Asosiasi Produsen Film AS Apresiasi DNI Sektor Perfilman
A
A
A
JAKARTA - Asosiasi produsen film Amerika Serikat (AS) mengapresiasi langkah pemerintah Indonesia dengan membuka 100% investasi asing untuk sektor perfilman. Hal itu dinilai sebagai awal sangat baik untuk membuat perusahaan-perusahaan perfilman mempertimbangkan berinvestasi di Indonesia.
Respons positif tersebut diperoleh dari hasil kunjungan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Franky Sibarani ke AS bertemu dengan beberapa perusahaan yang bergerak sektor perfilman.
Franky mengatakan, pertemuan dengan perusahaan-perusahaan film AS yang menguasai bisnis perfilman dunia tersebut dimanfaatkan untuk membicarakan beberapa hal strategis terkait perkembangan industri perfilman di Indonesia.
"Beberapa hal yang disampaikan anggota asosiasi adalah masalah capacity building seperti story telling skills, jumlah layar yang masih rendah dibanding jumlah populasi serta yang tidak kalah pentingnya masalah hak cipta," ujar dia dalam rilisnya, Minggu (29/5/2016).
Menurut dia, pihaknya segera berkoordinasi dengan kementerian dan instansi terkait untuk mengatasi berbagai konsen yang disampaikan.
"Perusahaan-perusahaan perfilman juga mengapresiasi langkah pemerintah Indonesia yang melakukan blokir kepada 53 situs yang menanyangkan produk-produk film dan melanggar hak cipta," jelasnya.
Capacity building menentukan ide cerita untuk memproduksi suatu film, jumlah layar dan hak cipta memengaruhi kalkulasi bisnis dari segi distribusi dan eksibisi (sinema) mereka.
"Kalau layar yang ada 5.000 layar berarti ada kemungkinan film mereka untuk diputar di 5.000 layar tersebut, kalau kondisi existing saat ini sekitar 1.159 lebih berarti potensinya hanya seperlima," imbuhnya.
Berdasarkan data yang dikeluarkan MPAA (Motion Pictures Assocition of America), dilihat dari daftar negara yang tercatat menyumbang dalam pemasukan box office, Indonesia mengalami perkembangan yang cukup positif.
Dari posisi 2013 tidak masuk 20 negara terbesar, pada 2014 Indonesia berada di peringkat 20 dengan nilai USD0,2 miliar, pada 2015 naik menjadi peringkat 16 dengan nilai USD0,3 miliar.
Franky optimistis bahwa perkembangan sektor perfilman di Indonesia akan terus meningkat. Antusiasme untuk menanamkan modal di Indonesia tidak hanya datang dari Amerika Serikat, namun juga dari negara-negara lain seperti Korea Selatan, Taiwan dan Timur Tengah.
"Berkembangnya sektor perfilman diharapkan positif terhadap tumbuhnya talent-talent di Tanah Air," jelas Franky.
Perpres 44 tahun 2016 lebih terbuka untuk asing berbisnis di sektor perfilman. Sebelumnya sektor-sektor perfilman tertutup untuk asing atau dibatasi maksimal 49%.
Di antaranya di dalam bidang usaha jasa teknik film termasuk studio shooting film (maksimal 49%), laboratorium film (maksimal 49%), fasilitas editing sound (maksimal 49%), film editing 100% PMDN, film subtitle 100% PMDN.
"Saat ini seluruh bidang usaha tersebut terbuka untuk 100% asing, demikian halnya untuk produksi film, cinema, studio rekaman dan distribusi film," pungkasnya.
Respons positif tersebut diperoleh dari hasil kunjungan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Franky Sibarani ke AS bertemu dengan beberapa perusahaan yang bergerak sektor perfilman.
Franky mengatakan, pertemuan dengan perusahaan-perusahaan film AS yang menguasai bisnis perfilman dunia tersebut dimanfaatkan untuk membicarakan beberapa hal strategis terkait perkembangan industri perfilman di Indonesia.
"Beberapa hal yang disampaikan anggota asosiasi adalah masalah capacity building seperti story telling skills, jumlah layar yang masih rendah dibanding jumlah populasi serta yang tidak kalah pentingnya masalah hak cipta," ujar dia dalam rilisnya, Minggu (29/5/2016).
Menurut dia, pihaknya segera berkoordinasi dengan kementerian dan instansi terkait untuk mengatasi berbagai konsen yang disampaikan.
"Perusahaan-perusahaan perfilman juga mengapresiasi langkah pemerintah Indonesia yang melakukan blokir kepada 53 situs yang menanyangkan produk-produk film dan melanggar hak cipta," jelasnya.
Capacity building menentukan ide cerita untuk memproduksi suatu film, jumlah layar dan hak cipta memengaruhi kalkulasi bisnis dari segi distribusi dan eksibisi (sinema) mereka.
"Kalau layar yang ada 5.000 layar berarti ada kemungkinan film mereka untuk diputar di 5.000 layar tersebut, kalau kondisi existing saat ini sekitar 1.159 lebih berarti potensinya hanya seperlima," imbuhnya.
Berdasarkan data yang dikeluarkan MPAA (Motion Pictures Assocition of America), dilihat dari daftar negara yang tercatat menyumbang dalam pemasukan box office, Indonesia mengalami perkembangan yang cukup positif.
Dari posisi 2013 tidak masuk 20 negara terbesar, pada 2014 Indonesia berada di peringkat 20 dengan nilai USD0,2 miliar, pada 2015 naik menjadi peringkat 16 dengan nilai USD0,3 miliar.
Franky optimistis bahwa perkembangan sektor perfilman di Indonesia akan terus meningkat. Antusiasme untuk menanamkan modal di Indonesia tidak hanya datang dari Amerika Serikat, namun juga dari negara-negara lain seperti Korea Selatan, Taiwan dan Timur Tengah.
"Berkembangnya sektor perfilman diharapkan positif terhadap tumbuhnya talent-talent di Tanah Air," jelas Franky.
Perpres 44 tahun 2016 lebih terbuka untuk asing berbisnis di sektor perfilman. Sebelumnya sektor-sektor perfilman tertutup untuk asing atau dibatasi maksimal 49%.
Di antaranya di dalam bidang usaha jasa teknik film termasuk studio shooting film (maksimal 49%), laboratorium film (maksimal 49%), fasilitas editing sound (maksimal 49%), film editing 100% PMDN, film subtitle 100% PMDN.
"Saat ini seluruh bidang usaha tersebut terbuka untuk 100% asing, demikian halnya untuk produksi film, cinema, studio rekaman dan distribusi film," pungkasnya.
(izz)