Penerimaan Negara Raib Rp29 Triliun, Harga Gas Murah ke Industri Perlu Dievaluasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah diminta mengevaluasi sektor industri dan perusahaan penerima harga gas murah karena dinilai telah membebani keuangan negara. Sejak diberlakukan pada 1 April 2020, program Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) dengan bandrol USD6 per MMBTU telah membuat tekor negara hingga Rp29 triliun. Sementara penerimaan negara dari para pelaku usaha penerima subsudi gas hulu tersebut diperkirakan hanya sekitar Rp15 triliun.
“Evaluasi oleh pemerintah terkait kebijakan subsidi yang membebani keuangan negara ini jelas harus dilakukan. Tetapi harus ada riset dari Kementerian Perindustrian atau Kementerian PPN/Bappenas. Jadi harus dilihat apakah manfaat yang didapatkan dari program HGBT sejauh ini melebihi subisidi yang dikeluarkan pemerintah,” kata Eddy Junarsin PhD, pengamat ekonomi UGM, dikutip Rabu (9/8/2023).
Eddy menambahkan program HGBT otomatis menguntungkan industri yang masuk di dalamnya. Menurutnya tidak mungkin negara terus-menerus memberikan subsidi, sementara penerima subsidi untungnya terus membesar.
“Untuk jangka pendek subsidi harus tetap ada, tetapi perlu berbagai perbaikan, termasuk kualitas produk yang dihasilkan harus semakin baik. Selain itu, komunikasi pemerintah harus lebih baik seperti misalnya alasan penetapan HGBT, industri yang dipilih, manfaat yang didapatkan,” lanjut Eddy.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, program harga gas USD6 per MMBTU menyebabkan penerimaan bagian negara hilang Rp29,39 triliun. Hilangnya penerimaan negara sebesar itu terjadi akibat penyesuaian harga gas bumi setelah memperhitungkan kewajiban pemerintah kepada kontraktor kontrak kerja sama (KKKS).
“Pemerintah menanggung penurunan penerimaan negara sebesar Rp16,46 trilun pada 2021 dan Rp12,93 triliun untuk tahun 2022. Kebijakan HGBT mewajibkan pemerintah untuk menanggung biaya selisih harga dengan mengurangi jatah keuntungan penjualan gas negara sehingga tidak membebani jatah atau keuntungan kontaktor,” jelas Direktur Jenderal Migas Tutuka Ariadji.
Menurut Eddy pemberian subsidi harga gas kepada sektor industri selama dua tahun ternyata juga tidak menjamin adanya peningkatan daya saing dan membesarnya kontribusi penerima subsidi terhadap perekonomian negara. Padahal dua aspek tersebut termasuk bagian dari tujuan pemerintah ketika menetapkan program harga gas USD6 per MMBTU.
“Meskipun sudah menerima subsidi, belum tentu produk dari industri tersebut semakin kompetitif. Kalau lebih murah mungkin iya. Namun perlu diingat, ada faktor lain agar produk tersebut kompetitif seperti kualitas, inovasi, quality control, hingga layanan customer service,” tandasnya.
Ia kemudian mencontohkan masih besarnya impor keramik asal China. Padahal melalui program harga gas murah pemerintah berharap perusahaan keramik lokal, yang juga menerima harga gas USD6, mampu bersaing di pasar domestik. Tidak hanya itu saja, perusahaan keramik yang menerima subsidi ternyata belum bisa maksimal menyerap alokasi gas yang diberikan oleh pemerintah.
“Evaluasi oleh pemerintah terkait kebijakan subsidi yang membebani keuangan negara ini jelas harus dilakukan. Tetapi harus ada riset dari Kementerian Perindustrian atau Kementerian PPN/Bappenas. Jadi harus dilihat apakah manfaat yang didapatkan dari program HGBT sejauh ini melebihi subisidi yang dikeluarkan pemerintah,” kata Eddy Junarsin PhD, pengamat ekonomi UGM, dikutip Rabu (9/8/2023).
Eddy menambahkan program HGBT otomatis menguntungkan industri yang masuk di dalamnya. Menurutnya tidak mungkin negara terus-menerus memberikan subsidi, sementara penerima subsidi untungnya terus membesar.
“Untuk jangka pendek subsidi harus tetap ada, tetapi perlu berbagai perbaikan, termasuk kualitas produk yang dihasilkan harus semakin baik. Selain itu, komunikasi pemerintah harus lebih baik seperti misalnya alasan penetapan HGBT, industri yang dipilih, manfaat yang didapatkan,” lanjut Eddy.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, program harga gas USD6 per MMBTU menyebabkan penerimaan bagian negara hilang Rp29,39 triliun. Hilangnya penerimaan negara sebesar itu terjadi akibat penyesuaian harga gas bumi setelah memperhitungkan kewajiban pemerintah kepada kontraktor kontrak kerja sama (KKKS).
“Pemerintah menanggung penurunan penerimaan negara sebesar Rp16,46 trilun pada 2021 dan Rp12,93 triliun untuk tahun 2022. Kebijakan HGBT mewajibkan pemerintah untuk menanggung biaya selisih harga dengan mengurangi jatah keuntungan penjualan gas negara sehingga tidak membebani jatah atau keuntungan kontaktor,” jelas Direktur Jenderal Migas Tutuka Ariadji.
Menurut Eddy pemberian subsidi harga gas kepada sektor industri selama dua tahun ternyata juga tidak menjamin adanya peningkatan daya saing dan membesarnya kontribusi penerima subsidi terhadap perekonomian negara. Padahal dua aspek tersebut termasuk bagian dari tujuan pemerintah ketika menetapkan program harga gas USD6 per MMBTU.
“Meskipun sudah menerima subsidi, belum tentu produk dari industri tersebut semakin kompetitif. Kalau lebih murah mungkin iya. Namun perlu diingat, ada faktor lain agar produk tersebut kompetitif seperti kualitas, inovasi, quality control, hingga layanan customer service,” tandasnya.
Ia kemudian mencontohkan masih besarnya impor keramik asal China. Padahal melalui program harga gas murah pemerintah berharap perusahaan keramik lokal, yang juga menerima harga gas USD6, mampu bersaing di pasar domestik. Tidak hanya itu saja, perusahaan keramik yang menerima subsidi ternyata belum bisa maksimal menyerap alokasi gas yang diberikan oleh pemerintah.