Harga Minyak Jatuh Imbas Kenaikan The Fed
A
A
A
SINGAPURA - Harga minyak pada perdagangan Kamis (15/12/2016) turun setelah kenaikan suku bunga Amerika Serikat akibat dolar yang menguat. Minyak berjangka AS, West Texas Intermediate diperdagangkan turun 17 sen ke USD50,87 per barel pada pukul 02:35 GMT. Brent International juga melemah 7 sen menjadi USD53,83 per barel.
Mengutip dari Reuters, kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat membuat greenback terhadap sekeranjang mata uang lainnya, meningkat hingga level tertinggi sejak 2003. “Kenaikan suku bunga oleh Federal Reserve membuat imbal hasil obligasi naik dan memukul terhadap komoditas pada umumnya,” ujar Jeffrey Halley, analis senior di bursa berjangka Oanda Singapura.
Dolar yang lebih kuat, di mana minyak diperdagangkan, dapat menekan permintaan minyak mentah karena membuat pembelian bahan bakar lebih mahal bagi negara-negara yang menggunakan mata uang lainnya.
Di luar dampak bearish atas kenaikan suku bunga AS, harga si emas hitam juga terseret karena meningkatnya output Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC).
OPEC memproduksi 33,8 juta barel per hari (bph) pada bulan November lalu, lebih besar 150 ribu bph dari produksi Oktober. Hal ini menambah kekenyangan pasokan global, menjelang penerapan perjanjian pemotongan produksi yang digaungkan OPEC.
Kelebihan produksi pada November juga menimbulkan pertanyaan tentang kemampuan anggota OPEC untuk sepenuhnya mematuhi kesepakatan. Bila mereka bisa menjaga dan mematuhi kesepakatan, ANZ Bank menilai bahwa pasar minyak akan mengalami defisit pada kuartal pertama 2017. “Dan itu kemungkinan akan mendorong harga minyak jauh di atas USD60 per barel pada awal tahun depan,” tulis mereka.
Proyeksi kenaikan harga minyak di masa datang juga mendapat dukungan dari data penurunan persediaan minyak mentah AS. Data Badan Informasi Energi (EIA) menunjukkan bahwa persediaan minyak mentah komersial pada pekan lalu mengalami penurunan sebesar 2,56 juta barel menjadi 483.190.000 barel.
Mengutip dari Reuters, kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat membuat greenback terhadap sekeranjang mata uang lainnya, meningkat hingga level tertinggi sejak 2003. “Kenaikan suku bunga oleh Federal Reserve membuat imbal hasil obligasi naik dan memukul terhadap komoditas pada umumnya,” ujar Jeffrey Halley, analis senior di bursa berjangka Oanda Singapura.
Dolar yang lebih kuat, di mana minyak diperdagangkan, dapat menekan permintaan minyak mentah karena membuat pembelian bahan bakar lebih mahal bagi negara-negara yang menggunakan mata uang lainnya.
Di luar dampak bearish atas kenaikan suku bunga AS, harga si emas hitam juga terseret karena meningkatnya output Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC).
OPEC memproduksi 33,8 juta barel per hari (bph) pada bulan November lalu, lebih besar 150 ribu bph dari produksi Oktober. Hal ini menambah kekenyangan pasokan global, menjelang penerapan perjanjian pemotongan produksi yang digaungkan OPEC.
Kelebihan produksi pada November juga menimbulkan pertanyaan tentang kemampuan anggota OPEC untuk sepenuhnya mematuhi kesepakatan. Bila mereka bisa menjaga dan mematuhi kesepakatan, ANZ Bank menilai bahwa pasar minyak akan mengalami defisit pada kuartal pertama 2017. “Dan itu kemungkinan akan mendorong harga minyak jauh di atas USD60 per barel pada awal tahun depan,” tulis mereka.
Proyeksi kenaikan harga minyak di masa datang juga mendapat dukungan dari data penurunan persediaan minyak mentah AS. Data Badan Informasi Energi (EIA) menunjukkan bahwa persediaan minyak mentah komersial pada pekan lalu mengalami penurunan sebesar 2,56 juta barel menjadi 483.190.000 barel.
(ven)