Pemerintah Dinilai Egois Terapkan Skema Gross Split
A
A
A
JAKARTA - Pengamat minyak dan gas (migas) dari ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto menilai, keputusan pemerintah untuk menerapkan skema gross split dalam kontrak bagi hasil migas melalui penerbitan Permen ESDM No 8/2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split, sebagai sikap pemerintah yang mau menang sendiri alias egois.
Sebab, lanjut dia, skema tersebut sangat tidak menguntungkan bagi investor. Menurutnya, kemunculan gross split awalnya karena wacana pemerintah yang menganggap biaya operasional migas yang dikembalikan negara (cost recovery) sebagai penyakit dan membebankan negara.
Padahal sejatinya, seluruh sistem bagi hasil selalu memperhitungkan ongkos (cost) yang dikeluarkan investor. Dalam seluruh skema bagi hasil, kata dia, jika pengawasan terhadap biaya yang dikeluarkan investor lemah maka hasil yang diperoleh negara akan sedikit.
"Semua sistem pasti ada cost-nya. Mau yang bukan PSC juga ada cost deduction. Artinya, kalau cost-nya mark up, pendapatan kena pajaknya kan jadi kecil. Jadi sebenarnya enggak ada esensinya menghapus cost recovery yang dianggap sumber penyakit. Karena semua sistem ada komponen cost yang dihitung," katanya di Kantor Chevron, Jakarta, Selasa (16/5/2017).
Untuk diketahui, porsi bagi hasil sebelum pajak (based split) antara pemerintah dan investor dalam skema gross split yaitu 57:43 atau pemerintah 57% dan investor 43%. Dalam hitungan Pri Agung, bagian kontraktor ditambah dengan insentif tambahan dari pemerintah (variabel split) sekitar 17% menjadi sekitar 60%.
Namun selanjutnya, dipotong biaya yang dikeluarkan kontraktor (cost) sekitar 18%. Berarti, bagian kontraktor menjadi sekitar 42%. Sementara untuk bagian pemerintah, dari porsi based split sebesar 57% kemudian dikurangi dengan insentif tambahan dari pemerintah untuk kontraktor sebesar 17% maka porsi pemerintah menjadi 40%.
Kemudian, pemerintah mendapat bagian lagi dari pajak yang dikenakan kepada investor sebesar 44% dari total investasi atau sekitar 18,48%. Jadi, porsi bagi hasil yang diperoleh pemerintah menjadi sekitar 58,48%.
Dari hitungan filosofis tersebut, sudah terlihat bahwa pemerintah mau menang sendiri atas skema bagi hasil migas. Sebab, pemerintah mendapatkan bagian sekitar 58,48% sedangkan kontraktor hanya 42%. Padahal, prinsip investasi adalah win-win, kedua belah pihak mendapatkan keuntungan sepadan.
"Investasi itu win win. Apalagi kita enggak mau keluar (risiko) sendiri. Kalau ini (gross split) government win. Absolut itu," imbuh dia.
Menurutnya, di negara manapun porsi royalti atau bagian pemerintah maksimal hanya sekitar 30%. Namun, pemerintah justru mematok porsinya lewat skema gross split menjadi sekitar 58%.
"Enggak usah dibandingin sama negara lain, Dibandingin sama (sistem investasi) sebelumnya sudah ketahuan kok (gross split tidak menarik untuk investor)," tuturnya.
Sekadar informasi, dalam Permen ESDM Nomor 8/2017 tentang Kontrak Bagi Hasil dengan Skema Goss Split disebutkan bahwa blok yang berakhir masa kontraknya dan tidak diperpanjang wajib menggunakan skema gross split.
Sementara, wilayah kerja yang habis kontraknya dan diperpanjang, dapat memilih bentuk kontrak kerja sama semula atau bentuk gross split.
Sebab, lanjut dia, skema tersebut sangat tidak menguntungkan bagi investor. Menurutnya, kemunculan gross split awalnya karena wacana pemerintah yang menganggap biaya operasional migas yang dikembalikan negara (cost recovery) sebagai penyakit dan membebankan negara.
Padahal sejatinya, seluruh sistem bagi hasil selalu memperhitungkan ongkos (cost) yang dikeluarkan investor. Dalam seluruh skema bagi hasil, kata dia, jika pengawasan terhadap biaya yang dikeluarkan investor lemah maka hasil yang diperoleh negara akan sedikit.
"Semua sistem pasti ada cost-nya. Mau yang bukan PSC juga ada cost deduction. Artinya, kalau cost-nya mark up, pendapatan kena pajaknya kan jadi kecil. Jadi sebenarnya enggak ada esensinya menghapus cost recovery yang dianggap sumber penyakit. Karena semua sistem ada komponen cost yang dihitung," katanya di Kantor Chevron, Jakarta, Selasa (16/5/2017).
Untuk diketahui, porsi bagi hasil sebelum pajak (based split) antara pemerintah dan investor dalam skema gross split yaitu 57:43 atau pemerintah 57% dan investor 43%. Dalam hitungan Pri Agung, bagian kontraktor ditambah dengan insentif tambahan dari pemerintah (variabel split) sekitar 17% menjadi sekitar 60%.
Namun selanjutnya, dipotong biaya yang dikeluarkan kontraktor (cost) sekitar 18%. Berarti, bagian kontraktor menjadi sekitar 42%. Sementara untuk bagian pemerintah, dari porsi based split sebesar 57% kemudian dikurangi dengan insentif tambahan dari pemerintah untuk kontraktor sebesar 17% maka porsi pemerintah menjadi 40%.
Kemudian, pemerintah mendapat bagian lagi dari pajak yang dikenakan kepada investor sebesar 44% dari total investasi atau sekitar 18,48%. Jadi, porsi bagi hasil yang diperoleh pemerintah menjadi sekitar 58,48%.
Dari hitungan filosofis tersebut, sudah terlihat bahwa pemerintah mau menang sendiri atas skema bagi hasil migas. Sebab, pemerintah mendapatkan bagian sekitar 58,48% sedangkan kontraktor hanya 42%. Padahal, prinsip investasi adalah win-win, kedua belah pihak mendapatkan keuntungan sepadan.
"Investasi itu win win. Apalagi kita enggak mau keluar (risiko) sendiri. Kalau ini (gross split) government win. Absolut itu," imbuh dia.
Menurutnya, di negara manapun porsi royalti atau bagian pemerintah maksimal hanya sekitar 30%. Namun, pemerintah justru mematok porsinya lewat skema gross split menjadi sekitar 58%.
"Enggak usah dibandingin sama negara lain, Dibandingin sama (sistem investasi) sebelumnya sudah ketahuan kok (gross split tidak menarik untuk investor)," tuturnya.
Sekadar informasi, dalam Permen ESDM Nomor 8/2017 tentang Kontrak Bagi Hasil dengan Skema Goss Split disebutkan bahwa blok yang berakhir masa kontraknya dan tidak diperpanjang wajib menggunakan skema gross split.
Sementara, wilayah kerja yang habis kontraknya dan diperpanjang, dapat memilih bentuk kontrak kerja sama semula atau bentuk gross split.
(izz)