Industri Perbankan Keberatan Premi LPS Naik
A
A
A
JAKARTA - Rencana kenaikan premi Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang mulai mengemuka disambut kurang baik oleh kalangan perbankan. Mereka menganggap kenaikan premi LPS akan mengurangi pendapatan dari kalangan perbankan, karena kenaikan premi tersebut akan menambah biaya yang dikeluarkan kalangan perbankan.
Vice President Bank Mandiri Cabang Yogyakarta Atta Alva Wanggai mengungkapkan, kenaikan premi penjaminan simpanan secara otomatis akan mengurangi laba yang diperoleh kalangan perbankan. Sebab, premi LPS merupakan salah satu komponen biaya yang dikeluarkan perbankan.
Menurutnya, jika ada kenaikan biaya akibat bertambahnya biaya premi yang dikeluarkan untuk penjaminan simpanan. Hal tersebut selalu berbanding lurus antara biaya dengan laba atau pendapatan. "Kalau biaya bertambah sementara pendapatan tetap tentu pendapatan akan turun," ujarnya, Rabu (6/4/2016).
Atta menjelaskan, selama ini pendapatan dari perbankan adalah dari bunga kredit yang disalurkan ke nasabah serta biaya-biaya transaksi yang dibebankan kepada nasabah. Sementara, biaya yang harus ditanggung di antaranya tenaga kerja serta pungutan-pungutan alias iuran wajib dari lembaga pengatur perbankan di Indonesia. Jika iuran wajib tersebut naik maka biaya yang dikeluarkan juga akan mengalami kenaikan.
Menurutnya, yang harus dipikirkan saat ini adalah Net Interest Margin (NIM) bunga deposito dan pinjaman yang harus diatur. Sehingga, pendapatan juga dapat diatur sedemikian rupa hingga tidak begitu terpengaruh dengan fluktuasi seperti sekarang ini. Dengan rencana kenaikan premi penjaminan tersebut tentu nanti akan membuat kalangan perbankan bersikap.
Di tengah industri perbankan yang kini diharuskan melakukan penurunan suku bunga kredit, maka pendapatan dari suku bunga ini juga akan tertekan. Kemungkinan besar, lanjut Atta, untuk mempertahankan pendapatan, yang akan dilakukan hanya penyesuaian biaya-biaya transaksi.
Dia menuturkan, ada kemungkinan perbankan akan menaikkan tarif transaksi baik ATM ataupun transaksi di outlet-outlet bank. Ataupun bank akan memperbanyak transaksi yang dikenakan biaya dari intern bank kepada nasabah.
"Jika biaya naik maka bank akan mengusik sisi lain seperti transaksi dinaikkan agar pendapatan tetap," ujarnya.
Ketua Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) DIY Ascar Setiyono mengatakan hal senada. Karena, dengan kenaikan premi ini akan meningkatkan biaya yang harus dikeluarkan.
Kenaikan premi ini akan memberatkan industri BPR. Sebab saat ini, dengan premi sebesar 0,1% sebenarnya sudah dianggap berat. Apalagi, jika nanti dinaikkan maka akan menambah berat industri BPR. "Tentu kalau bertambah maka agar berat. Karena kami masih menanggung iuran-iuran lain," paparnya.
Direktur Utama BPR Alto Makmur Sleman Kusmintarjo mengatakan, sebelum adanya kenaikan premi harus ada penjelasan atau pertanggungjawaban penggunaan dana yang dikumpulkan perbankan.
Selama ini belum ada transparansi jelas terkait pungutan tersebut. Di samping kewenangan LPS yang belum juga jelas. "Kewenangan LPS tersebut sejauh mana? Karena sekarang masih simpang siur," ujar dia.
Vice President Bank Mandiri Cabang Yogyakarta Atta Alva Wanggai mengungkapkan, kenaikan premi penjaminan simpanan secara otomatis akan mengurangi laba yang diperoleh kalangan perbankan. Sebab, premi LPS merupakan salah satu komponen biaya yang dikeluarkan perbankan.
Menurutnya, jika ada kenaikan biaya akibat bertambahnya biaya premi yang dikeluarkan untuk penjaminan simpanan. Hal tersebut selalu berbanding lurus antara biaya dengan laba atau pendapatan. "Kalau biaya bertambah sementara pendapatan tetap tentu pendapatan akan turun," ujarnya, Rabu (6/4/2016).
Atta menjelaskan, selama ini pendapatan dari perbankan adalah dari bunga kredit yang disalurkan ke nasabah serta biaya-biaya transaksi yang dibebankan kepada nasabah. Sementara, biaya yang harus ditanggung di antaranya tenaga kerja serta pungutan-pungutan alias iuran wajib dari lembaga pengatur perbankan di Indonesia. Jika iuran wajib tersebut naik maka biaya yang dikeluarkan juga akan mengalami kenaikan.
Menurutnya, yang harus dipikirkan saat ini adalah Net Interest Margin (NIM) bunga deposito dan pinjaman yang harus diatur. Sehingga, pendapatan juga dapat diatur sedemikian rupa hingga tidak begitu terpengaruh dengan fluktuasi seperti sekarang ini. Dengan rencana kenaikan premi penjaminan tersebut tentu nanti akan membuat kalangan perbankan bersikap.
Di tengah industri perbankan yang kini diharuskan melakukan penurunan suku bunga kredit, maka pendapatan dari suku bunga ini juga akan tertekan. Kemungkinan besar, lanjut Atta, untuk mempertahankan pendapatan, yang akan dilakukan hanya penyesuaian biaya-biaya transaksi.
Dia menuturkan, ada kemungkinan perbankan akan menaikkan tarif transaksi baik ATM ataupun transaksi di outlet-outlet bank. Ataupun bank akan memperbanyak transaksi yang dikenakan biaya dari intern bank kepada nasabah.
"Jika biaya naik maka bank akan mengusik sisi lain seperti transaksi dinaikkan agar pendapatan tetap," ujarnya.
Ketua Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) DIY Ascar Setiyono mengatakan hal senada. Karena, dengan kenaikan premi ini akan meningkatkan biaya yang harus dikeluarkan.
Kenaikan premi ini akan memberatkan industri BPR. Sebab saat ini, dengan premi sebesar 0,1% sebenarnya sudah dianggap berat. Apalagi, jika nanti dinaikkan maka akan menambah berat industri BPR. "Tentu kalau bertambah maka agar berat. Karena kami masih menanggung iuran-iuran lain," paparnya.
Direktur Utama BPR Alto Makmur Sleman Kusmintarjo mengatakan, sebelum adanya kenaikan premi harus ada penjelasan atau pertanggungjawaban penggunaan dana yang dikumpulkan perbankan.
Selama ini belum ada transparansi jelas terkait pungutan tersebut. Di samping kewenangan LPS yang belum juga jelas. "Kewenangan LPS tersebut sejauh mana? Karena sekarang masih simpang siur," ujar dia.
(izz)