Kenaikan Harga Rokok Rawan Pengaruhi Pendapatan Daerah
A
A
A
PALEMBANG - Rencana pemerintah menaikan harga rokok dinyakini juga berpengaruh pada perolehan pajak daerah. Mengingat tingkat konsumsi rokok masyarakat Sumatera Selatan (Sumsel) tergolong tinggi, dimana salah satu indikasinya perolehan pajak rokok di awal tahun ini menyentuh Rp300 Miliar.
(Baca Juga: Wacana Harga Rokok Rp50.000 Diduga Ada Kepentingan Asing)
Kadis Perindustrian dan Perdagangan Sumsel Permana mengatakan Sumsel termasuk konsumen rokok yang tinggi jika dibandingkan dengan beberapa provinsi lain di Indonesia. Sebagai daerah yang tidak juga memiliki industri pengelolaan tembakau ini, ternyata Sumsel mendapatkan perolehan pajak rokok yang tergolong besar.
“Mengetahui tingkat konsumsi itu, bisa lihat dari perolehan pajaknya. Jika di triwulan awal saja, perolehan pajak rokok sudah punya estimasi menyentuh Rp300Miliar. Nilai ini tergolong konsumsi yang tinggi. Sementara sejumlah negara maju, jumlah perokok rendah,” ujarnya, Senin (22/8/2016).
(Baca Juga: Rencana Rokok Rp50 Ribu Disebut DPR Langgar Hak Konsumen)
Dia menerangkan perolehan pajak rokok yang diperoleh dari persentase 10 % dari penggunaan cukai akan kembali ke pemerintah daerah. Sehingga saat penggunaan cukai tembakau dalam rokok tinggi, tentu akan sejalan dengan peningkatan pajak rokok bagi daerah.
Penerapan pajak rokok yang sesuai dengan UU nomor 28 tahun 2009, mengenai pajak daerah dan retribusi daerah menyatakan pajak rokok merupakan salah satu jenis pajak yang dikelola oleh pemerintah daerah.
“Rokok atau industri tembakau ini kan multi efek, tidak hanya tentang kesehatan, namun ada perolehan negara di sana, termasuk daerah. Jika memang nanti harganya naik, kemungkinan besar juga berkorelasi dengan pendapatan daerah Sumsel,” sambungnya.
Berdasarkan datanya, dijelaskan perdagangan rokok tertinggi di kelas perokok berusia kurang dari 40 tahun. Kondisi demikian lebih banyak ditemui di kawasan perkotaan di Provinsi Sumsel. Sehingga kata dia perokok terbanyak Sumsel merupakan usia produktif, dengan jenis rokok lokal bukan impor.
“Ini gambaran kasar saja, tapi dengan prediksi perolehan pajak yang selalu naik setiap tahun akibat pajak rokok, tentu mencirikan jika perokok di Sumsel bertambah,” terang dia.
Karena itu, menurutnya jika pemerintah pusat berkeinginan menaikkan harga rokok maka akan berimbas luas. Mengingat bagi masyarakat perokok, rokok sudah seperti kebutuhan sehari-sehari, malah mendekati katagori sebagai kebutuhan pokok (sembako).
“Dengan bea cukai ditetapkan pemerintah, tentu masyarakat perokok di Sumsel hanya menjadi penerima harga. Seberapa pun harganya, masyarakat masih akan membeli. Sehingga, korelasi kenaikan harga rokok juga akan luas, dan berimbas pada ekonomi daerah juga,” pungkasnya.
Terpisah Humas BI perwakilan Palembang Narso juga membenarkan adanya korelasi kenaikan inflansi akibat peningkatan harga rokok. Mengingat, penetapan harga bea cukai yang bersifat administere price maka akan terjadi korelasi ekonomi akibat kenaikan harga rokok.
“Jelas ada hubungan, antara kenaikan harga rokok dan inflansi daerah, meski persentasenya tidak besar. Hal ini, akibat harga rokok ditetapkan pemerintah (administere price). Inflansi dihitung berdasarkan bobot konsumsi perkomoditi, dan rokok termasuk kebutuhan yang menyebabkan meningkatnya pengeluaran (konsumtif). Seberapa besarnya pengaruhnya di Sumsel, perlu dikaji dulu,” paparnya.
(Baca Juga: Wacana Harga Rokok Rp50.000 Diduga Ada Kepentingan Asing)
Kadis Perindustrian dan Perdagangan Sumsel Permana mengatakan Sumsel termasuk konsumen rokok yang tinggi jika dibandingkan dengan beberapa provinsi lain di Indonesia. Sebagai daerah yang tidak juga memiliki industri pengelolaan tembakau ini, ternyata Sumsel mendapatkan perolehan pajak rokok yang tergolong besar.
“Mengetahui tingkat konsumsi itu, bisa lihat dari perolehan pajaknya. Jika di triwulan awal saja, perolehan pajak rokok sudah punya estimasi menyentuh Rp300Miliar. Nilai ini tergolong konsumsi yang tinggi. Sementara sejumlah negara maju, jumlah perokok rendah,” ujarnya, Senin (22/8/2016).
(Baca Juga: Rencana Rokok Rp50 Ribu Disebut DPR Langgar Hak Konsumen)
Dia menerangkan perolehan pajak rokok yang diperoleh dari persentase 10 % dari penggunaan cukai akan kembali ke pemerintah daerah. Sehingga saat penggunaan cukai tembakau dalam rokok tinggi, tentu akan sejalan dengan peningkatan pajak rokok bagi daerah.
Penerapan pajak rokok yang sesuai dengan UU nomor 28 tahun 2009, mengenai pajak daerah dan retribusi daerah menyatakan pajak rokok merupakan salah satu jenis pajak yang dikelola oleh pemerintah daerah.
“Rokok atau industri tembakau ini kan multi efek, tidak hanya tentang kesehatan, namun ada perolehan negara di sana, termasuk daerah. Jika memang nanti harganya naik, kemungkinan besar juga berkorelasi dengan pendapatan daerah Sumsel,” sambungnya.
Berdasarkan datanya, dijelaskan perdagangan rokok tertinggi di kelas perokok berusia kurang dari 40 tahun. Kondisi demikian lebih banyak ditemui di kawasan perkotaan di Provinsi Sumsel. Sehingga kata dia perokok terbanyak Sumsel merupakan usia produktif, dengan jenis rokok lokal bukan impor.
“Ini gambaran kasar saja, tapi dengan prediksi perolehan pajak yang selalu naik setiap tahun akibat pajak rokok, tentu mencirikan jika perokok di Sumsel bertambah,” terang dia.
Karena itu, menurutnya jika pemerintah pusat berkeinginan menaikkan harga rokok maka akan berimbas luas. Mengingat bagi masyarakat perokok, rokok sudah seperti kebutuhan sehari-sehari, malah mendekati katagori sebagai kebutuhan pokok (sembako).
“Dengan bea cukai ditetapkan pemerintah, tentu masyarakat perokok di Sumsel hanya menjadi penerima harga. Seberapa pun harganya, masyarakat masih akan membeli. Sehingga, korelasi kenaikan harga rokok juga akan luas, dan berimbas pada ekonomi daerah juga,” pungkasnya.
Terpisah Humas BI perwakilan Palembang Narso juga membenarkan adanya korelasi kenaikan inflansi akibat peningkatan harga rokok. Mengingat, penetapan harga bea cukai yang bersifat administere price maka akan terjadi korelasi ekonomi akibat kenaikan harga rokok.
“Jelas ada hubungan, antara kenaikan harga rokok dan inflansi daerah, meski persentasenya tidak besar. Hal ini, akibat harga rokok ditetapkan pemerintah (administere price). Inflansi dihitung berdasarkan bobot konsumsi perkomoditi, dan rokok termasuk kebutuhan yang menyebabkan meningkatnya pengeluaran (konsumtif). Seberapa besarnya pengaruhnya di Sumsel, perlu dikaji dulu,” paparnya.
(akr)