Petani Tembakau Tolak Diskriminasi terhadap Rokok Indonesia
A
A
A
JAKARTA - Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) melakukan berbagai upaya untuk mencegah negara lain dalam menerapkan kemasan polos tanpa merek (plain packaging/PP). Selain itu APTI juga menegaskan tetap mendukung pemerintah Indonesia dalam proses sengketa di WTO (World Trade Organization).
Ketua Umum APTI, Soeseno mengatakan upaya terbaru yang dilakukan oleh APTI adalah dengan mengirimkan surat kepada Pemerintah Taiwan pada akhir Februari 2017 terkait rencana perubahan atas Undang-Undang Pencegahan dan Pengendalian Bahaya Tembakau di Taiwan.
“Taiwan memulai wacana akan segera menerapkan kemasan polos tanpa merek dan pelarangan terhadap rokok beraroma, termasuk rokok kretek Indonesia. Artinya akan ada diskriminasi terhadap produk rokok Indonesia,” kata Soeseno dalam keterangan resmi di Jakarta, Rabu (19/4/2017).
Lebih lanjut dia menerangkan sudah tentu kebijakan tersebut akan berdampak pada perekonomian dan penyerapan tenaga kerja di Indonesia, yang notabene merupakan negara penghasil tembakau terbesar kelima di dunia. Saat ini, industri hasil tembakau Indonesia menjadi tumpuan bagi lebih dari 6 juta orang.
Menurutnya membatasi penjualan rokok kretek juga akan merugikan masa depan Indonesia yang juga produsen rokok kretek terbesar di dunia. Seperti diketahui Indonesia sudah mengajukan gugatan bersama negara-negara seperti, Honduras, Republik Dominika dan Kuba atas kebijakan PP di WTO.
“Kami akan terus mendukung Pemerintah Indonesia dan kami harap Pemerintah Taiwan dapat melakukan pertimbangan secara menyeluruh terhadap oposisi Indonesia. Taiwan harus menyadari bahwa kebijakan kemasan polos tanpa merek merupakan kebijakan diskriminatif dan akan melemahkan daya saing produk tembakau Indonesia yang merupakan sumber mata pencaharian kami,” tegasnya.
Sementara di negara lain, pada 9 Maret 2017, Kementerian Kesehatan Singapura telah memberikan pandangannya terhadap hasil konsultasi publik tentang usulan tindakan pengendalian tembakau yang diselenggarakan sejak Desember 2015 hingga Maret 2016 lalu. Dalam konsultasi publik tersebut, Singapura sempat mewacanakan penerapan kemasan polos tanpa merek dan juga melarang penjualan rokok Kretek.
Dalam paparan yang diberikan, Kementerian Kesehatan Singapura memutuskan untuk tidak membahas kebijakan kemasan polos tanpa merek ataupun pelarangan rokok kretek lebih lanjut karena adanya oposisi yang kuat dari beragam pemangku kepentingan, khususnya dari Indonesia.
“Kami menyambut baik keputusan yang diambil oleh Pemerintah Singapura. APTI telah menyampaikan secara langsung keberatan kami dan ternyata diterima secara positif. Kami berharap untuk mendapatkan hasil serupa dari Pemerintah Taiwan sehingga petani-petani tembakau Indonesia dapat terus menopang kebutuhan bahan baku tembakau untuk pasar dalam negeri dan juga pasar ekspor,” lanjut dia.
APTI, yang beranggotakan dua juta petani dan buruh tani tembakau di Indonesia, sangat khawatir terhadap kerugian dan efek yang dapat terjadi di masa depan atas rencana Taiwan dan Singapura. Rencana penerapan kebijakan kemasan polos tanpa merek dan pelarangan rokok beraroma berpengaruh negatif terhadap kelangsungan mata pencaharian para petani tembakau dan cengkeh Indonesia, dengan mempertimbangkan hubungan perdagangan di antara dua negara.
Petani tembakau di Indonesia memiliki posisi penting dalam mendukung peningkatan ekspor tembakau Indonesia yang stabil. Indonesia diketahui juga merupakan produsen-eksportir terbesar ke-2 di dunia untuk produk jadi tembakau.
Kebijakan kemasan polos tanpa merek saat ini sedang dipertimbangkan di berbagai negara di dunia. Australia adalah negara pertama yang telah memberlakukan kebijakan kemasan polos tanpa merek. Pemerintah Indonesia menilai bahwa kebijakan tersebut melanggar Perjanjian Perdagangan Internasional WTO, terutama Perjanjian Hambatan Teknis Perdagangan (Agreement on Technical Barries) dan Perjanjian Aspek Perdagangan yang terkait Hak Kekayaan Intelektual (Agreement on Trade-related Aspects of Intellectual Property Rights).
Pada tahun 2013, Indonesia, bersama Honduras, Republik Dominika, dan Kuba, menggugat kebijakan Australia tersebut ke WTO. Setelah melalui serangkaian proses, pada semester pertama tahun 2017, panel hakim di WTO dijadwalkan akan menggelar pengumuman.
Ketua Umum APTI, Soeseno mengatakan upaya terbaru yang dilakukan oleh APTI adalah dengan mengirimkan surat kepada Pemerintah Taiwan pada akhir Februari 2017 terkait rencana perubahan atas Undang-Undang Pencegahan dan Pengendalian Bahaya Tembakau di Taiwan.
“Taiwan memulai wacana akan segera menerapkan kemasan polos tanpa merek dan pelarangan terhadap rokok beraroma, termasuk rokok kretek Indonesia. Artinya akan ada diskriminasi terhadap produk rokok Indonesia,” kata Soeseno dalam keterangan resmi di Jakarta, Rabu (19/4/2017).
Lebih lanjut dia menerangkan sudah tentu kebijakan tersebut akan berdampak pada perekonomian dan penyerapan tenaga kerja di Indonesia, yang notabene merupakan negara penghasil tembakau terbesar kelima di dunia. Saat ini, industri hasil tembakau Indonesia menjadi tumpuan bagi lebih dari 6 juta orang.
Menurutnya membatasi penjualan rokok kretek juga akan merugikan masa depan Indonesia yang juga produsen rokok kretek terbesar di dunia. Seperti diketahui Indonesia sudah mengajukan gugatan bersama negara-negara seperti, Honduras, Republik Dominika dan Kuba atas kebijakan PP di WTO.
“Kami akan terus mendukung Pemerintah Indonesia dan kami harap Pemerintah Taiwan dapat melakukan pertimbangan secara menyeluruh terhadap oposisi Indonesia. Taiwan harus menyadari bahwa kebijakan kemasan polos tanpa merek merupakan kebijakan diskriminatif dan akan melemahkan daya saing produk tembakau Indonesia yang merupakan sumber mata pencaharian kami,” tegasnya.
Sementara di negara lain, pada 9 Maret 2017, Kementerian Kesehatan Singapura telah memberikan pandangannya terhadap hasil konsultasi publik tentang usulan tindakan pengendalian tembakau yang diselenggarakan sejak Desember 2015 hingga Maret 2016 lalu. Dalam konsultasi publik tersebut, Singapura sempat mewacanakan penerapan kemasan polos tanpa merek dan juga melarang penjualan rokok Kretek.
Dalam paparan yang diberikan, Kementerian Kesehatan Singapura memutuskan untuk tidak membahas kebijakan kemasan polos tanpa merek ataupun pelarangan rokok kretek lebih lanjut karena adanya oposisi yang kuat dari beragam pemangku kepentingan, khususnya dari Indonesia.
“Kami menyambut baik keputusan yang diambil oleh Pemerintah Singapura. APTI telah menyampaikan secara langsung keberatan kami dan ternyata diterima secara positif. Kami berharap untuk mendapatkan hasil serupa dari Pemerintah Taiwan sehingga petani-petani tembakau Indonesia dapat terus menopang kebutuhan bahan baku tembakau untuk pasar dalam negeri dan juga pasar ekspor,” lanjut dia.
APTI, yang beranggotakan dua juta petani dan buruh tani tembakau di Indonesia, sangat khawatir terhadap kerugian dan efek yang dapat terjadi di masa depan atas rencana Taiwan dan Singapura. Rencana penerapan kebijakan kemasan polos tanpa merek dan pelarangan rokok beraroma berpengaruh negatif terhadap kelangsungan mata pencaharian para petani tembakau dan cengkeh Indonesia, dengan mempertimbangkan hubungan perdagangan di antara dua negara.
Petani tembakau di Indonesia memiliki posisi penting dalam mendukung peningkatan ekspor tembakau Indonesia yang stabil. Indonesia diketahui juga merupakan produsen-eksportir terbesar ke-2 di dunia untuk produk jadi tembakau.
Kebijakan kemasan polos tanpa merek saat ini sedang dipertimbangkan di berbagai negara di dunia. Australia adalah negara pertama yang telah memberlakukan kebijakan kemasan polos tanpa merek. Pemerintah Indonesia menilai bahwa kebijakan tersebut melanggar Perjanjian Perdagangan Internasional WTO, terutama Perjanjian Hambatan Teknis Perdagangan (Agreement on Technical Barries) dan Perjanjian Aspek Perdagangan yang terkait Hak Kekayaan Intelektual (Agreement on Trade-related Aspects of Intellectual Property Rights).
Pada tahun 2013, Indonesia, bersama Honduras, Republik Dominika, dan Kuba, menggugat kebijakan Australia tersebut ke WTO. Setelah melalui serangkaian proses, pada semester pertama tahun 2017, panel hakim di WTO dijadwalkan akan menggelar pengumuman.
(akr)