ESDM Beberkan Alasan Minim Penyerapan Produk Dalam Negeri
A
A
A
JAKARTA - Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot Ariyono menerangkan terdapat tiga alasan yang menjadi kendala dalam pemanfaatkan produk dalam negeri secara maksimal. Sebelumnya ESDM disebut sebagai salah satu kementerian dengan porsi terbanyak penggunaan barang impor dalam rapat terbatas membahas Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).
(Baca Juga: Jokowi 'Sentil' Kementerian dan BUMN Gunakan Produk Impor)
Dia menerangkan ketersediaan barang modal yang belum menyeluruh membuat potensi pemanfaata menjadi minim. "Pertama, belum tersedia secara menyeluruh data ketersediaan barang modal. Informasinya belum terbangun dengan baik," jelasnya di Ritz Carlton, Jakarta, Rabu (24/2/2016).
Lanjut dia, kedua kualitas dan kontinuitas daripada harga barang modal yang kompetitif perlu ditingkatkan lagi. Pasalnya kompetitifnes produk Indonesia masih kalah bila dibandingkan dengan negara lain. "Ketiga, kekuatan kapasitas dan ketersediaan barang modal dari produsen yang masih belum tersedia dan produk dalam negeri yang dibutuhkan masih terbatas," sambungnya.
(Baca Juga: Kementerian Ini Gunakan Produk Impor Paling Banyak)
Menurutnya sangat penting melihat barang yang sudah diproduksi dan tersedia di master list dalam negeri, menjadi yang harus diperhatikan. Sehingga bagaimana mempelajari kebutuhan dalam negeri, seperti apa yang nantinya bisa diserap perusahaan tambang, bisa terorganisir dengan baik. "Langkah tindak lanjutnya, kita mendorong produsen dalam negeri untuk meningkatkan dari sisi kualitas. Sehingga dapat bersaing dengan perusahaan impor," lanjutnya.
Masalah lain dijelaskan datang saat pemerintah masih memberlakukan PPN terhadap penyerapan produk dalam negeri. PPN tersebut terkadang yang ditransaksikan di dalam negeri lebih mahal daripada dari luar.
"Mereka dapat fasilitas bea masuk sementara produk dalam negeri terkena PPN 10%. Pemerintah terus melakukan evaluasi pengawasan barang modal, dan mengutamakan barang dalam negeri. Memang secara regulasi dan fasilitas kita sudah fasilitasi. Namun demikian kita harus lakukan evaluasi. Impor itu punya fasilitas lebih murah daripada beli di dalam yang dapat tambahan PPN 10%. Ini perlu dibenahi," pungkasnya.
(Baca Juga: Jokowi 'Sentil' Kementerian dan BUMN Gunakan Produk Impor)
Dia menerangkan ketersediaan barang modal yang belum menyeluruh membuat potensi pemanfaata menjadi minim. "Pertama, belum tersedia secara menyeluruh data ketersediaan barang modal. Informasinya belum terbangun dengan baik," jelasnya di Ritz Carlton, Jakarta, Rabu (24/2/2016).
Lanjut dia, kedua kualitas dan kontinuitas daripada harga barang modal yang kompetitif perlu ditingkatkan lagi. Pasalnya kompetitifnes produk Indonesia masih kalah bila dibandingkan dengan negara lain. "Ketiga, kekuatan kapasitas dan ketersediaan barang modal dari produsen yang masih belum tersedia dan produk dalam negeri yang dibutuhkan masih terbatas," sambungnya.
(Baca Juga: Kementerian Ini Gunakan Produk Impor Paling Banyak)
Menurutnya sangat penting melihat barang yang sudah diproduksi dan tersedia di master list dalam negeri, menjadi yang harus diperhatikan. Sehingga bagaimana mempelajari kebutuhan dalam negeri, seperti apa yang nantinya bisa diserap perusahaan tambang, bisa terorganisir dengan baik. "Langkah tindak lanjutnya, kita mendorong produsen dalam negeri untuk meningkatkan dari sisi kualitas. Sehingga dapat bersaing dengan perusahaan impor," lanjutnya.
Masalah lain dijelaskan datang saat pemerintah masih memberlakukan PPN terhadap penyerapan produk dalam negeri. PPN tersebut terkadang yang ditransaksikan di dalam negeri lebih mahal daripada dari luar.
"Mereka dapat fasilitas bea masuk sementara produk dalam negeri terkena PPN 10%. Pemerintah terus melakukan evaluasi pengawasan barang modal, dan mengutamakan barang dalam negeri. Memang secara regulasi dan fasilitas kita sudah fasilitasi. Namun demikian kita harus lakukan evaluasi. Impor itu punya fasilitas lebih murah daripada beli di dalam yang dapat tambahan PPN 10%. Ini perlu dibenahi," pungkasnya.
(akr)