Arcandra Tegaskan RI Tak Anti Modal Asing dalam Revisi UU Migas
A
A
A
JAKARTA - Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar menegaskan, prinsip yang akan dipegang oleh pemerintah dalam merevisi Undang-undang (UU) Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas) adalah bahwa Indonesia tidak anti terhadap pemodal asing. Sebab, keberadaan pemodal asing dalam sebuah negara telah lumrah terjadi di belahan dunia manapun.
(Baca Juga: Arcandra Tahar Tak Mau Revisi UU Migas Masuk MK Lagi)
Dia mengatakan, inti dari penyusunan aturan tata kelola migas yang baru tersebut adalah kontribusi sektor migas dalam pembangunan nasional. Selain itu, semangat menciptakan perusahaan migas nasional yang memiliki daya saing, serta memberikan harapan terhadap generasi mendatang akan cadangan migas nasional yang aman.
"Pada intinya, dalam penyusunan tata kelola migas ini adalah bagaimana kita mencari titik kepentingan optimum yang jadi concern kita bersama. Bagaimana dapat memberikan harapan untuk generasi mendatang bahwa cadangan migas nasional dapat bertambah dari waktu ke waktu, meskipun setiap hari dilakukan pengurasan," katanya dalam Rakernas Kadin di Jakarta, Selasa (1/11/2016).
Kendati demikian, sambung mantan Menteri ESDM ini, semangat tersebut tidak harus ditafsirkan bahwa Indonesia akan anti terhadap penanam modal asing. Sebab, negara lain juga mengizinkan penempatan modal asing dalam bentuk kerja sama pengelolaan sumber daya migas yang saling menguntungkan.
"Penempatan modal asing dalam bentuk kerja sama yang saling menguntungkan dalam rangka mengelola sumber daya migas dan dengan nilai investasi yang sangat besar, tentunya itu suatu hal yang umum terjadi di belahan dunia," imbuh dia.
(Baca Juga: Arcandra Rencana Hapus Skema Pemerintah-Swasta di Proyek Migas)
Menurutnya, yang terpenting saat ini adalah mengembangkan kapasitas perusahaan migas nasional agar dapat bersaing di tingkat global. "Sehingga prinsip berkeadilan dalam pengelolaan sumber daya migas baik untuk pemodal nasional dan asing dapat terwujud," tandasnya.
Seperti diketahui UU Migas yang lama sempat dilakukan peninjauan kembali (judicial review) sebanyak tiga kali oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Hal ini lantaran UU Migas tersebut dianggap terlalu liberal, dan bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945, bahwa sumber daya alam dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat.
(Baca Juga: Arcandra Tahar Tak Mau Revisi UU Migas Masuk MK Lagi)
Dia mengatakan, inti dari penyusunan aturan tata kelola migas yang baru tersebut adalah kontribusi sektor migas dalam pembangunan nasional. Selain itu, semangat menciptakan perusahaan migas nasional yang memiliki daya saing, serta memberikan harapan terhadap generasi mendatang akan cadangan migas nasional yang aman.
"Pada intinya, dalam penyusunan tata kelola migas ini adalah bagaimana kita mencari titik kepentingan optimum yang jadi concern kita bersama. Bagaimana dapat memberikan harapan untuk generasi mendatang bahwa cadangan migas nasional dapat bertambah dari waktu ke waktu, meskipun setiap hari dilakukan pengurasan," katanya dalam Rakernas Kadin di Jakarta, Selasa (1/11/2016).
Kendati demikian, sambung mantan Menteri ESDM ini, semangat tersebut tidak harus ditafsirkan bahwa Indonesia akan anti terhadap penanam modal asing. Sebab, negara lain juga mengizinkan penempatan modal asing dalam bentuk kerja sama pengelolaan sumber daya migas yang saling menguntungkan.
"Penempatan modal asing dalam bentuk kerja sama yang saling menguntungkan dalam rangka mengelola sumber daya migas dan dengan nilai investasi yang sangat besar, tentunya itu suatu hal yang umum terjadi di belahan dunia," imbuh dia.
(Baca Juga: Arcandra Rencana Hapus Skema Pemerintah-Swasta di Proyek Migas)
Menurutnya, yang terpenting saat ini adalah mengembangkan kapasitas perusahaan migas nasional agar dapat bersaing di tingkat global. "Sehingga prinsip berkeadilan dalam pengelolaan sumber daya migas baik untuk pemodal nasional dan asing dapat terwujud," tandasnya.
Seperti diketahui UU Migas yang lama sempat dilakukan peninjauan kembali (judicial review) sebanyak tiga kali oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Hal ini lantaran UU Migas tersebut dianggap terlalu liberal, dan bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945, bahwa sumber daya alam dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat.
(akr)