Kipas Kain Polanharjo Tembus Pasar Mancanegara
A
A
A
KLATEN - Kerajinan kipas kain yang telah ada sejak puluhan tahun silam di Kecamatan Polanharjo sudah dipasokan ke berbagai kota di Indonesia, bahkan kini telah menembus pasar mancanegara seperti Brunei Darussalam. Salah satunya adalah kipas kain produksi keluarga Siti Prihwanti, 55, warga Dukuh Karen Desa Keprabon Kecamatan Polanharjo.
Usaha kerajinan kipas yang dirintis keluarga besar Siti sejak era 1960, dalam satu hari bisa memproduksi sekitar 300 hingga 400 kipas kain beragam ukuran. Mulai dari ukuran 19cm, 23cm, 25cm, dan 28cm dengan masing-masing ukuran memiliki jumlah jari-jari yang berbeda. Siti menerangkan bahan baku kipas berupa bambu dipasok dari lereng gunung Merapi dan Merbabu di Boyolali.
Sementara kain batik menggunakan perca sisa usaha konveksi. "Bambu untuk tangkai kipas. Kalau pakai bambu jenis lain kesulitan saat dipotong-potong. Mudah pecah,” kata Siti saat ditemui di kediamannya, Senin (19/9/2016).
Dia menceritakan usaha kerajinan kipas kain ini merupakan warisan dari kakek-neneknya hingga kini. Sebagai generasi ketiga, Siti mulai meneruskan estafet usaha keluarga pada 1980. Beragam kipas kain diproduksi, seperti kipas jepang, undangan kipas, suvenir kipas, dan lainnya.
Saat ramai musim hajatan, produksi meningkat signifikan mencapai 1.000 kipas per hari. Untuk memenuhi permintaan pasar, dipekerjakan sekitar 10 orang untuk tenaga pembuat jari-jari, poros tangkai, tukang lem, dan tukang sablon kain.
Dulunya pemasaran kipas kain produksi keluarga Siti dilakukan manual dengan dijual ke pasar-pasar seperti Pasar Beringharjo di Yogya dan pusat suvenir di Nonongan Kota Solo. Hanya, penjualan langsung ke pasar dirasa kurang efektif karena persaingan harga yang sangat ketat.
Pemasaran Online Sejak 2010
Karena itu, sejak beberapa tahun lalu pemasaran kipas dilakukan secara online dan ditangani langsung oleh menantunya yakni Deny Suprapto, 32. ”Kalau jualan langsung ke pasar banyak waktu tersita karena harus bolak balik. Di pasar ketemunya juga tetangga sendiri (perajin kipas) jadi persaingan harga,” ujar Deny.
Selama setahun pada 2010, Deny bolak-balik ke warung internet (warnet) untuk memasarkan kipas kainnya. Setidaknya 3-4 kali dalam sepekan dia harus ke warnet di Kecamatan Delanggu untuk memperbaharui katalog kipas kain dan suvenir lainnya di akun Facebook.
”Istri saya saja enggak tahu kalau saya ke warnet untuk jualan online. Dikiranya saya hanya bermain game online. Jadi satu tahun penuh itu saya update terus akun Facebook, unggah foto-foto barang dagangan,”sambunya
Usaha satu tahun jualan online tidak serta membuahkan hasil. Deny baru mulai memetik hasilnya pada 2012-2013 saat pesanan dari luar kota berdatangan. Mayoritas pelanggannya adalah reseller di Provinsi Jawa Timur. Sebut saja Kabupaten Gresik, Madiun, Banyuwangi, dan lainnya. Adapula pelanggannya yang berasal dari Papua hingga Brunei Darussalam.
”Pesanan dari Brunei biasanya dua bulan sekali. Pesan 100 kipas kain, lalu ada centong kayu, dan dompet batik. Dijual lagi sebagai suvenir di kawasan wisata istana (Nurul Iman),” terang suami dari Desy Indriani itu.
Pesanan dari Brunei berbeda dengan kipas yang diproduksi pada umumnya. Dia menjelaskan, kain untuk kipas Brunei dipasok langsung dari negeri kaya raya tersebut. Pasalnya, pembeli tidak mau kipas kain memiliki motif makhluk hidup dan harus distempel tulisan Brunei Darussalam.
Selain Brunei, dia mengaku pernah mengirimkan kipas kain pesanan reseller untuk dijual lagi ke Malaysia. Rata-rata kipas kain produksi keluarga Siti dibanderol mulai Rp 2.500 dan paling mahal Rp 8.000.
Deny mengakui, harga kipasnya sedikit lebih mahal dibanding kipas buatan perajin lainnya. Selisih harga tersebut guna mempertahankan kualitas yang lebih baik semisal ketebalan lembaran tangkai, kekuatan lem, dan kualitas kain.
Dia menambahkan, keluarganya tidak hanya memproduksi kipas kain tapi juga beragama kerajinan dari tanduk sapi dan kerbau. Tanduk diolah menjadi barang kerajinan seperti miniatur wayang, gunungan, mangkok kecil, ikan hias, pipa rokok, garukan punggung, centong nasi, tusuk sepatu, tongkat, gelang, dan lainnya.
”Bahan baku tanduk didatangkan dari Makasar. Untuk penjualannya kami kerjasama dengan salah satu pabrik batik di Kota Solo. Kerajinan tanduk dijual di factory outlet mereka,” pungkasnya.
Usaha kerajinan kipas yang dirintis keluarga besar Siti sejak era 1960, dalam satu hari bisa memproduksi sekitar 300 hingga 400 kipas kain beragam ukuran. Mulai dari ukuran 19cm, 23cm, 25cm, dan 28cm dengan masing-masing ukuran memiliki jumlah jari-jari yang berbeda. Siti menerangkan bahan baku kipas berupa bambu dipasok dari lereng gunung Merapi dan Merbabu di Boyolali.
Sementara kain batik menggunakan perca sisa usaha konveksi. "Bambu untuk tangkai kipas. Kalau pakai bambu jenis lain kesulitan saat dipotong-potong. Mudah pecah,” kata Siti saat ditemui di kediamannya, Senin (19/9/2016).
Dia menceritakan usaha kerajinan kipas kain ini merupakan warisan dari kakek-neneknya hingga kini. Sebagai generasi ketiga, Siti mulai meneruskan estafet usaha keluarga pada 1980. Beragam kipas kain diproduksi, seperti kipas jepang, undangan kipas, suvenir kipas, dan lainnya.
Saat ramai musim hajatan, produksi meningkat signifikan mencapai 1.000 kipas per hari. Untuk memenuhi permintaan pasar, dipekerjakan sekitar 10 orang untuk tenaga pembuat jari-jari, poros tangkai, tukang lem, dan tukang sablon kain.
Dulunya pemasaran kipas kain produksi keluarga Siti dilakukan manual dengan dijual ke pasar-pasar seperti Pasar Beringharjo di Yogya dan pusat suvenir di Nonongan Kota Solo. Hanya, penjualan langsung ke pasar dirasa kurang efektif karena persaingan harga yang sangat ketat.
Pemasaran Online Sejak 2010
Karena itu, sejak beberapa tahun lalu pemasaran kipas dilakukan secara online dan ditangani langsung oleh menantunya yakni Deny Suprapto, 32. ”Kalau jualan langsung ke pasar banyak waktu tersita karena harus bolak balik. Di pasar ketemunya juga tetangga sendiri (perajin kipas) jadi persaingan harga,” ujar Deny.
Selama setahun pada 2010, Deny bolak-balik ke warung internet (warnet) untuk memasarkan kipas kainnya. Setidaknya 3-4 kali dalam sepekan dia harus ke warnet di Kecamatan Delanggu untuk memperbaharui katalog kipas kain dan suvenir lainnya di akun Facebook.
”Istri saya saja enggak tahu kalau saya ke warnet untuk jualan online. Dikiranya saya hanya bermain game online. Jadi satu tahun penuh itu saya update terus akun Facebook, unggah foto-foto barang dagangan,”sambunya
Usaha satu tahun jualan online tidak serta membuahkan hasil. Deny baru mulai memetik hasilnya pada 2012-2013 saat pesanan dari luar kota berdatangan. Mayoritas pelanggannya adalah reseller di Provinsi Jawa Timur. Sebut saja Kabupaten Gresik, Madiun, Banyuwangi, dan lainnya. Adapula pelanggannya yang berasal dari Papua hingga Brunei Darussalam.
”Pesanan dari Brunei biasanya dua bulan sekali. Pesan 100 kipas kain, lalu ada centong kayu, dan dompet batik. Dijual lagi sebagai suvenir di kawasan wisata istana (Nurul Iman),” terang suami dari Desy Indriani itu.
Pesanan dari Brunei berbeda dengan kipas yang diproduksi pada umumnya. Dia menjelaskan, kain untuk kipas Brunei dipasok langsung dari negeri kaya raya tersebut. Pasalnya, pembeli tidak mau kipas kain memiliki motif makhluk hidup dan harus distempel tulisan Brunei Darussalam.
Selain Brunei, dia mengaku pernah mengirimkan kipas kain pesanan reseller untuk dijual lagi ke Malaysia. Rata-rata kipas kain produksi keluarga Siti dibanderol mulai Rp 2.500 dan paling mahal Rp 8.000.
Deny mengakui, harga kipasnya sedikit lebih mahal dibanding kipas buatan perajin lainnya. Selisih harga tersebut guna mempertahankan kualitas yang lebih baik semisal ketebalan lembaran tangkai, kekuatan lem, dan kualitas kain.
Dia menambahkan, keluarganya tidak hanya memproduksi kipas kain tapi juga beragama kerajinan dari tanduk sapi dan kerbau. Tanduk diolah menjadi barang kerajinan seperti miniatur wayang, gunungan, mangkok kecil, ikan hias, pipa rokok, garukan punggung, centong nasi, tusuk sepatu, tongkat, gelang, dan lainnya.
”Bahan baku tanduk didatangkan dari Makasar. Untuk penjualannya kami kerjasama dengan salah satu pabrik batik di Kota Solo. Kerajinan tanduk dijual di factory outlet mereka,” pungkasnya.
(akr)