BI Diminta Waspadai Utang Luar Negeri Swasta
A
A
A
JAKARTA - Bank Indonesia (BI) dan Pemerintah disarankan oleh Ekonom INDEF Dzulfian Syafrian harus tetap waspada dan memantau kondisi utang luar negeri (ULN), khususnya ULN swasta. Pasalnya dalam hal ini ULN perusahaan Indonesia dinilai sangat rentan terhadap gejolak eskternal, khususnya fluktuasi nilai tukar.
Dia menambahkan ULN Swasta meningkat cukup tajam dalam beberapa tahun terakhir. Posisi saat ini tercatat masih sekitar 30-35% terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional. "Meskipun demikian, ULN swasta Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan Negara-negara Emerging Markets lainnya seperti India, Malaysia, Thailand dan Filipina dimana rasio ULN swasta mereka terhadap PDB sekitar 70%," jelasnya saat dihubungi di Jakarta, Minggu (20/3/2016).
Menurutnya kerentanan ULN swasta utamanya disebabkan oleh nilai tukar rupiah yang tidak stabil, bahkan cenderung melemah (terhadap USD) dalam beberapa tahun belakang. "Celakannya sekitar 60% ULN swasta tercatat dalam mata uang asing, khususnya dalam USD," papar dia.
(Baca Juga: Utang Luar Negeri RI Januari Tumbuh 2,2%)
Menurutnya sektor yang mesti mendapat perhatian khusus oleh BI dan Pemerintah dalam hal ULN Swasta adalah perusahaan-perusahaan berbasis komoditas (seperti batu bara, minyak, gas, dan pertambangan) dan barang-barang yang tidak bisa diperdagangkan/non-tradeable (contoh: transportasi dan komunikasi). Selain itu, besarnya ULN swasta dalam mata uang asing juga utamanya dipicu oleh BUMN berbasis energi, seperti Pertamina dan PLN yang memiliki ULN sangat besar.
Dzulfian mengungkapkan, Jika pergolakan rupiah tidak terkendali, bukan tidak mungkin akan terjadi currency mismatches pada ULN swasta ini sehingga menyebabkan gagal bayar.
Apalagi, risiko gagal bayar ULN Swasta ini akan berbahaya bagi perekonomian nasional jika ULN Swasta tersebut terjadi di perusahaan besar dan konglomerasi sehingga akan berdampak sistemik ke perusahaan lain dan juga sektor keuangan. "Terlebih banyak dari ULN swasta ini belum melakukan ‘hedging’ sehingga sangat rentan terhadap fluktuasi nilai tukar," tukas dia.
Oleh karena itu, pendalaman dan pengembangan sektor keuangan dan inklusi keuangan (financial inclusion) harus segera dipercepat guna mengurangi costs of hedging, mengurangi gejolak di sektor keuangan, dan mempermudah transaksi keuangan di Indonesia.
Dia menambahkan ULN Swasta meningkat cukup tajam dalam beberapa tahun terakhir. Posisi saat ini tercatat masih sekitar 30-35% terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional. "Meskipun demikian, ULN swasta Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan Negara-negara Emerging Markets lainnya seperti India, Malaysia, Thailand dan Filipina dimana rasio ULN swasta mereka terhadap PDB sekitar 70%," jelasnya saat dihubungi di Jakarta, Minggu (20/3/2016).
Menurutnya kerentanan ULN swasta utamanya disebabkan oleh nilai tukar rupiah yang tidak stabil, bahkan cenderung melemah (terhadap USD) dalam beberapa tahun belakang. "Celakannya sekitar 60% ULN swasta tercatat dalam mata uang asing, khususnya dalam USD," papar dia.
(Baca Juga: Utang Luar Negeri RI Januari Tumbuh 2,2%)
Menurutnya sektor yang mesti mendapat perhatian khusus oleh BI dan Pemerintah dalam hal ULN Swasta adalah perusahaan-perusahaan berbasis komoditas (seperti batu bara, minyak, gas, dan pertambangan) dan barang-barang yang tidak bisa diperdagangkan/non-tradeable (contoh: transportasi dan komunikasi). Selain itu, besarnya ULN swasta dalam mata uang asing juga utamanya dipicu oleh BUMN berbasis energi, seperti Pertamina dan PLN yang memiliki ULN sangat besar.
Dzulfian mengungkapkan, Jika pergolakan rupiah tidak terkendali, bukan tidak mungkin akan terjadi currency mismatches pada ULN swasta ini sehingga menyebabkan gagal bayar.
Apalagi, risiko gagal bayar ULN Swasta ini akan berbahaya bagi perekonomian nasional jika ULN Swasta tersebut terjadi di perusahaan besar dan konglomerasi sehingga akan berdampak sistemik ke perusahaan lain dan juga sektor keuangan. "Terlebih banyak dari ULN swasta ini belum melakukan ‘hedging’ sehingga sangat rentan terhadap fluktuasi nilai tukar," tukas dia.
Oleh karena itu, pendalaman dan pengembangan sektor keuangan dan inklusi keuangan (financial inclusion) harus segera dipercepat guna mengurangi costs of hedging, mengurangi gejolak di sektor keuangan, dan mempermudah transaksi keuangan di Indonesia.
(akr)