5 Alasan Petani Tembakau Tolak Aksesi FCTC
A
A
A
JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan mempertimbangkan nasib dan kelangsungan hidup petani dan buruh tembakau sebelum meratifikasi dan menandatangani Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Jokowi menyatakan hal itu dalam rapat terbatas tentang Kerangka Kerja Konvensi tentang FCTC di Kantor Presiden Jakarta, Selasa ini.
Menanggapi hal itu, Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI) memberikan lima rekomendasi kenapa petani tembakau menolak ratifikasi FCTC. Pertama, bahwa FCTC akan mematikan produksi kretek yang akan mengakibatkan suplai bahan baku dari petani tidak bisa terakomodasi.
"Kedua, produk rokok yang dihasilkan harus sesuai dengan spesifikasi FCTC yang bahan bakunya tidak sesuai dengan tembakau Indonesia," kata Sekjen DPN APTI, Agus Setiawan di Jakarta, Selasa (14/06/2016).
Rekomendasi ketiga, lanjut dia, pengalihan tanaman tembakau ke komoditas lain yang sulit untuk dilakukan akibat faktor demografi. (Baca: Belum Minat Gabung FCTC, Jokowi Tetap Persempit Ruang Perokok)
Keempat, FCTC sewaktu-waktu dapat mengatur komposisi campuran pada ramuan rokok yang akan mengancam petani tembakau dan petani cengkih, yang didalamnya tidak boleh menggunakan flavour/cengkih dengan kadar tar dan nikotin rendah yang tidak bisa dihasilkan oleh petani tembakau Indonesia.
Kelima, penggunaan tembakau ke produk selain rokok sangat sulit dilakukan, mengingat sampai saat ini belum ada industri selain rokok yang bisa mengakomodasi tembakau. (Baca juga: Pengendalian Produksi Tembakau Dikhawatirkan Picu Kartel)
Menurut Agus, negara harus hadir untuk melindungi sektor tembakau yang selama ini memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian nasional. Kehadiran negara ini sebagai wujud nyata mewujudkan kedaulatan petani tembakau di Indonesia.
"Bagaimanapun bentuknya negara harus mampu melindungi petani tembakau dan tanaman tembakau dengan cara apapun demi kedaulatan petani tembakau di negeri sendiri,” tegasnya.
Dikemukakan Agus, saat ini situasi tembakau terancam akan tertikam oleh sindikasi internasional bentukan korporasi multinasional/internasional. 'Taring' mereka, sambung Agus, sangat tajam dan seringkali bersembunyi dibalik beragamnya model-model regulasi internasional yang berhasil disusupkan ke dalam regulasi di Republik ini.
“Berbagai peraturan yang berisi pembatasan, pengendalian bukan pemberangusan sebagai dalih para pendukung dan simpatisan perang anti tembakau ini,” ucap dia.
Agus pun memprotes kelompok rezim kesehatan yang perang melawan tembakau yang berkepentingan dengan bisnis tembakau. Dan ini tidak mungkin rezim kesehatan akan melepaskannya, sebaliknya justru akan meluaskan bisnis tersebut.
Menurut dia, rezim kesehatan internasional akan meluaskan pengaruhnya, dimana ini akan menguji keampuhan dan kekuatan industri tembakau di negeri ini. Apakah tetap eksis atau tinggal cerita.
Agar tidak takluk, untuk itu DPN APTI meminta Jokowi melindungi tanaman tembakau, petani tembakau, industri hasil tembakau dengan cara mempertahankan keberadaannya di negara ini kalau negara ini ingin tetap selamat. "Salah satu langkah tegas yang bisa dilakukan negara adalah menolak pemerintah menandatangani ratifikasi FCTC," pungkas dia.
Menanggapi hal itu, Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI) memberikan lima rekomendasi kenapa petani tembakau menolak ratifikasi FCTC. Pertama, bahwa FCTC akan mematikan produksi kretek yang akan mengakibatkan suplai bahan baku dari petani tidak bisa terakomodasi.
"Kedua, produk rokok yang dihasilkan harus sesuai dengan spesifikasi FCTC yang bahan bakunya tidak sesuai dengan tembakau Indonesia," kata Sekjen DPN APTI, Agus Setiawan di Jakarta, Selasa (14/06/2016).
Rekomendasi ketiga, lanjut dia, pengalihan tanaman tembakau ke komoditas lain yang sulit untuk dilakukan akibat faktor demografi. (Baca: Belum Minat Gabung FCTC, Jokowi Tetap Persempit Ruang Perokok)
Keempat, FCTC sewaktu-waktu dapat mengatur komposisi campuran pada ramuan rokok yang akan mengancam petani tembakau dan petani cengkih, yang didalamnya tidak boleh menggunakan flavour/cengkih dengan kadar tar dan nikotin rendah yang tidak bisa dihasilkan oleh petani tembakau Indonesia.
Kelima, penggunaan tembakau ke produk selain rokok sangat sulit dilakukan, mengingat sampai saat ini belum ada industri selain rokok yang bisa mengakomodasi tembakau. (Baca juga: Pengendalian Produksi Tembakau Dikhawatirkan Picu Kartel)
Menurut Agus, negara harus hadir untuk melindungi sektor tembakau yang selama ini memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian nasional. Kehadiran negara ini sebagai wujud nyata mewujudkan kedaulatan petani tembakau di Indonesia.
"Bagaimanapun bentuknya negara harus mampu melindungi petani tembakau dan tanaman tembakau dengan cara apapun demi kedaulatan petani tembakau di negeri sendiri,” tegasnya.
Dikemukakan Agus, saat ini situasi tembakau terancam akan tertikam oleh sindikasi internasional bentukan korporasi multinasional/internasional. 'Taring' mereka, sambung Agus, sangat tajam dan seringkali bersembunyi dibalik beragamnya model-model regulasi internasional yang berhasil disusupkan ke dalam regulasi di Republik ini.
“Berbagai peraturan yang berisi pembatasan, pengendalian bukan pemberangusan sebagai dalih para pendukung dan simpatisan perang anti tembakau ini,” ucap dia.
Agus pun memprotes kelompok rezim kesehatan yang perang melawan tembakau yang berkepentingan dengan bisnis tembakau. Dan ini tidak mungkin rezim kesehatan akan melepaskannya, sebaliknya justru akan meluaskan bisnis tersebut.
Menurut dia, rezim kesehatan internasional akan meluaskan pengaruhnya, dimana ini akan menguji keampuhan dan kekuatan industri tembakau di negeri ini. Apakah tetap eksis atau tinggal cerita.
Agar tidak takluk, untuk itu DPN APTI meminta Jokowi melindungi tanaman tembakau, petani tembakau, industri hasil tembakau dengan cara mempertahankan keberadaannya di negara ini kalau negara ini ingin tetap selamat. "Salah satu langkah tegas yang bisa dilakukan negara adalah menolak pemerintah menandatangani ratifikasi FCTC," pungkas dia.
(ven)