Freeport Bantah Soal Pesangon PHK Rp2 Miliar/Orang
A
A
A
JAKARTA - PT Freeport Indonesia membantah pernyataan Menteri Koordinator (Menko) bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan yang menyatakan pekerja Freeport yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) mendapatkan pesangon hingga Rp2 miliar per orang.
Freeport mengatakan pihaknya tidak memberikan pesangon atau kompensasi kepada para pekerjanya yang terkena PHK.
Juru Bicara Freeport Riza Pratama mengaku tidak mengetahui soal kompensasi (golden shakehand) senilai Rp2 miliar yang disebut Menko Luhut tersebut. Apalagi, PHK tersebut dilakukan secara sukarela oleh karyawan.
"Saya tidak mengetahui soal golden shakehand. Kami menawarkan pemutusan hubungan kerja secara sukarela kepada karyawan yang dirumahkan," katanya saat dikonfirmasi SINDOnews di Jakarta, Rabu (24/5/2017).
Baca Juga: Pekerja Freeport yang di PHK Dapat Pesangon Rp2 Miliar/Orang
Pada dasarnya, kata Riza, perseroan peduli terhadap kesejahteraan dan masa depan karyawan. Namun untuk program PHK secara sukarela, raksasa tambang yang bermarkas di Amerika Serikat (AS) tersebut memang tidak memberikan pesangon. Termasuk 860 karyawan yang melakukan mogok kerja yang kemudian dipecat manajemen.
"Kami peduli terhadap welfare dan masa depan karyawan dan keluarganya. Tidak (86 karyawan tidak dapat pesangon). Karena mengundurkan diri secara sukarela," tandasnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Menko bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengakui bahwa saat ini terjadi PHK terhadap sejumlah karyawan PT Freeport Indonesia, sebagai dampak tidak beroperasinya kegiatan Freeport pasca adanya aturan pemerintah soal ekspor konsentrat. Namun menurutnya, pekerja Freeport yang dipecat mendapat pesangon hingga Rp2 miliar per orang.
Dia mengungkapkan, raksasa tambang asal AS tersebut telah menyiapkan kompensasi untuk pekerjanya yang terkena dampak pengurangan karyawan. Kompensasi tersebut berkisar antara Rp1 miliar hingga Rp2 miliar.
"Kalau mogok itu sebenarnya sebagian mau dikasih golden shakehand (kompensasi) dalam rangka mengurangi pegawainya. Kalau enggak salah satu orang itu Rp1 miliar sampai Rp2 miliar," katanya dalam acara Coffee Morning di Gedung BPPT, Jakarta, Selasa (23/5/2017).
Freeport mengatakan pihaknya tidak memberikan pesangon atau kompensasi kepada para pekerjanya yang terkena PHK.
Juru Bicara Freeport Riza Pratama mengaku tidak mengetahui soal kompensasi (golden shakehand) senilai Rp2 miliar yang disebut Menko Luhut tersebut. Apalagi, PHK tersebut dilakukan secara sukarela oleh karyawan.
"Saya tidak mengetahui soal golden shakehand. Kami menawarkan pemutusan hubungan kerja secara sukarela kepada karyawan yang dirumahkan," katanya saat dikonfirmasi SINDOnews di Jakarta, Rabu (24/5/2017).
Baca Juga: Pekerja Freeport yang di PHK Dapat Pesangon Rp2 Miliar/Orang
Pada dasarnya, kata Riza, perseroan peduli terhadap kesejahteraan dan masa depan karyawan. Namun untuk program PHK secara sukarela, raksasa tambang yang bermarkas di Amerika Serikat (AS) tersebut memang tidak memberikan pesangon. Termasuk 860 karyawan yang melakukan mogok kerja yang kemudian dipecat manajemen.
"Kami peduli terhadap welfare dan masa depan karyawan dan keluarganya. Tidak (86 karyawan tidak dapat pesangon). Karena mengundurkan diri secara sukarela," tandasnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Menko bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengakui bahwa saat ini terjadi PHK terhadap sejumlah karyawan PT Freeport Indonesia, sebagai dampak tidak beroperasinya kegiatan Freeport pasca adanya aturan pemerintah soal ekspor konsentrat. Namun menurutnya, pekerja Freeport yang dipecat mendapat pesangon hingga Rp2 miliar per orang.
Dia mengungkapkan, raksasa tambang asal AS tersebut telah menyiapkan kompensasi untuk pekerjanya yang terkena dampak pengurangan karyawan. Kompensasi tersebut berkisar antara Rp1 miliar hingga Rp2 miliar.
"Kalau mogok itu sebenarnya sebagian mau dikasih golden shakehand (kompensasi) dalam rangka mengurangi pegawainya. Kalau enggak salah satu orang itu Rp1 miliar sampai Rp2 miliar," katanya dalam acara Coffee Morning di Gedung BPPT, Jakarta, Selasa (23/5/2017).
(ven)