Utang Luar Negeri RI Tumbuh Melambat di Februari 2017
A
A
A
JAKARTA - Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada Februari 2017 tercatat sebesar USD321,7 miliar atau tumbuh 2,7% (yoy), melambat dibandingkan dengan pertumbuhan Januari 2017 sebesar 3,6% (yoy). Berdasarkan kelompok peminjam, perlambatan tersebut dipengaruhi oleh utang luar negeri sektor publik yang menyusut, seiring dengan utang luar negeri sektor swasta yang tetap menurun.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI) Tirta Segara mengatakan, utang luar negeri sektor publik pada Februari 2017 tercatat sebesar USD162,0 miliar atau tumbuh 10,3% (yoy), lebih rendah dari pertumbuhan di bulan sebelumnya yang sebesar 12,4% (yoy). Sementara itu, posisi utang luar negeri sektor swasta pada Februari 2017 tercatat sebesar USD159,7 miliar atau turun 4,0% (yoy), sama dengan penurunan bulan sebelumnya.
Berdasarkan jangka waktu, sambung dia, melambatnya utang luar negeri terutama pada utang luar negeri jangka panjang. "Utang luar negeri berjangka panjang pada Februari 2017 tumbuh 0,8% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan Januari 2017 yang sebesar 2,1% (yoy)," kata Tirta di Jakarta, Senin (17/4/2017).
Dia melanjutkan, utang luar negeri jangka panjang masih mendominasi utang luar negeri Indonesia dan pada Februari 2017 tercatat sebesar USD278,1 miliar atau 86,4% dari total utang luar negeri. Sementara utang luar negeri jangka panjang tersebut terdiri dari utang luar negeri sektor publik sebesar USD159,5 miliar (pangsa 57,4% dari total utang luar negeri jangka panjang) dan utang luar negeri sektor swasta sebesar USD118,5 miliar (pangsa 42,6% dari total utang luar negeri jangka panjang).
Selain itu utang luar negeri berjangka pendek tumbuh 17,0% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan Januari 2017 sebesar 14,7% (yoy) terutama karena meningkatnya utang dagang sektor swasta.
Utang luar negeri berjangka pendek tercatat sebesar USD43,6 miliar (pangsa 13,6% dari total utang luar negeri), terdiri dari utang luar negeri sektor swasta sebesar USD41,2 miliar (pangsa 94,4% dari total utang luar negeri jangka pendek) dan utang luar negeri sektor publik sebesar USD2,4 miliar (pangsa 5,6% dari total utang luar negeri jangka pendek).
Menurutnya posisi utang luar negeri swasta pada akhir Februari 2017 terkonsentrasi di sektor keuangan, sektor industri pengolahan, sektor pertambangan, serta sektor listrik, gas dan air bersih. "Pangsa utang luar negeri keempat sektor tersebut terhadap total utang luar negeri swasta mencapai 76,6%," paparnya.
Bila dibandingkan dengan Januari 2017, pertumbuhan tahunan utang luar negeri sektor industri pengolahan meningkat sedangkan sektor listrik, gas dan air bersih melambat. Di sisi lain, utang luar negeri sektor pertambangan dan sektor keuangan masih mengalami kontraksi pertumbuhan.
Bank Indonesia memandang perkembangan utang luar negeri pada Februari 2017 tetap sehat, namun terus mewaspadai risikonya terhadap perekonomian nasional. "Bank Indonesia terus memantau perkembangan utang luar negeri, khususnya utang luar negeri sektor swasta," imbuhnya.
Hal ini dimaksudkan untuk memberikan keyakinan bahwa utang luar negeri dapat berperan secara optimal dalam mendukung pembiayaan pembangunan tanpa menimbulkan risiko yang berpotensi memengaruhi stabilitas makro ekonomi.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI) Tirta Segara mengatakan, utang luar negeri sektor publik pada Februari 2017 tercatat sebesar USD162,0 miliar atau tumbuh 10,3% (yoy), lebih rendah dari pertumbuhan di bulan sebelumnya yang sebesar 12,4% (yoy). Sementara itu, posisi utang luar negeri sektor swasta pada Februari 2017 tercatat sebesar USD159,7 miliar atau turun 4,0% (yoy), sama dengan penurunan bulan sebelumnya.
Berdasarkan jangka waktu, sambung dia, melambatnya utang luar negeri terutama pada utang luar negeri jangka panjang. "Utang luar negeri berjangka panjang pada Februari 2017 tumbuh 0,8% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan Januari 2017 yang sebesar 2,1% (yoy)," kata Tirta di Jakarta, Senin (17/4/2017).
Dia melanjutkan, utang luar negeri jangka panjang masih mendominasi utang luar negeri Indonesia dan pada Februari 2017 tercatat sebesar USD278,1 miliar atau 86,4% dari total utang luar negeri. Sementara utang luar negeri jangka panjang tersebut terdiri dari utang luar negeri sektor publik sebesar USD159,5 miliar (pangsa 57,4% dari total utang luar negeri jangka panjang) dan utang luar negeri sektor swasta sebesar USD118,5 miliar (pangsa 42,6% dari total utang luar negeri jangka panjang).
Selain itu utang luar negeri berjangka pendek tumbuh 17,0% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan Januari 2017 sebesar 14,7% (yoy) terutama karena meningkatnya utang dagang sektor swasta.
Utang luar negeri berjangka pendek tercatat sebesar USD43,6 miliar (pangsa 13,6% dari total utang luar negeri), terdiri dari utang luar negeri sektor swasta sebesar USD41,2 miliar (pangsa 94,4% dari total utang luar negeri jangka pendek) dan utang luar negeri sektor publik sebesar USD2,4 miliar (pangsa 5,6% dari total utang luar negeri jangka pendek).
Menurutnya posisi utang luar negeri swasta pada akhir Februari 2017 terkonsentrasi di sektor keuangan, sektor industri pengolahan, sektor pertambangan, serta sektor listrik, gas dan air bersih. "Pangsa utang luar negeri keempat sektor tersebut terhadap total utang luar negeri swasta mencapai 76,6%," paparnya.
Bila dibandingkan dengan Januari 2017, pertumbuhan tahunan utang luar negeri sektor industri pengolahan meningkat sedangkan sektor listrik, gas dan air bersih melambat. Di sisi lain, utang luar negeri sektor pertambangan dan sektor keuangan masih mengalami kontraksi pertumbuhan.
Bank Indonesia memandang perkembangan utang luar negeri pada Februari 2017 tetap sehat, namun terus mewaspadai risikonya terhadap perekonomian nasional. "Bank Indonesia terus memantau perkembangan utang luar negeri, khususnya utang luar negeri sektor swasta," imbuhnya.
Hal ini dimaksudkan untuk memberikan keyakinan bahwa utang luar negeri dapat berperan secara optimal dalam mendukung pembiayaan pembangunan tanpa menimbulkan risiko yang berpotensi memengaruhi stabilitas makro ekonomi.
(akr)