Bea Cukai Upayakan Kebijakan Efektif dan Selaras Filosofi Cukai
A
A
A
JAKARTA - Dalam menyusun kebijakan di bidang cukai, Bea Cukai senantiasa berupaya menghimpun masukan dari banyak pihak, baik dari Kementerian terkait, Non Governmental Organization (NGO) maupun dari berbagai akademisi baik dari dalam maupun luar negeri. Kesemuanya itu ditujukan untuk menghasilkan kebijakan cukai yang efektif.
Tetapi tetap selaras dengan filosofi cukai itu sendiri, di mana cukai tidak hanya berfungsi sebagai sumber penerimaan negara tetapi juga menjadi alat pengendalian konsumsi atas barang-barang dengan karakteristik tertentu yang ditetapkan sebagai barang kena cukai. Kali ini Bea Cukai mengadakan sarasehan bertajuk 'Kebijakan Cukai dan Perannya dalam Optimalisasi Penerimaan Negara'.
“Diskusi ini bermaksud untuk menghimpun masukan ataupun gambaran kebijakan cukai yang paling efektif dalam rangka optimalisasi penerimaan, tanpa mengesampingkan aspek pengendaliannya juga,” ungkap Direktur Informasi Kepabeanan dan Cukai, Bahaduri Wijayanta dalam keterangan resmi di Jakarta, Senin (10/4/2017).
Bea Cukai juga menghadirkan Frank J. Chaloupka, profesor University of Illinois, Chicago, sebagai narasumber. Dia mengungkapkan bahwa dari beberapa penelitian yang dilakukan di sejumlah negara, belum ada bukti empiris bahwa pengendalian tembakau akan menyebabkan terjadinya masalah pengangguran dan juga perekonomian.
Indonesia dapat dikatakan sebagai negara yang cukup unik. Di satu sisi, tembakau dan rokok menjadi sumber penerimaan negara serta sumber mata pencaharian bagi sejumlah penduduk, tetapi di sisi lain juga menyebabkan terjadinya masalah kesehatan.
Adanya keunikan ini juga diakui oleh Prof. Frank J. Chalopuka, di mana berdasarkan hasil riset di beberapa negara, umumnya konsumsi akan mengalami penurunan signifikan jika pajak atau cukai rokok ditingkatkan, tetapi hal serupa tidak terjadi di Indonesia. Rokok tergolong komoditi yang bersifat inelastis di Indonesia, sehingga kenaikan harga rokok tidak akan sebanding dengan besaran penurunan permintaannya.
“Terkait pengendalian tembakau adalah mengupayakan agar harga produk tembakau menjadi semakin tidak terjangkau dari waktu ke waktu, serta menyusun sistem tarif yang membuat konsumen sulit bergeser ke produk dengan harga lebih murah,” ungkap Frank.
Tetapi tetap selaras dengan filosofi cukai itu sendiri, di mana cukai tidak hanya berfungsi sebagai sumber penerimaan negara tetapi juga menjadi alat pengendalian konsumsi atas barang-barang dengan karakteristik tertentu yang ditetapkan sebagai barang kena cukai. Kali ini Bea Cukai mengadakan sarasehan bertajuk 'Kebijakan Cukai dan Perannya dalam Optimalisasi Penerimaan Negara'.
“Diskusi ini bermaksud untuk menghimpun masukan ataupun gambaran kebijakan cukai yang paling efektif dalam rangka optimalisasi penerimaan, tanpa mengesampingkan aspek pengendaliannya juga,” ungkap Direktur Informasi Kepabeanan dan Cukai, Bahaduri Wijayanta dalam keterangan resmi di Jakarta, Senin (10/4/2017).
Bea Cukai juga menghadirkan Frank J. Chaloupka, profesor University of Illinois, Chicago, sebagai narasumber. Dia mengungkapkan bahwa dari beberapa penelitian yang dilakukan di sejumlah negara, belum ada bukti empiris bahwa pengendalian tembakau akan menyebabkan terjadinya masalah pengangguran dan juga perekonomian.
Indonesia dapat dikatakan sebagai negara yang cukup unik. Di satu sisi, tembakau dan rokok menjadi sumber penerimaan negara serta sumber mata pencaharian bagi sejumlah penduduk, tetapi di sisi lain juga menyebabkan terjadinya masalah kesehatan.
Adanya keunikan ini juga diakui oleh Prof. Frank J. Chalopuka, di mana berdasarkan hasil riset di beberapa negara, umumnya konsumsi akan mengalami penurunan signifikan jika pajak atau cukai rokok ditingkatkan, tetapi hal serupa tidak terjadi di Indonesia. Rokok tergolong komoditi yang bersifat inelastis di Indonesia, sehingga kenaikan harga rokok tidak akan sebanding dengan besaran penurunan permintaannya.
“Terkait pengendalian tembakau adalah mengupayakan agar harga produk tembakau menjadi semakin tidak terjangkau dari waktu ke waktu, serta menyusun sistem tarif yang membuat konsumen sulit bergeser ke produk dengan harga lebih murah,” ungkap Frank.
(akr)