Aturan Aset Sunat Wewenang Pengawasan DPR terhadap BUMN
A
A
A
JAKARTA - Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon melayangkan protes terhadap pemerintah atas disahkannya Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2016 sebagai revisi dari PP Nomor 4 tahun 2015 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada BUMN. Pasalnya, PP yang mengatur soal aset badan usaha milik negara (BUMN) tersebut berpotensi mengurangi peran parlemen dalam mengawasi BUMN.
Dia mengatakan, beleid tersebut melonggarkan tata cara penyertaan modal negara (PMN) dan pengalihan kekayaan negara pada BUMN dengan tanpa harus melalui persetujuan DPR. Menurutnya, hal tersebut jelas bermasalah dan bahkan bisa mengarah pada pelanggaran konstitusi yang serius.
"Sebab, semua hal yang terkait dengan masalah keuangan dan kekayaan negara merupakan obyek APBN, yang pembahasannya, sesuai dengan UUD 1945 Pasal 23, harus dibahas dan disetujui oleh DPR," ujarnya di Jakarta, Minggu (15/1/2017).
Menurut politisi Partai Gerindra ini sebagai obyek APBN maka setiap bentuk pengambilalihan atau perubahan status kepemilikan saham yang termasuk kekayaan negara haruslah sepengetahuan dan mendapatkan persetujuan DPR. Ini juga merupakan ketentuan UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan UU Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Fadli menegaskan, pemerintah tidak bisa seenaknya merusak mekanisme ketatanegaraan dengan menyusun aturan yang bertentangan dengan UU dan bahkan konstitusi.
“Dalam catatan saya, PP Nomor 72/2016 merupakan upaya lanjutan untuk menggunting pengawasan DPR terhadap BUMN. Di mana upaya-upaya awalnya sudah lama dilakukan pemerintah. Untuk membiayai program infrastruktur, misalnya, pemerintah yang sedang tidak punya uang telah mendorong BUMN untuk membuat utang utang sendiri, seperti yang dilakukan sejak 2015 lalu," imbuhnya.
Dia menduga, penerbitan PP tersebut berkaitan dengan rencana Kementerian BUMN untuk membentuk holding BUMN migas. Dalam rencana holding migas, PT Pertamina (Persero) akan bertindak sebagai induk holding dan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) sebagai anak usaha Pertamina.
“Saya masih melakukan kajian, tapi penerbitan PP Nomor 72/2016 ini menurut saya ada kaitannya dengan rencana Kementerian BUMN yang meminta Pertamina untuk mengakuisisi Perusahaan Gas Negara (PGN). Itu sudah jadi kontroversi dalam dua tahun terakhir, karena banyak sekali keanehan dalam rencana itu," tandasnya.
Dia mengatakan, beleid tersebut melonggarkan tata cara penyertaan modal negara (PMN) dan pengalihan kekayaan negara pada BUMN dengan tanpa harus melalui persetujuan DPR. Menurutnya, hal tersebut jelas bermasalah dan bahkan bisa mengarah pada pelanggaran konstitusi yang serius.
"Sebab, semua hal yang terkait dengan masalah keuangan dan kekayaan negara merupakan obyek APBN, yang pembahasannya, sesuai dengan UUD 1945 Pasal 23, harus dibahas dan disetujui oleh DPR," ujarnya di Jakarta, Minggu (15/1/2017).
Menurut politisi Partai Gerindra ini sebagai obyek APBN maka setiap bentuk pengambilalihan atau perubahan status kepemilikan saham yang termasuk kekayaan negara haruslah sepengetahuan dan mendapatkan persetujuan DPR. Ini juga merupakan ketentuan UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan UU Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Fadli menegaskan, pemerintah tidak bisa seenaknya merusak mekanisme ketatanegaraan dengan menyusun aturan yang bertentangan dengan UU dan bahkan konstitusi.
“Dalam catatan saya, PP Nomor 72/2016 merupakan upaya lanjutan untuk menggunting pengawasan DPR terhadap BUMN. Di mana upaya-upaya awalnya sudah lama dilakukan pemerintah. Untuk membiayai program infrastruktur, misalnya, pemerintah yang sedang tidak punya uang telah mendorong BUMN untuk membuat utang utang sendiri, seperti yang dilakukan sejak 2015 lalu," imbuhnya.
Dia menduga, penerbitan PP tersebut berkaitan dengan rencana Kementerian BUMN untuk membentuk holding BUMN migas. Dalam rencana holding migas, PT Pertamina (Persero) akan bertindak sebagai induk holding dan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) sebagai anak usaha Pertamina.
“Saya masih melakukan kajian, tapi penerbitan PP Nomor 72/2016 ini menurut saya ada kaitannya dengan rencana Kementerian BUMN yang meminta Pertamina untuk mengakuisisi Perusahaan Gas Negara (PGN). Itu sudah jadi kontroversi dalam dua tahun terakhir, karena banyak sekali keanehan dalam rencana itu," tandasnya.
(dmd)