Tiga Langkah Ini Bisa Wujudkan Swasembada Daging Tanpa Impor
A
A
A
YOGYAKARTA - Dekan Fakultas Peternakan UGM yang juga Ketua Umum Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia Ali Agus memiliki catatan tersendiri jika pemerintah menginginkan swasembada daging sapi. Kebijakan mengimpor daging sapi beku saat ini dinilai bukan langkah jitu untuk menekan harga daging sapi di pasaran.
Menurutnya, kebijakan pemerintah menurunkan harga dengan jalan impor daging beku tidak dibarengi perhatian pada para peternak sapi lokal. "Pemerintah itu maunya yang simpel, impor daging beku tanpa memperhatikan peternak sapi lokal," katanya di Yogyakarta belum lama ini.
Kebijakan ke depan, lanjut dia, sebaiknya tidak dilakukan. Pemerintah harus konsisten jika menginginkan peternak sapi tetap bertahan hidup, penyediaan bibit sapi harus terpenuhi agar ketersediaan sapi bisa mencukupi kebutuhan.
"Kalau impor sebaiknya bibit, bakalan sapi, karena ketersediaan bibit sapi ini masih kurang. Jual ke peternak dengan harga murah, mereka nanti yang merawat dan membesarkan," katanya.
Selama ini, pemerintah tidak terlibat dalam penyediaan bibit sapi. Padahal, langkah pertama itu mutlak harus dilakukan agar peternak mendapat bibit sapi kualitas bagus.
"Peternak beli sendiri bibit, coba kalau pemerintah turut ambil bagian dengan menyediakan bibit, beban pertama peternak sapi lokal terkurangi," ujarnya
Langkah kedua, ketersediaan pakan dengan harga terjangkau. Jika harga pakan terus naik, sesuatu yang tidak rasional jika harga daging sapi turun hingga Rp80 ribu per kg. Tingginya harga daging sapi saat ini juga dipengaruhi harga pakan yang tak stabil.
"Harus adil dong, ketika harga pakan pabrikan naik kok harga sapi disuruh turun. Pemerintah harus bisa sediakan pakan yang berkualitas dan terjangkau ke peternak, tentu dengan harga yang cukup," paparnya.
Pakan yang berkualitas, bisa menunjang target bobot sapi yang ingin dicapai. Sapi pengemukan tak cukup hanya dedaunan hijau semata tanpa pakan lain yang baik. Padahal, target pengemukan sapi yang dilakukan peternak hanya dalam kurun waktu tiga hingga empat bulan.
"Apa ya bisa gemuk kalau hanya dikasih daun saja, tidak bisa. Daun gajah (kolonjono) itu kebanyakan peternak di Segoroyoso ini beli ke petani. Biaya pengemukan sapi ini tidak murah," kata dia.
Kehadiran pemerintah dalam transfer teknologi pada para peternak dalam penyediaan pakan ternak bermutu juga sangat penting. Keterlibatan ahli dan ilmuwan dalam mendaur ulang pakan ternak harus dilakukan terus menerus.
"Yang tak kalah penting itu penguatan kelembagan. Peternak itu swadaya, mereka mandiri dalam melakukan usaha berkelompok. Penyuluhan itu penting, keluhan peternak itu didengar, carikan solusi terbaik," tegasnya.
Begitu juga antar lembaga di pemerintah harus komprehensip. Artinya, satu lembaga dengan lembaga lain saling support untuk mendukung swasembada daging sapi.
"Saya melihat masih ada ego antar lembaga, misal dinas pertanian begini, peternakan begitu, koperasi seperti ini, perdagangan musti begitu. Keterkaitan satu sama lain harus menyatu," urainya.
Jika tiga hal itu (bibit, pakan, dan kelembagaan) bisa terpenuhi, menurutnya, Indonesia bisa swasebada daging. Jika hal itu dilakukan dengan konsisten, butuh waktu sekitar 10 tahun swasembada daging itu terwujud jika dimulai saat ini.
"Saya kira kalau itu dilakukan konsisten, Indonesia bisa swasembada daging sapi. Area lahan kita masih luas, pasar juga terbuka lebar, saya kira itu masukan jika didengar pemerintah," tandasnya.
Menurutnya, kebijakan pemerintah menurunkan harga dengan jalan impor daging beku tidak dibarengi perhatian pada para peternak sapi lokal. "Pemerintah itu maunya yang simpel, impor daging beku tanpa memperhatikan peternak sapi lokal," katanya di Yogyakarta belum lama ini.
Kebijakan ke depan, lanjut dia, sebaiknya tidak dilakukan. Pemerintah harus konsisten jika menginginkan peternak sapi tetap bertahan hidup, penyediaan bibit sapi harus terpenuhi agar ketersediaan sapi bisa mencukupi kebutuhan.
"Kalau impor sebaiknya bibit, bakalan sapi, karena ketersediaan bibit sapi ini masih kurang. Jual ke peternak dengan harga murah, mereka nanti yang merawat dan membesarkan," katanya.
Selama ini, pemerintah tidak terlibat dalam penyediaan bibit sapi. Padahal, langkah pertama itu mutlak harus dilakukan agar peternak mendapat bibit sapi kualitas bagus.
"Peternak beli sendiri bibit, coba kalau pemerintah turut ambil bagian dengan menyediakan bibit, beban pertama peternak sapi lokal terkurangi," ujarnya
Langkah kedua, ketersediaan pakan dengan harga terjangkau. Jika harga pakan terus naik, sesuatu yang tidak rasional jika harga daging sapi turun hingga Rp80 ribu per kg. Tingginya harga daging sapi saat ini juga dipengaruhi harga pakan yang tak stabil.
"Harus adil dong, ketika harga pakan pabrikan naik kok harga sapi disuruh turun. Pemerintah harus bisa sediakan pakan yang berkualitas dan terjangkau ke peternak, tentu dengan harga yang cukup," paparnya.
Pakan yang berkualitas, bisa menunjang target bobot sapi yang ingin dicapai. Sapi pengemukan tak cukup hanya dedaunan hijau semata tanpa pakan lain yang baik. Padahal, target pengemukan sapi yang dilakukan peternak hanya dalam kurun waktu tiga hingga empat bulan.
"Apa ya bisa gemuk kalau hanya dikasih daun saja, tidak bisa. Daun gajah (kolonjono) itu kebanyakan peternak di Segoroyoso ini beli ke petani. Biaya pengemukan sapi ini tidak murah," kata dia.
Kehadiran pemerintah dalam transfer teknologi pada para peternak dalam penyediaan pakan ternak bermutu juga sangat penting. Keterlibatan ahli dan ilmuwan dalam mendaur ulang pakan ternak harus dilakukan terus menerus.
"Yang tak kalah penting itu penguatan kelembagan. Peternak itu swadaya, mereka mandiri dalam melakukan usaha berkelompok. Penyuluhan itu penting, keluhan peternak itu didengar, carikan solusi terbaik," tegasnya.
Begitu juga antar lembaga di pemerintah harus komprehensip. Artinya, satu lembaga dengan lembaga lain saling support untuk mendukung swasembada daging sapi.
"Saya melihat masih ada ego antar lembaga, misal dinas pertanian begini, peternakan begitu, koperasi seperti ini, perdagangan musti begitu. Keterkaitan satu sama lain harus menyatu," urainya.
Jika tiga hal itu (bibit, pakan, dan kelembagaan) bisa terpenuhi, menurutnya, Indonesia bisa swasebada daging. Jika hal itu dilakukan dengan konsisten, butuh waktu sekitar 10 tahun swasembada daging itu terwujud jika dimulai saat ini.
"Saya kira kalau itu dilakukan konsisten, Indonesia bisa swasembada daging sapi. Area lahan kita masih luas, pasar juga terbuka lebar, saya kira itu masukan jika didengar pemerintah," tandasnya.
(izz)