Lira Turki Jatuh Setelah Penembakan Duta Besar Rusia
A
A
A
ISTANBUL - Mata uang Turki, lira jatuh ke posisi terendah pada perdagangan Senin (19/12/2016) waktu Turki, setelah Duta Besar Rusia untuk Turki Andrey Karlov tewas ditembak anggota kepolisian Turki. Melansir dari CNBC, Selasa (20/12/2016), lira Turki terjerembab 0,6% ke level 3.526 per dolar Amerika Serikat, setelah insiden penembakan.
Steve Hanke, direktur mata uang di Cato Institute, Washington, AS, mengatakan kejadian penembakan Dubes Rusia semakin menambah buruk kondisi lira Turki. Pada tahun ini, lira Turki telah kehilangan 20% terhadap dolar AS.
“Meski perekonomian Turki tumbuh USD720 miliar namun kekacauan politik dan aksi terorisme yang melanda pada beberapa bulan terakhir, membuat perekonomian Turki pada titik kritis,” ujarnya. Dan bila dikonversi ke dalam rupiah, perekonomian Turki tumbuh mencapai Rp9.644 triliun (estimasi kurs Rp13.395/USD).
Ekonomi Turki pun menyusut hingga 1,8% pada kuartal III 2016. Padahal pada 2009, pertumbuhan ekonomi Turki mulai melesat. Situasi buruk membuat penurunan investasi asing di Turki. Departemen Keuangan Turki mengungkapkan, gejolak politik di Turki belakangan telah mempengaruhi investasi asing langsung (foreign direct investment). Investasi asing turun 68% dalam tujuh bulan terakhir tahun ini hingga USD2,5 miliar (Rp33,48 triliun) menjadi USD7,5 miliar (Rp100,46 triliun).
Para ekonom menilai kekhawatiran dan ketidakpastian yang berlarut-larut, bisa menyebabkan pelarian modal (capital outflow) di Turki, dan menempatkan ekonomi negara menjadi goyah. Mengantisipasi kemungkinan buruk, Presiden Turki Tayyip Erdogan mengimbau warga Turki untuk mengkonversi tabungan dalam mata uang asing menjadi emas dan lira Turki.
“Saat ini yang dibutuhkan oleh investor adalah kepastian hukum,” ujar Sinan Ulgen, managing partner di Istanbul Economics. Ia menambahkan Turki saat ini mengalami kondisi dalam negeri yang sulit apalagi ditambah kejadian kudeta militer pada Juni lalu dan arus pengungsi.
Krisis mata uang di pasar negara berkembang pun semakin menjadi usai Donald Trump memenangkan Pilpres AS dan The Fed menaikkan suku bunga acuan. Sementara Erdogan sendiri dihadapkan “perang” dengan bank sentral mereka sendiri, dimana Erdogan menolak untuk menaikkan suku bunga lebih tinggi lagi.
Langkah Erdogan yang keras terhadap kelompok oposisi, termasuk pembersihan terhadap Dewan Pasar Modal, semakin menambah parah keadaan. Sementara itu, perusahaan investasi besar asal Amerika seperti Microsoft, Intel, dan Coca-Cola yang memiliki kantor pusat regional di Turki mulai terkena dampak gejolak pasar domestik.
Adapun PepsiCo memiliki investasi USD120 juta dan GE menanamkan modal di bidang kesehatan sebesar USD668 juta. Dan perusahaan ekuitas asal Uni Emirat Arab, Abraaj Group menginvestasi dana hingga USD9,5 miliar.
Namun Chief Executive Officer Citibank Turki, Serra Akcaoglu mengatakan kebijakan pemerintah Turki sangat pro-bisnis. Dia menerangkan bahwa pemerintah telah melakukan 25 langkah reformasi untuk memperbaiki iklim investasi dan mempertahankan suku bunga yang rendah, termasuk pembebasan pajak perusahaan.
Steve Hanke, direktur mata uang di Cato Institute, Washington, AS, mengatakan kejadian penembakan Dubes Rusia semakin menambah buruk kondisi lira Turki. Pada tahun ini, lira Turki telah kehilangan 20% terhadap dolar AS.
“Meski perekonomian Turki tumbuh USD720 miliar namun kekacauan politik dan aksi terorisme yang melanda pada beberapa bulan terakhir, membuat perekonomian Turki pada titik kritis,” ujarnya. Dan bila dikonversi ke dalam rupiah, perekonomian Turki tumbuh mencapai Rp9.644 triliun (estimasi kurs Rp13.395/USD).
Ekonomi Turki pun menyusut hingga 1,8% pada kuartal III 2016. Padahal pada 2009, pertumbuhan ekonomi Turki mulai melesat. Situasi buruk membuat penurunan investasi asing di Turki. Departemen Keuangan Turki mengungkapkan, gejolak politik di Turki belakangan telah mempengaruhi investasi asing langsung (foreign direct investment). Investasi asing turun 68% dalam tujuh bulan terakhir tahun ini hingga USD2,5 miliar (Rp33,48 triliun) menjadi USD7,5 miliar (Rp100,46 triliun).
Para ekonom menilai kekhawatiran dan ketidakpastian yang berlarut-larut, bisa menyebabkan pelarian modal (capital outflow) di Turki, dan menempatkan ekonomi negara menjadi goyah. Mengantisipasi kemungkinan buruk, Presiden Turki Tayyip Erdogan mengimbau warga Turki untuk mengkonversi tabungan dalam mata uang asing menjadi emas dan lira Turki.
“Saat ini yang dibutuhkan oleh investor adalah kepastian hukum,” ujar Sinan Ulgen, managing partner di Istanbul Economics. Ia menambahkan Turki saat ini mengalami kondisi dalam negeri yang sulit apalagi ditambah kejadian kudeta militer pada Juni lalu dan arus pengungsi.
Krisis mata uang di pasar negara berkembang pun semakin menjadi usai Donald Trump memenangkan Pilpres AS dan The Fed menaikkan suku bunga acuan. Sementara Erdogan sendiri dihadapkan “perang” dengan bank sentral mereka sendiri, dimana Erdogan menolak untuk menaikkan suku bunga lebih tinggi lagi.
Langkah Erdogan yang keras terhadap kelompok oposisi, termasuk pembersihan terhadap Dewan Pasar Modal, semakin menambah parah keadaan. Sementara itu, perusahaan investasi besar asal Amerika seperti Microsoft, Intel, dan Coca-Cola yang memiliki kantor pusat regional di Turki mulai terkena dampak gejolak pasar domestik.
Adapun PepsiCo memiliki investasi USD120 juta dan GE menanamkan modal di bidang kesehatan sebesar USD668 juta. Dan perusahaan ekuitas asal Uni Emirat Arab, Abraaj Group menginvestasi dana hingga USD9,5 miliar.
Namun Chief Executive Officer Citibank Turki, Serra Akcaoglu mengatakan kebijakan pemerintah Turki sangat pro-bisnis. Dia menerangkan bahwa pemerintah telah melakukan 25 langkah reformasi untuk memperbaiki iklim investasi dan mempertahankan suku bunga yang rendah, termasuk pembebasan pajak perusahaan.
(ven)