Rencana Rokok Rp50 Ribu Disebut DPR Langgar Hak Konsumen

Sabtu, 20 Agustus 2016 - 16:02 WIB
Rencana Rokok Rp50 Ribu Disebut DPR Langgar Hak Konsumen
Rencana Rokok Rp50 Ribu Disebut DPR Langgar Hak Konsumen
A A A
JAKARTA - Wacana kenaikan harga rokok Rp50.000 per bungkus yang digulirkan Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Manusia Universitas Indonesia (UI) menurut Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI Firman Subagyo telah melanggar hak asasi dari seorang konsumen. Sementara Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (Ditjen Bea Cukai) berencana segera mengumumkan kenaikan cukai rokok.

"Wacana kenaikan harga jual rokok Rp50 ribu per bungkus yang menggulirkan ini kan semacam LSM, ini sangat tidak Rasional. Jangan melarang hak asasi sesorang, kalau bicara kesehatan, asap mobil juga tidak sehat," kata Firman lewat keterangan tertulis kepada media, Sabtu (20/8/2016).

(Baca Juga: Cukai Rokok Akan Naik 10% Awal Oktober)

Politikus Golkar ini juga menjelaskan bahwa wacana tersebut sangat berpengaruh kepada keberlangsungan industri, ekonomi rakyat dan juga pendapatan Negara. "Jelas ngaruh dong, coba bayangkan kalau harga naik! Apa efeknya terhadap petani tembakau, apa efeknya terhadap para buruh, ini harus dipikir betul-betul," paparnya.

(Baca Juga: Wacana Harga Rokok Rp50.000 Diduga Ada Kepentingan Asing)

Dia mengimbau agar lebih baik pusat kajian dan LSM bertemu langsung dengan petani tembakau terlebih dahulu sebelum mengeluarkan wacana. Pertemuan menurutnya perlu dilakukan untuk membicarakan hal tersebut agar tidak ada masalah yang nanti timbul di akhir kebijakan.

"Ya jangan hanya survey ke perokok, tapi tanya juga ke petani tembakau. Tanyakan apa kira-kira dampak yang akan mereka rasakan, nah ini baru adil. Dan disini saya tegaskan kembali, LSM mana pun tidak berhak mengatur harga rokok, catat itu," lanjut dia.

Bagaimanapun Firman menerangkan pihaknya di DPR akan tetap membela kepentingan nasional dan tidak ingin terjebak dalam permainan kelompok yang tidak rasional. Sebab kata dia, DPR membuat regulasi untuk memberikan rasa keadilan.

“Regulasi tidak boleh diskriminatif dan kita yang membuat regulasi pun tidak bisa atas tekanan orang lain. Kita yang buat Undang-undang (UU), juga langsung disosialisasikan ke masyarakat," tutupnya.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5293 seconds (0.1#10.140)