CSR Perusahaan Didorong Tak Dibatasi Regulasi
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah diminta agar jangan membatasi program Corporate Social Responsibility (CSR) yang dilakukan perusahaan. Pasalnya jika CSR dikembangkan dengan baik maka bisa berdampak pada pengentasan kemiskinan.
Dosen Kewirausahaan Podomoro University Risa Bhinekawati mengatakan, hasil disertasi program doktornya di Australian National University menyebutkan CSR tidak hanya sekedar donasi melainkan bisa berdampak pada pengentasan kemiskinan. Dia mengatakan, perusahaan pun bisa bertahan hidup jika tidak mencari keuntungan sendiri melainkan aktif menyumbangkan keuntungannya kepada masyarakat.
Akan tetapi, agar swasta bisa lebih banyak melakukan program CSR, maka pemerintah jangan membatasinya dengan membuat banyak regulasi. Penerima Beasiswa Australian Leaership Award ini berharap pemerintah memperbaiki peraturan terkait dengan pengembangan program CSR di Indonesia.
Menurutnya kalangan swasta bisa jadi mitra pembangunan yang potensial, jika program CRS dikelola secara optimal. “Karena itu peraturan terkait dengan CSR jangan dibatas-batasin agar program bisa dilakukan secara berkesinambungan,” katanya, Rabu (29/3/2017).
Risa mengaku tidak menyangka apabila hasil disertasi doktornya itu menarik perhatian penerbit buku terkenal di Inggris Routledge. Disertasinya yang berjudul CSR and Sustainable Development: Social Capital and Corporate Development in Development Economies itu kini dijual di pasar luar negeri dengan harga Rp1 juta lebih.
Lebih lanjut dia menuturkan, program CSR selama ini lebih banyak menekankan pada kegiatan bantuan, bukan pemberdayaan masyarakat. Jika pun ada, program pemberdayaan tak dilakukan secara berkesinambungan. Dampaknya terang dia, belum terlihat pada peningkatan ekonomi masyarakat, tapi program CSR sudah dihentikan. Padahal, perusahaan bisa jadi pahlawan jika bisa menyejahterakan masyarakat sekitarnya.
Belajar dari pengalaman 33 tahun mengelola program CSR di PT Astra International, Rhisa menuturkan, perusahaan bisa lebih sukses jika mampu menyenergikan antara kegiatan mencari untung, kinerja sosial serta menjaga lingkungan.
Sementara Co-chair Badan Pengarah Perhimpunan Filantropi Indonesia Erna Witoelar menjelaskan, kalangan swasta memang banyak yang menentang berbagai peraturan yang dibuat pemerintah karena dinilai over regulated karena saat ini sudah ada 11 regulasi CSR yang dibuat pemerintah. Regulasi yang terlalu banyak tentang CSR ini, diyakini akan mempersulit kemudahan bisnis juga.
Mantan Menteri Permukiman dan Pengembangan Wilayah ini menjelaskan, pemerintah semestinya memberikan informasi kepada swasta apa saja program pembangunan yang bisa didukung CSR. Bukannya memaksakan dukungannya untuk program apa dan bagaimana menyalurkannya. Sebab, katanya, CSR sendiri adalah hak otonomi perusahaan untuk turut serta dalam pembangunan.
Dosen Kewirausahaan Podomoro University Risa Bhinekawati mengatakan, hasil disertasi program doktornya di Australian National University menyebutkan CSR tidak hanya sekedar donasi melainkan bisa berdampak pada pengentasan kemiskinan. Dia mengatakan, perusahaan pun bisa bertahan hidup jika tidak mencari keuntungan sendiri melainkan aktif menyumbangkan keuntungannya kepada masyarakat.
Akan tetapi, agar swasta bisa lebih banyak melakukan program CSR, maka pemerintah jangan membatasinya dengan membuat banyak regulasi. Penerima Beasiswa Australian Leaership Award ini berharap pemerintah memperbaiki peraturan terkait dengan pengembangan program CSR di Indonesia.
Menurutnya kalangan swasta bisa jadi mitra pembangunan yang potensial, jika program CRS dikelola secara optimal. “Karena itu peraturan terkait dengan CSR jangan dibatas-batasin agar program bisa dilakukan secara berkesinambungan,” katanya, Rabu (29/3/2017).
Risa mengaku tidak menyangka apabila hasil disertasi doktornya itu menarik perhatian penerbit buku terkenal di Inggris Routledge. Disertasinya yang berjudul CSR and Sustainable Development: Social Capital and Corporate Development in Development Economies itu kini dijual di pasar luar negeri dengan harga Rp1 juta lebih.
Lebih lanjut dia menuturkan, program CSR selama ini lebih banyak menekankan pada kegiatan bantuan, bukan pemberdayaan masyarakat. Jika pun ada, program pemberdayaan tak dilakukan secara berkesinambungan. Dampaknya terang dia, belum terlihat pada peningkatan ekonomi masyarakat, tapi program CSR sudah dihentikan. Padahal, perusahaan bisa jadi pahlawan jika bisa menyejahterakan masyarakat sekitarnya.
Belajar dari pengalaman 33 tahun mengelola program CSR di PT Astra International, Rhisa menuturkan, perusahaan bisa lebih sukses jika mampu menyenergikan antara kegiatan mencari untung, kinerja sosial serta menjaga lingkungan.
Sementara Co-chair Badan Pengarah Perhimpunan Filantropi Indonesia Erna Witoelar menjelaskan, kalangan swasta memang banyak yang menentang berbagai peraturan yang dibuat pemerintah karena dinilai over regulated karena saat ini sudah ada 11 regulasi CSR yang dibuat pemerintah. Regulasi yang terlalu banyak tentang CSR ini, diyakini akan mempersulit kemudahan bisnis juga.
Mantan Menteri Permukiman dan Pengembangan Wilayah ini menjelaskan, pemerintah semestinya memberikan informasi kepada swasta apa saja program pembangunan yang bisa didukung CSR. Bukannya memaksakan dukungannya untuk program apa dan bagaimana menyalurkannya. Sebab, katanya, CSR sendiri adalah hak otonomi perusahaan untuk turut serta dalam pembangunan.
(akr)