Beda Nasib Properti Primer dan Sekunder
A
A
A
YOGYAKARTA - Bisnis properti memiliki karakter tersendiri. Di mana ada dua pasar properti yang berkembang, yakni properti primer dan properti sekunder. Terkait regulasi, keduanya memiliki perlakuan dan nasib yang berbeda.
Wakil Dewan Pengurus Daerah (DPD) Real Estate Indonesia (REI) bidang Humas Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Ilham Nur mengemukakan, properti primer merupakan bisnis properti yang biasanya dijalankan oleh pengusaha berbadan hukum, paling banyak dalam bentuk perseroan terbatas (PT). Sementara properti sekunder biasanya dijalankan pengembang perseorangan.
"Kalau primer itu biasanya unit yang dijual banyak. Tetapi kalau sekunder unitnya sedikit-sedikit di bawah 5 unit," terangnya.
Nasib properti primer dan sekunder memang berbeda. Karena saat ini permintaan properti primer semakin menurun akibat harga jual yang cukup tinggi. Sementara permintaan properti sekunder cenderung stagnan karena para pengembang berhasil menekan harga jual produk mereka.
Para pengembang properti primer kesulitan menekan harga karena mereka masih terbebani pajak yang tidak murah. Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang harus ditanggung sebesar 10% cukup membebani. Sementara industri properti sekunder tidak terbebani pajak tersebut sehingga wajar jika mampu menekan harga jual mereka.
Nasib dua lini properti yang jauh berbeda ini tak bisa disikapi pengembang-pengembang properti primer. Meski ada perlakuan berbeda antara primer dengan sekunder terkait dengan pajak, tetapi regulasi pemerintah masih memberi kesempatan terhadap pengusaha properti sekunder untuk menjalankan bisnis.
"Meski terkesan tidak adil, tetapi regulasi pemerintah memungkinkan itu," ungkapnya.
Sebab itu, pihaknya berharap kepada pemerintah untuk merealisasikan rencana yang ingin menghapus BPHTB untuk rumah pertama dan kedua. Karena jika hal tersebut terealisasi, maka akan semakin banyak masyarakat yang membeli perumahan. Selama ini, BPHTB menjadi kendala bagi pembeli.
Kendala dari pembeli itu benar-benar ada. Karena selama ini banyak dari calon pembeli yang bernegosiasi terhadap BPHTB agar diturunkan. Dia mencontohkan, untuk properti dengan nilai Rp1 miliar maka BPHTB-nya mencapai 5% atau sekitar Rp50 juta. Jika Rp50 juta tersebut dihilangkan maka akan semakin banyak transaksi yang dilakukan.
"Karena banyak yang kemampuan bulanannya itu bagus tetapi untuk membayar awal yang agak susah," tuturnya.
Wakil Dewan Pengurus Daerah (DPD) Real Estate Indonesia (REI) bidang Humas Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Ilham Nur mengemukakan, properti primer merupakan bisnis properti yang biasanya dijalankan oleh pengusaha berbadan hukum, paling banyak dalam bentuk perseroan terbatas (PT). Sementara properti sekunder biasanya dijalankan pengembang perseorangan.
"Kalau primer itu biasanya unit yang dijual banyak. Tetapi kalau sekunder unitnya sedikit-sedikit di bawah 5 unit," terangnya.
Nasib properti primer dan sekunder memang berbeda. Karena saat ini permintaan properti primer semakin menurun akibat harga jual yang cukup tinggi. Sementara permintaan properti sekunder cenderung stagnan karena para pengembang berhasil menekan harga jual produk mereka.
Para pengembang properti primer kesulitan menekan harga karena mereka masih terbebani pajak yang tidak murah. Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang harus ditanggung sebesar 10% cukup membebani. Sementara industri properti sekunder tidak terbebani pajak tersebut sehingga wajar jika mampu menekan harga jual mereka.
Nasib dua lini properti yang jauh berbeda ini tak bisa disikapi pengembang-pengembang properti primer. Meski ada perlakuan berbeda antara primer dengan sekunder terkait dengan pajak, tetapi regulasi pemerintah masih memberi kesempatan terhadap pengusaha properti sekunder untuk menjalankan bisnis.
"Meski terkesan tidak adil, tetapi regulasi pemerintah memungkinkan itu," ungkapnya.
Sebab itu, pihaknya berharap kepada pemerintah untuk merealisasikan rencana yang ingin menghapus BPHTB untuk rumah pertama dan kedua. Karena jika hal tersebut terealisasi, maka akan semakin banyak masyarakat yang membeli perumahan. Selama ini, BPHTB menjadi kendala bagi pembeli.
Kendala dari pembeli itu benar-benar ada. Karena selama ini banyak dari calon pembeli yang bernegosiasi terhadap BPHTB agar diturunkan. Dia mencontohkan, untuk properti dengan nilai Rp1 miliar maka BPHTB-nya mencapai 5% atau sekitar Rp50 juta. Jika Rp50 juta tersebut dihilangkan maka akan semakin banyak transaksi yang dilakukan.
"Karena banyak yang kemampuan bulanannya itu bagus tetapi untuk membayar awal yang agak susah," tuturnya.
(dmd)