. Namun, hal tersebut bukan berarti dilakukan dengan pengampunan pajak (tax amnesty), melainkan dengan perbaikan sistem pemungutan pajak.

"Dalam RUU Pengampunan Pajak dicantumkan bahwa asal seorang atau badan mengajukan pengampunan maka akan dilakukan proses pengampunan tanpa melihat asal-usul harta. Ini berpotensi menjadi karpet merah bagi pelaku kejahatan ekonomi, finansial, dan pencucian uang," ujarnya, di Sekretaris Nasional Fitra, Jakarta, Senin (15/2/2016).

Menurut Yenny, jika proses pengampunan pajak tersebut tidak disaring terlebih dahulu justru akan berpotensi menarik banyak uang haram dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta perekonomian Indonesia. Selain itu, kebijakan ini diyakini juga akan semakin memperlebar jarak kemiskinan dan kesejahteraan lantaran sistem yang tidak adil.

"Hal tersebut tercermin dari pengampunan yang diberikan dalam bentuk sanksi pidana perpajakan, dan sanksi dengan berupa uang," imbuhnya.

Yenny menegaskan, masalah ini sangat bertolakbelakang dengan sistem hukum di Indonesia yang menyatakan semua warga negara sama di depan hukum, serta semua warga negara wajib membayar pajak sesuai dengan ketentuan.

"Hal ini akan terasa tidak adil karena masyarakat akan merasa mereka telah membayar pajak sesuai dengan batasnya, namun justru orang kaya yang mendapat perlakuan khusus dari pemerintah. Jelas bahwa RUU ini menguntungkan elit dan semakin memiskinkan jelata," tegasnya.

Selain itu, lanjut dia, RUU ini juga tidak akan efektif mengukur jumlah harta perseroan dan badan. Sebab, dalam RUU tersebut pengampunan akan didasarkan pada persentase jumlah harta secara keseluruhan, untuk merumuskan besaran jumlah uang tebusan.

"Sistem ini naif karena masalah rahasia perbankan, sistem Ditjen Pajak pun belum bisa masuk‎ dan bebas tanpa bantuan penegak hukum," ungkapnya.

Yenny menambahkan, amanat pembentukan Satuan Tugas Pengampunan Pajak yang langsung di bawah Presiden juga tidak akan efektif dan justru tumpang tindih dengan Ditjen Pajak dan penegak hukum lainnya.

"Potensi korupsi berupa ruang transaksional juga sangat tinggi. Tercermin dengan pengelolaan yang diserahkan kepada satgas, karena sistem pengawasan, transparansi dan akuntabilitas tidak ada. Justru ruang ini akan menjadi proses transaksional yang legal dengan memanipulasi perhitungan uang tebusan," tandasnya.
(dmd)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3912 seconds (0.1#10.140)