Komponen Impor Tinggi Penyebab Daya Saing Industri Rendah
A
A
A
JAKARTA - Rencana pemerintah menurunkan harga gas hingga kisaran USD5-6 per MMBTU, disarankan sebaiknya dilakukan secara hati-hati dan proporsional. Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menerangkan selain mempertimbangkan kedua belah pihak, yakni pengguna gas dan produsen gas, juga harus mempertimbangkan alasan penurunan tersebut.
Lebih lanjut dia menerangkan jika alasan penurunan harga gas karena untuk meningkatkan daya saing industri, hal itu dirasa kurang tepat. “Padahal, tidak bersaingnya industri dalam negeri bukan semata-mata karena harga gas. Ketergantungan industri nasional terhadap komponen impor juga menjadi penyebab utama -yang tidak kalah kritis- sehingga industri nasional relatif tidak dapat bersaing,” paparnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (5/10/2016).
Dia menambahkan dari data yang ada menunjukkan bahwa sektor industri Indonesia cukup tergantung dengan komponen impor. Hal itu salah satunya tercermin dari porsi impor bahan penolong dan barang modal terhadap total impor yang mencapai tidak kurang dari 90%.
Itulah sebabnya, lanjut dia, pemerintah perlu melakukan kalkulasi bagaimana tingkat sensitivitas industri nasional terhadap harga gas dan komponen impor (stabilitas nilai tukar rupiah). Data neraca input-output nasional dan statistik industri, justru menunjukkan bahwa kontribusi komponen impor dalam input sektor industri lebih besar dibandingkan kontribusi atau kebutuhan terhadap gas itu sendiri.
Menurutnya salah satu penyebab utama rendahnya daya saing industri nasional karena tingginya tingkat ketergantungan terhadap komponen impor, maka yang seharusnya menjadi prioritas pemerintah adalah menggantikan komponen impor dengan produk dalam negeri.
“Sehingga kebijakan hilirisasi pertambangan yang salah satunya untuk menyediakan bahan baku bagi sektor industri kemungkinan justru yang seharusnya menjadi prioritas utama dalam upaya meningkatkan daya saing industri nasional sebelum harga gas itu sendiri,” kata dia.
Pemerhati Minyak dan Gas Bumi (Migas) Hendra Jaya menambahkan, penurunan harga gas ditentukan oleh beberapa komponen. “Mulai dari sisi hulu, transmisi, distribusi, hingga pajak dan marjin,” kata Hendra pada seminar bertajuk “Penurunan Harga Gas Industri untuk Memacu Pertumbuhan Ekonomi Nasional”.
Dicontohkan olehnya pada sisi hulu misalnya, penurunan bisa dilakukan dengan mengurangi porsi pemerintah dalam konteks bagi hasil dengan KKKS. Selain itu, juga dengan penetapan harga yang tidak semata-mata dari keekonomian lapangan, namun dikaitkan dengan harga minyak/produk.
Untuk sisi transmisi, lanjut Hendra, penurunan harga bisa dilakukan melalui optimalisasi pipa pada open access, jika berdekatan dengan wilayah distribusi. Selain itu, juga melalui pembangunan infrastruktur oleh pemerintah pada wilayah remote.
Sedangkan pada sisi distribusi, menurut dia penurunan bisa dilakukan melalui optimalisasi pipa distribusi untuk dapat dimanfaatkan oleh pihak lain serta pengetatan izin untuk LDC dengan persyaratan tertentu. Sementara untuk sisi pajak dan marjin, komponen yang bisa dipergunakan untuk penurunan harga gas adalah dengan memberikan insentif pajak bagi badan usaha, mengurangi iuran BPH Migas untuk pipa open access, serta dengan pembatasan marjin niaga gas.
“Di antara berbagai komponen tersebut, yang cukup besar kontribusinya adalah terkait penggunaan pipa bersama,” papar dia.
Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia Achmad Widjaya mengatakan, penurunan harga gas sejalan dengan rencana pembentukan holding BUMN Energi. Sebab melalui holding, juga bisa menurunkan harga gas karena adanya satu kebijakan korporasi dalam penggunaan dan pembangunan pipa.
“Yang perlu diingat, pembentukan holding sama sekali tidak membutuhkan blue print, karena ini hanya aksi korporasi. Toh bisnisnya juga sudah berjalan,” kata Widjaya.
Lebih lanjut dia menerangkan jika alasan penurunan harga gas karena untuk meningkatkan daya saing industri, hal itu dirasa kurang tepat. “Padahal, tidak bersaingnya industri dalam negeri bukan semata-mata karena harga gas. Ketergantungan industri nasional terhadap komponen impor juga menjadi penyebab utama -yang tidak kalah kritis- sehingga industri nasional relatif tidak dapat bersaing,” paparnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (5/10/2016).
Dia menambahkan dari data yang ada menunjukkan bahwa sektor industri Indonesia cukup tergantung dengan komponen impor. Hal itu salah satunya tercermin dari porsi impor bahan penolong dan barang modal terhadap total impor yang mencapai tidak kurang dari 90%.
Itulah sebabnya, lanjut dia, pemerintah perlu melakukan kalkulasi bagaimana tingkat sensitivitas industri nasional terhadap harga gas dan komponen impor (stabilitas nilai tukar rupiah). Data neraca input-output nasional dan statistik industri, justru menunjukkan bahwa kontribusi komponen impor dalam input sektor industri lebih besar dibandingkan kontribusi atau kebutuhan terhadap gas itu sendiri.
Menurutnya salah satu penyebab utama rendahnya daya saing industri nasional karena tingginya tingkat ketergantungan terhadap komponen impor, maka yang seharusnya menjadi prioritas pemerintah adalah menggantikan komponen impor dengan produk dalam negeri.
“Sehingga kebijakan hilirisasi pertambangan yang salah satunya untuk menyediakan bahan baku bagi sektor industri kemungkinan justru yang seharusnya menjadi prioritas utama dalam upaya meningkatkan daya saing industri nasional sebelum harga gas itu sendiri,” kata dia.
Pemerhati Minyak dan Gas Bumi (Migas) Hendra Jaya menambahkan, penurunan harga gas ditentukan oleh beberapa komponen. “Mulai dari sisi hulu, transmisi, distribusi, hingga pajak dan marjin,” kata Hendra pada seminar bertajuk “Penurunan Harga Gas Industri untuk Memacu Pertumbuhan Ekonomi Nasional”.
Dicontohkan olehnya pada sisi hulu misalnya, penurunan bisa dilakukan dengan mengurangi porsi pemerintah dalam konteks bagi hasil dengan KKKS. Selain itu, juga dengan penetapan harga yang tidak semata-mata dari keekonomian lapangan, namun dikaitkan dengan harga minyak/produk.
Untuk sisi transmisi, lanjut Hendra, penurunan harga bisa dilakukan melalui optimalisasi pipa pada open access, jika berdekatan dengan wilayah distribusi. Selain itu, juga melalui pembangunan infrastruktur oleh pemerintah pada wilayah remote.
Sedangkan pada sisi distribusi, menurut dia penurunan bisa dilakukan melalui optimalisasi pipa distribusi untuk dapat dimanfaatkan oleh pihak lain serta pengetatan izin untuk LDC dengan persyaratan tertentu. Sementara untuk sisi pajak dan marjin, komponen yang bisa dipergunakan untuk penurunan harga gas adalah dengan memberikan insentif pajak bagi badan usaha, mengurangi iuran BPH Migas untuk pipa open access, serta dengan pembatasan marjin niaga gas.
“Di antara berbagai komponen tersebut, yang cukup besar kontribusinya adalah terkait penggunaan pipa bersama,” papar dia.
Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia Achmad Widjaya mengatakan, penurunan harga gas sejalan dengan rencana pembentukan holding BUMN Energi. Sebab melalui holding, juga bisa menurunkan harga gas karena adanya satu kebijakan korporasi dalam penggunaan dan pembangunan pipa.
“Yang perlu diingat, pembentukan holding sama sekali tidak membutuhkan blue print, karena ini hanya aksi korporasi. Toh bisnisnya juga sudah berjalan,” kata Widjaya.
(akr)