Jadi Importir Terbesar, Pemerintah Diminta Ubah Kebijakan Gula
A
A
A
YOGYAKARTA - Produksi gula di dalam negeri terus mengalami penurunan meski sebagai negara agraris. Penurunan tersebut diakibatkan berkurangnya lahan penanaman tebu sebagai imbas dari tidak diperhatikannya para petani tebu di Tanah Air.
Ketua Umum Asosiasi Gula Indonesia (AGI) Agus Pakpahan mengatakan hal tersebut membuat petani enggan menanam tebu. Dia mengaku prihatin dengan Indonesia yang produksinya justru kalah dengan negara tetangga, Thailand.
"Kebutuhan gula untuk kehidupan sehari-hari tak dapat ditawar lagi. Tetapi pemerintah seolah tutup mata," katanya di Yogyakarta, Rabu (31/8/2016).
Meski Indonesia memiliki lahan luas yang berpotensi untuk menanam tebu sebagai bahan baku pembuatan gula, namun masih mengimpor gula dari negara lain, terbesar dari Thailand. Pemerintah belum menyadari dalam mengambil kebijakan gula atau minimal mengambil konteks dunia supaya sadar posisi industri gula.
Sejak dulu pemerintah tidak memperhatikan luas tanam tebu yang berpengaruh terhadap produksi tebu di Tanah Air. Luas tanaman tebu terus menurun, padahal di satu sisi konsumsi gula di Tanah Air terus mengalami peningkatan.
Atas dasar itu. untuk memenuhi konsumsi, jalan yang ditempuh pemerintah adalah dengan melakukan impor. Saat ini, Thailand memang menguasai pasar gula secara global bersama Brazil, Australia, India, dan China.
Namun, saat ini kondisi di India juga mengalami penurunan atau defisit. Kini, 25% produksi gula Thailand diekspor ke Indonesia, dan 25% lagi diekspor ke China. Karena itu, di tengah melemahnya China dan India dalam urusan gula, maka seharusnya Indonesia mengambil kesempatan tersebut.
"Sekarang India juga defisit, ke depan China jadi importir mengandalkan pasokan dari Thailand. Terus apa yang harus diperbuat Indonesia," ujarnya.
Sebenarnya, tren produksi gula secara global mengalami penurunan karena selain Indonesia, penurunan produksi juga terjadi di negara lain. Pemerintah harus bisa mengambil kebijakan yang berpihak karena memang memiliki potensi yang cukup besar.
Menurutnya, industri gula dari hulu sampai hilir bila berkembang baik akan memberikan lapangan pekerjaan luas bagi masyarakat. Agus menggambarkan, saat Indonesia mengimpor tiga juta ton gula, sebenarnya telah mengurangi kesempatan kerja sebanyak 2,2 juta orang.
Karena itu, ketika dibiarkan terus terjadi, maka akan menambah jumlah pengangguran di tanah air. Artinya,
lapangan kerja bisa terpenuhi ketika bisa memenuhi stok sendiri.
"Karena itu, pemerintah harus mulai berpikir bagaimana menangkap potensi pasar, melalui revitalisasi gula," ungkap Agus.
Ketua Umum Ikatan Ahli Gula Indonesia (IKAGI) B Didik Prasetyo meminta semua pihak baik pemerintah dan produsen gula untuk lebih peduli pada kebutuhan para petani tebu. Karena, selama ini para petani tak pernah mendapatkan pendampingan bagaimana mendapatkan tebu berkualitas serta mampu meningkatkan produksi.
"Selama ini, komunikasi hanya satu arah. Produsen menentukan spesifikasi tertentu, tetapi jarang memberi solusi kepada petani," tandasnya.
Ketua Umum Asosiasi Gula Indonesia (AGI) Agus Pakpahan mengatakan hal tersebut membuat petani enggan menanam tebu. Dia mengaku prihatin dengan Indonesia yang produksinya justru kalah dengan negara tetangga, Thailand.
"Kebutuhan gula untuk kehidupan sehari-hari tak dapat ditawar lagi. Tetapi pemerintah seolah tutup mata," katanya di Yogyakarta, Rabu (31/8/2016).
Meski Indonesia memiliki lahan luas yang berpotensi untuk menanam tebu sebagai bahan baku pembuatan gula, namun masih mengimpor gula dari negara lain, terbesar dari Thailand. Pemerintah belum menyadari dalam mengambil kebijakan gula atau minimal mengambil konteks dunia supaya sadar posisi industri gula.
Sejak dulu pemerintah tidak memperhatikan luas tanam tebu yang berpengaruh terhadap produksi tebu di Tanah Air. Luas tanaman tebu terus menurun, padahal di satu sisi konsumsi gula di Tanah Air terus mengalami peningkatan.
Atas dasar itu. untuk memenuhi konsumsi, jalan yang ditempuh pemerintah adalah dengan melakukan impor. Saat ini, Thailand memang menguasai pasar gula secara global bersama Brazil, Australia, India, dan China.
Namun, saat ini kondisi di India juga mengalami penurunan atau defisit. Kini, 25% produksi gula Thailand diekspor ke Indonesia, dan 25% lagi diekspor ke China. Karena itu, di tengah melemahnya China dan India dalam urusan gula, maka seharusnya Indonesia mengambil kesempatan tersebut.
"Sekarang India juga defisit, ke depan China jadi importir mengandalkan pasokan dari Thailand. Terus apa yang harus diperbuat Indonesia," ujarnya.
Sebenarnya, tren produksi gula secara global mengalami penurunan karena selain Indonesia, penurunan produksi juga terjadi di negara lain. Pemerintah harus bisa mengambil kebijakan yang berpihak karena memang memiliki potensi yang cukup besar.
Menurutnya, industri gula dari hulu sampai hilir bila berkembang baik akan memberikan lapangan pekerjaan luas bagi masyarakat. Agus menggambarkan, saat Indonesia mengimpor tiga juta ton gula, sebenarnya telah mengurangi kesempatan kerja sebanyak 2,2 juta orang.
Karena itu, ketika dibiarkan terus terjadi, maka akan menambah jumlah pengangguran di tanah air. Artinya,
lapangan kerja bisa terpenuhi ketika bisa memenuhi stok sendiri.
"Karena itu, pemerintah harus mulai berpikir bagaimana menangkap potensi pasar, melalui revitalisasi gula," ungkap Agus.
Ketua Umum Ikatan Ahli Gula Indonesia (IKAGI) B Didik Prasetyo meminta semua pihak baik pemerintah dan produsen gula untuk lebih peduli pada kebutuhan para petani tebu. Karena, selama ini para petani tak pernah mendapatkan pendampingan bagaimana mendapatkan tebu berkualitas serta mampu meningkatkan produksi.
"Selama ini, komunikasi hanya satu arah. Produsen menentukan spesifikasi tertentu, tetapi jarang memberi solusi kepada petani," tandasnya.
(izz)