Perpanjangan Ekspor Mineral Picu Kontroversi Perdagangan
A
A
A
JAKARTA - Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti mengatakan, rencana relaksasi ekspor mineral yang akan dilakukan Plt Menteri ESDM Luhut Binsar Pandjaitan bisa menyebabkan kontroversi dalam isu perdagangan internasional.
Rencana relaksasi tersebut akan dituangkan dalam PP No 1/2014. Menurutnya, isu ekspor minral awalnya Indonesia sudah banyak mendapat tekanan dari beberapa negara.
(Baca: Jatam Tolak Menteri Luhut Longgarkan Ekspor Mineral Freeport)
"Salah satunya, tenakan yang dikaitkan dengan konteks perlindungan investasi," kata Rachmi di kantor Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Jakarta, Selasa (11/10/2016).
Karena, lanjut dia, dengan adanya langkah ini, pemerintah seolah semakin memberi ketidakpastian ke investor, khususnya bagi mereka yang sudah mulai yakin dengan pilihan investasi dalam membangun smelter.
"Bahkan, dengan adanya rencana revisi ini, bisa dikategorikan sebagai kebijakan yang diskriminatif kepada investor asing," kata Rachmi.
(Baca: Jatam: Pemerintah Terkesan Diatur Freeport)
Menurutnya, dibalik kebijakan relaksasi ini, ada perusahaan multinasional, yakni Freeport yang mampu memengaruhi kebijakan pemerintah. Namun, pemerintah seharusnya tidak boleh melupakan investor lainnya, dengan hanya seolah-olah menganakemaskan Freeport.
"Pemerintah tidak boleh lupa, banyak investor lain yang memiliki ketertarikan besar untuk bangun industri hilirisasi. Maka, jangan sampai kebijakan hilirisasi yang sudah diambil pemerintah Indonesia, jadi kebijakan yang merugikan Indonesia sendiri dengan rencana revisi PP No 1/2014," pungkasnya.
Rencana relaksasi tersebut akan dituangkan dalam PP No 1/2014. Menurutnya, isu ekspor minral awalnya Indonesia sudah banyak mendapat tekanan dari beberapa negara.
(Baca: Jatam Tolak Menteri Luhut Longgarkan Ekspor Mineral Freeport)
"Salah satunya, tenakan yang dikaitkan dengan konteks perlindungan investasi," kata Rachmi di kantor Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Jakarta, Selasa (11/10/2016).
Karena, lanjut dia, dengan adanya langkah ini, pemerintah seolah semakin memberi ketidakpastian ke investor, khususnya bagi mereka yang sudah mulai yakin dengan pilihan investasi dalam membangun smelter.
"Bahkan, dengan adanya rencana revisi ini, bisa dikategorikan sebagai kebijakan yang diskriminatif kepada investor asing," kata Rachmi.
(Baca: Jatam: Pemerintah Terkesan Diatur Freeport)
Menurutnya, dibalik kebijakan relaksasi ini, ada perusahaan multinasional, yakni Freeport yang mampu memengaruhi kebijakan pemerintah. Namun, pemerintah seharusnya tidak boleh melupakan investor lainnya, dengan hanya seolah-olah menganakemaskan Freeport.
"Pemerintah tidak boleh lupa, banyak investor lain yang memiliki ketertarikan besar untuk bangun industri hilirisasi. Maka, jangan sampai kebijakan hilirisasi yang sudah diambil pemerintah Indonesia, jadi kebijakan yang merugikan Indonesia sendiri dengan rencana revisi PP No 1/2014," pungkasnya.
(izz)