PP Holding BUMN Tidak Mengatur Penggabungan Pertagas dan PGN

Minggu, 03 Juli 2016 - 11:03 WIB
PP Holding BUMN Tidak Mengatur Penggabungan Pertagas dan PGN
PP Holding BUMN Tidak Mengatur Penggabungan Pertagas dan PGN
A A A
JAKARTA - Peraturan Pemerintah (PP) Holding BUMN Migas yang sedang dirancang, tidak mengatur penggabungkan antara anak usaha Pertamina yakni Pertamina Gas (Pertagas) dan PT Perusahaan Gas Negara (PGN). Penegasan itu disampaikan Deputi Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Aloysius K Ro.

“PP tentang pembentukan holding BUMN nantinya tidak akan mengatur tentang mekanisme terkait penggabungan antara PGN dengan Pertagas,” kata Aloysius dalam keterangannya kepada Sindonews, Jakarta, Minggu(3/7/2016)

Alasannya, lanjut Aloysius, karena mekanisme tersebut murni aksi korporasi oleh Pertamina. Dengan demikian, semua diserahkan kepada Pertamina. Jika Pertamina memang menolak penggabungan tersebut, tentu penggabungan Pertagas dan PGN tidak akan terjadi.

"Itu corporate action. PP itu hanya soal saham negara. Kalau Pertagas karena tidak ada saham negara, adanya saham Pertamina ya itu aksi korprasi. Mau inbreng, mau right issue," ujarnya.”

Di sisi lain, banyak pihak mendukung agar pembentukan holding segera direalisasikan. Antara lain seperti disampaikan disampaikan Direktur Eksekutif Center for Energy Policy M. Kholid Syeirazi. Menurutnya, selain meningkatkan sisi finansial, juga akan membuat tata kelola lebih baik, karena BUMN yang ada saat ini akan menjadi lebih solid dan sinkron. Dampaknya, akan membuat energi tanah air lebih berdaulat.

Kondisi demikian tentu berbeda dibandingkan saat ini. Menurut Kholid, selama ini tidak ada kendali komando sehingga BUMN sering jalan sendiri-sendiri dan terjadi persinggungan. Sebut saja masalah pipa open acces yang masih sering terjadi perdebatan.
“Jadi, ibarat orkestra, holding bisa bertindak sebagai konduktor yang menyelaraskan musik,” kata Kholid.

Dampak tidak solidnya BUMN, menurut Kholid, sangat luar biasa. Salah satunya, adalah mahalnya harga gas di tanah air, dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Vietnam.

“Saat ini, persinggungan itu masih kuat, dan itu yang membuat tidak efisien dan mahal. Misalnya, sekarang PGN tidak mau open access terhadap pipa transmisi dia. Padahal hal ini membuat struktur harga (pricing structure) menjadi berlapis, yang ada akhirnya akan berpengaruh terhadap harga jual yang tinggi ke konsumen,” kata Kholid.

Yang tak kalah penting, lanjut dia, keberadaan holding BUMN akan mempertegas pola dua kaki yang terbukti sangat baik. Selama ini, Indonesia menerapkan tiga kaki seperti di Norwegia. Namun kenyataannya, banyak negara lain yang juga gagal, seperti Aljazair, Nigeria, dan bahkan Indonesia. "Norwegia bukan model yang patut kita tiru,” kata dia.

Itu sebabnya, lanjut Kholid, PGN memang sebaiknya beriskap legowo dan tidak cengeng. Sebab, meski merupakan perusahaan publik, namun jangan lupa bahwa sebagian besar saham adalah milik pemerintah.

“Seperti kita tahu, PGN melakukan manuver, termasuk melalui pembentukan opini di media dan menyuarakan melalui spin doctor. Padahal, kalau PGN terus melakukan perlawanan dan bersikap subversif, pemerintah bisa mempercepat buy back, sehingga penguasaan pemerintah terhadap BUMN migas, baik hulu maupun hilir itu semua dalam kendali pemerintah,” kata Kholid.
(dol)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4717 seconds (0.1#10.140)