PAP Inalum Masuki Babak Baru
A
A
A
JAKARTA - Kisruh penetapan pajak air permukaan (PAP) PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum Persero) oleh Pemprov Sumatera Utara menemukan babak baru. Pajak yang mencekik salah satu BUMN hingga ratusan miliar itu disebut-sebut sebagai "permainan" Gatot Pujo Nugroho saat menjabat sebagai Gubernur Sumut.
Dalam kabar yang berkembang, sebelum jadi pesakitan KPK dalam kasus suap kepada anggota DPRD Sumut, Gatot pernah "mendekati" tim perunding PT Inalum. Ini tidak lain karena kinerja Inalum yang terbilang sukses sehingga mendapatkan laba yang selalu tinggi.
Disebutkan, Gatot mendekati tim perunding Inalum untuk mendapatkan "jatah". Namun usahanya untuk mendapatkan jatah itu bertepuk sebelah tangan. Tim perunding Inalum tersebut enggan melayani kemauan Gatot.
Kesal atas sikap petinggi Inalum, Gatot disebut-sebut marah dan mengancam menaikkan pajak air permukaan (PAP) Inalum. Setelah peristiwa itu, Pemprov Sumut akhirnya menetapkan pajak Inalum berdasarkan tarif industri progresif sebesar Rp 1.444/m3 dengan pajak selama satu tahun PT Inalum (Asahan II) mencapai di atas Rp 500 miliar.
Inalum merasa keberatan dengan besaran pajak yang dikenakan oleh Pemprov Sumut karena dinilai tidak adil, terutama ketika dibandingkan dengan PAP yang dikenakan terhadap Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Menanggapi rumor yang berkembang ini, Ketua KPK Agus Rahardjo tidak menepisnya. Bahkan Agus berjanji akan mendalami dan menelusuri jejak kasus penetapan pajak yang dinilai sangat memberatkan PT Inalum tersebut.
"Kami akan pelajari kabar ini, kami akan telusuri," kata Agus kepada wartawan di Jakarta, Selasa (10/1/2016).
Ketika ditanya, apakah KPK akan langsung memeriksa Gatot yang kini tengah mendekam di penjara terkait kabar ini, Agus Rahardjo tidak menjelaskan secara rinci. Ia hanya menegaskan akan menggali informasi tersebut.
"Soal isu ini, kami akan telusuri," jelasnya.
Sementara itu, Pengamat dan Praktisi Sosial, Fitri D Sentana mengatakan, sudah sepatutnya KPK turut serta mengawasi jalannya upaya hukum yang dijalankan PT Inalum baik di Pengadilan Pajak maupun di Lembaga Hukum tingkatan manapun agar keadilan benar benar terwujud.
Fitri yang dikenal dekat dengan aparatur hukum dan insan Intelijen diberbagai tingkatan ini menambahkan, bila mengingat sejarah rencana pembangunan PLTA Asahan ini di zaman pak Harto tahun 1972 jelas-jelas disebutkan "Pemakai utama dari listrik yang dihasilkannya (PLTA Asahan red.) adalah untuk Inalum," katanya dengan dana tinggi.
Apalagi, sambungnya, sekarang Inalum adalah milik BUMN dan sudah jelas milik rakyat Indonesia sudah sepatutnya benar-benar diperhatikan dong.
"Saya akan bantu KPK dan aparat terkait untuk memberikan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk mempermudah penelusuran yang dijanjikan pak Agus", tandasnya.
Ia menjelaskan, yang jelas pada tanggal 6 Januari 1976, PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), sebuah perusahaan patungan antara pemerintah Indonesia dan didirikan di Jakarta.
"Inalum adalah perusahaan yang membangun dan mengoperasikan Proyek Asahan, sesuai dengan perjanjian induk. Logikanya kemana pihak Gubsu, Inalum yang membangun sendiri, sekarang mau disusahkan dengan pajak, yang benar saja", pungkas Fitri.
Dalam kabar yang berkembang, sebelum jadi pesakitan KPK dalam kasus suap kepada anggota DPRD Sumut, Gatot pernah "mendekati" tim perunding PT Inalum. Ini tidak lain karena kinerja Inalum yang terbilang sukses sehingga mendapatkan laba yang selalu tinggi.
Disebutkan, Gatot mendekati tim perunding Inalum untuk mendapatkan "jatah". Namun usahanya untuk mendapatkan jatah itu bertepuk sebelah tangan. Tim perunding Inalum tersebut enggan melayani kemauan Gatot.
Kesal atas sikap petinggi Inalum, Gatot disebut-sebut marah dan mengancam menaikkan pajak air permukaan (PAP) Inalum. Setelah peristiwa itu, Pemprov Sumut akhirnya menetapkan pajak Inalum berdasarkan tarif industri progresif sebesar Rp 1.444/m3 dengan pajak selama satu tahun PT Inalum (Asahan II) mencapai di atas Rp 500 miliar.
Inalum merasa keberatan dengan besaran pajak yang dikenakan oleh Pemprov Sumut karena dinilai tidak adil, terutama ketika dibandingkan dengan PAP yang dikenakan terhadap Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Menanggapi rumor yang berkembang ini, Ketua KPK Agus Rahardjo tidak menepisnya. Bahkan Agus berjanji akan mendalami dan menelusuri jejak kasus penetapan pajak yang dinilai sangat memberatkan PT Inalum tersebut.
"Kami akan pelajari kabar ini, kami akan telusuri," kata Agus kepada wartawan di Jakarta, Selasa (10/1/2016).
Ketika ditanya, apakah KPK akan langsung memeriksa Gatot yang kini tengah mendekam di penjara terkait kabar ini, Agus Rahardjo tidak menjelaskan secara rinci. Ia hanya menegaskan akan menggali informasi tersebut.
"Soal isu ini, kami akan telusuri," jelasnya.
Sementara itu, Pengamat dan Praktisi Sosial, Fitri D Sentana mengatakan, sudah sepatutnya KPK turut serta mengawasi jalannya upaya hukum yang dijalankan PT Inalum baik di Pengadilan Pajak maupun di Lembaga Hukum tingkatan manapun agar keadilan benar benar terwujud.
Fitri yang dikenal dekat dengan aparatur hukum dan insan Intelijen diberbagai tingkatan ini menambahkan, bila mengingat sejarah rencana pembangunan PLTA Asahan ini di zaman pak Harto tahun 1972 jelas-jelas disebutkan "Pemakai utama dari listrik yang dihasilkannya (PLTA Asahan red.) adalah untuk Inalum," katanya dengan dana tinggi.
Apalagi, sambungnya, sekarang Inalum adalah milik BUMN dan sudah jelas milik rakyat Indonesia sudah sepatutnya benar-benar diperhatikan dong.
"Saya akan bantu KPK dan aparat terkait untuk memberikan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk mempermudah penelusuran yang dijanjikan pak Agus", tandasnya.
Ia menjelaskan, yang jelas pada tanggal 6 Januari 1976, PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), sebuah perusahaan patungan antara pemerintah Indonesia dan didirikan di Jakarta.
"Inalum adalah perusahaan yang membangun dan mengoperasikan Proyek Asahan, sesuai dengan perjanjian induk. Logikanya kemana pihak Gubsu, Inalum yang membangun sendiri, sekarang mau disusahkan dengan pajak, yang benar saja", pungkas Fitri.
(wbs)