Luhut Beri Sinyal Batalkan Relaksasi Ekspor Tiga Mineral Mentah
A
A
A
JAKARTA - Pelaksana Tugas (Plt) Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Luhut Binsar Pandjaitan memberi sinyal akan membatalkan pelonggaran (relaksasi) ekspor mineral mentah untuk jenis nikel, bauksit, dan tanah jarang (rare earth). Dia menerangkan punya alasan sendiri untuk tidak memberikan relaksasi ekspor pada tiga jenis mineral mentah ini.
Menurutnya jumlah nikel dan bauksit di Tanah Air sangatlah besar, berdasarkan laporan Indonesia saat ini menguasai 50% pasar nikel dunia. "Tadi kajian itu mengenai nikel dan bauksit, ternyata dari hasil laporan itu kita mengontrol nikel itu sampai hampir lebih 50% dunia," katanya di Gedung BPPT, Jakarta, Rabu (12/10/2016).
Selain menguasai pasar nikel dunia, dia menyatakan bahwa di Indonesia telah ada pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) untuk nikel baik dengan kapasitas besar maupun kecil. Setidaknya ada 22 perusahaan yang memiliki fasilitas pemurnian nikel di Tanah Air.
"Nah sekarang kita sudah ada investasi hampir Rp5 miliar. Dan sudah sampai turunannya ke staineless steel dan kepada turunan lain yang bisa kita ekspor. Misalnya untuk alat elektronik, kebutuhan semua disana. Itu kemajuan yang tadinya tidak kita bayangkan," imbuh dia.
Tak jauh berbeda dengan nikel, mantan Kepala Staf Kepresidenan ini menyatakan bahwa bauksit pun juga telah bisa dimurnikan di dalam negeri. Oleh sebab itu, Luhut pun berpikir bahwa Indonesia sudah tidak perlu lagi mengekspor mineral mentah untuk dua jenis tersebut.
"Ngapain kita ekspor lagi kalau sudah bisa dalam negeri kita. Jadi sekarang sudah ada 22 perusahaan yang mengerjakan, ada smelter besar dan smelter kecil. Jadi ini hampir ya, belum diputuskan, hampir pasti kita tidak akan memberikan relaksasi untuk nikel dan bauksit," tuturnya.
Sementara untuk jenis rare earth, mantan Menkopolhukam ini menyatakan bahwa keputusannya untuk tidak memberikan relaksasi ekspor karena jenis mineral mentah tersebut sangatlah langka. Meskipun di Indonesia belum ada teknologi yang mampu mengolahnya, namun produk tersebut sangat langka dan Indonesia harus mampu memurnikannya sendiri.
"Tapi mengenai tanah jarang (material alam) itu tidak akan kita ekspor. Walaupun kita belum punya teknologinya. Tapi itu barang sangat langka dan kita punya besar sekali. Dan kita mau produksi sendiri sambil menyiapkan teknologinya," tandas Luhut.
Menurutnya jumlah nikel dan bauksit di Tanah Air sangatlah besar, berdasarkan laporan Indonesia saat ini menguasai 50% pasar nikel dunia. "Tadi kajian itu mengenai nikel dan bauksit, ternyata dari hasil laporan itu kita mengontrol nikel itu sampai hampir lebih 50% dunia," katanya di Gedung BPPT, Jakarta, Rabu (12/10/2016).
Selain menguasai pasar nikel dunia, dia menyatakan bahwa di Indonesia telah ada pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) untuk nikel baik dengan kapasitas besar maupun kecil. Setidaknya ada 22 perusahaan yang memiliki fasilitas pemurnian nikel di Tanah Air.
"Nah sekarang kita sudah ada investasi hampir Rp5 miliar. Dan sudah sampai turunannya ke staineless steel dan kepada turunan lain yang bisa kita ekspor. Misalnya untuk alat elektronik, kebutuhan semua disana. Itu kemajuan yang tadinya tidak kita bayangkan," imbuh dia.
Tak jauh berbeda dengan nikel, mantan Kepala Staf Kepresidenan ini menyatakan bahwa bauksit pun juga telah bisa dimurnikan di dalam negeri. Oleh sebab itu, Luhut pun berpikir bahwa Indonesia sudah tidak perlu lagi mengekspor mineral mentah untuk dua jenis tersebut.
"Ngapain kita ekspor lagi kalau sudah bisa dalam negeri kita. Jadi sekarang sudah ada 22 perusahaan yang mengerjakan, ada smelter besar dan smelter kecil. Jadi ini hampir ya, belum diputuskan, hampir pasti kita tidak akan memberikan relaksasi untuk nikel dan bauksit," tuturnya.
Sementara untuk jenis rare earth, mantan Menkopolhukam ini menyatakan bahwa keputusannya untuk tidak memberikan relaksasi ekspor karena jenis mineral mentah tersebut sangatlah langka. Meskipun di Indonesia belum ada teknologi yang mampu mengolahnya, namun produk tersebut sangat langka dan Indonesia harus mampu memurnikannya sendiri.
"Tapi mengenai tanah jarang (material alam) itu tidak akan kita ekspor. Walaupun kita belum punya teknologinya. Tapi itu barang sangat langka dan kita punya besar sekali. Dan kita mau produksi sendiri sambil menyiapkan teknologinya," tandas Luhut.
(akr)