Aturan Hilirisasi Tambang Diklaim demi Kembalikan Kedaulatan RI
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengklaim aturan mengenai hilirisasi tambang yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 tahun 2017 akan dapat mengembalikan kedaulatan Indonesia. Dalam aturan tersebut, pemerintah mewajibkan pengusaha tambang untuk mendivestasikan sahamnya sebesar 51% dan mengubah status kontrak karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), jika ingin mendapatkan izin ekspor konsentrat.
Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengungkapkan, beleid tersebut dikeluarkan untuk meyakinkan bahwa program hilirisasi harus tercapai. Sebab, dengan aturan tersebut pemerintah bisa mengetahui perusahaan yang memang serius membangun smelter.
"PP ini ingin kembalikan kedaulatan NKRI dalam pengelolaan tambang dengan divestasi dan IUPK. Oleh karena itu, PP harus terimplementasi dengan baik. Karena pemerintah tetap menginginkan program hilirisasi harus tercapai," katanya dalam sebuah diskusi di Jakarta, Senin (6/2/2017).
Dia mengakui, dalam aturan tersebut pemerintah memang masih mengizinkan tambang nikel dan bauksit untuk diekspor. Namun, pemerintah tidak sembarangan dan memberikan beberapa syarat untuk perusahaan tambang dapat mengekspor nikel dan bauksit.
Di antaranya, pemerintah hanya mengizinkan ekspor ore bauksit yang kadarnya sekitar 1,7% ke bawah. Mengingat, jenis tersebut masih belum bisa diolah di dalam negeri karena tidak masuk secara keekonomian.
"Yang boleh dijual keluar adalah ore bauksit yang memang kontennya 1,7% kebawah. Karena memang saat ini 1,7% belum bisa diolah secara keekonomian. Jadi persyaratan itu yang akan diberikan kepada siapa yang ingin ekspor. Buktinya sampai sekarang belum ada yang ajukan. Kita memang cari perusahaan yang serius bangun," tandasnya.
Sebelumnya dengan pertimbangan dalam rangka pelaksanaan peningkatan nilai tambah mineral logam melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral logam sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 4/2009, Presiden Joko Widodo pada 11 Januari 2017 telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Dalam PP baru itu, pemerintah menegaskan ketentuan bahwa pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang sahamnya dimiliki oleh asing untuk melakukan divestasi saham sampai 51% secara bertahap. Dengan diterapkannya PP ini, semua pemegang kontrak karya dan IUPK dan sebagainya wajib tunduk kepada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba yang wajib itu melakukan divestasi saham sampai 51% sejak masa produksi
Selain itu dalam PP No. 1 Tahun 2017, pemerintah juga merubah jangka waktu permohonan perpanjangan untuk izin usaha pertambangan (IUP) dan izin usah pertambangan khusus (IUPK), paling cepat 5 (lima) tahun sebelum berakhirnya jangka waktu izin usaha, dan paling lambat satu tahun sebelum berakhirnya jangka waktu IUPK Operasi Produksi.
Selain itu, melalui PP ini, pemerintah juga mewajibkan pemegang kontrak karya itu untuk merubah izinnya menjadi rezim perijinan pertambangan khusus operasi produksi. Serta PP ini juga menghapus ketentuan bahwa pemegang KK yang telah melakukan pemurnian dapat melakukan penjualan hasil pengolahan dalam jumlah dan waktu tertentu.
Sedangkan pengaturan lebih lanjut terkait tata cara pelaksanaan Peningkatan nilai tambah dan penjualan mineral logam, menurut PP ini, akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.
Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengungkapkan, beleid tersebut dikeluarkan untuk meyakinkan bahwa program hilirisasi harus tercapai. Sebab, dengan aturan tersebut pemerintah bisa mengetahui perusahaan yang memang serius membangun smelter.
"PP ini ingin kembalikan kedaulatan NKRI dalam pengelolaan tambang dengan divestasi dan IUPK. Oleh karena itu, PP harus terimplementasi dengan baik. Karena pemerintah tetap menginginkan program hilirisasi harus tercapai," katanya dalam sebuah diskusi di Jakarta, Senin (6/2/2017).
Dia mengakui, dalam aturan tersebut pemerintah memang masih mengizinkan tambang nikel dan bauksit untuk diekspor. Namun, pemerintah tidak sembarangan dan memberikan beberapa syarat untuk perusahaan tambang dapat mengekspor nikel dan bauksit.
Di antaranya, pemerintah hanya mengizinkan ekspor ore bauksit yang kadarnya sekitar 1,7% ke bawah. Mengingat, jenis tersebut masih belum bisa diolah di dalam negeri karena tidak masuk secara keekonomian.
"Yang boleh dijual keluar adalah ore bauksit yang memang kontennya 1,7% kebawah. Karena memang saat ini 1,7% belum bisa diolah secara keekonomian. Jadi persyaratan itu yang akan diberikan kepada siapa yang ingin ekspor. Buktinya sampai sekarang belum ada yang ajukan. Kita memang cari perusahaan yang serius bangun," tandasnya.
Sebelumnya dengan pertimbangan dalam rangka pelaksanaan peningkatan nilai tambah mineral logam melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral logam sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 4/2009, Presiden Joko Widodo pada 11 Januari 2017 telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Dalam PP baru itu, pemerintah menegaskan ketentuan bahwa pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang sahamnya dimiliki oleh asing untuk melakukan divestasi saham sampai 51% secara bertahap. Dengan diterapkannya PP ini, semua pemegang kontrak karya dan IUPK dan sebagainya wajib tunduk kepada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba yang wajib itu melakukan divestasi saham sampai 51% sejak masa produksi
Selain itu dalam PP No. 1 Tahun 2017, pemerintah juga merubah jangka waktu permohonan perpanjangan untuk izin usaha pertambangan (IUP) dan izin usah pertambangan khusus (IUPK), paling cepat 5 (lima) tahun sebelum berakhirnya jangka waktu izin usaha, dan paling lambat satu tahun sebelum berakhirnya jangka waktu IUPK Operasi Produksi.
Selain itu, melalui PP ini, pemerintah juga mewajibkan pemegang kontrak karya itu untuk merubah izinnya menjadi rezim perijinan pertambangan khusus operasi produksi. Serta PP ini juga menghapus ketentuan bahwa pemegang KK yang telah melakukan pemurnian dapat melakukan penjualan hasil pengolahan dalam jumlah dan waktu tertentu.
Sedangkan pengaturan lebih lanjut terkait tata cara pelaksanaan Peningkatan nilai tambah dan penjualan mineral logam, menurut PP ini, akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.
(akr)