Sri Mulyani Sebut Banyak Orang Kaya Dunia Kemplang Pajak

Senin, 29 Mei 2017 - 14:15 WIB
Sri Mulyani Sebut Banyak...
Sri Mulyani Sebut Banyak Orang Kaya Dunia Kemplang Pajak
A A A
JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, negara-negara anggota G-20 memiliki alasan kuat untuk melakukan kerja sama pertukaran informasi perpajakan (Automatic Exchange of Information/AEoI).

Hal tersebut dikarenakan banyak orang kaya di dunia yang melakukan praktik penghindaran atau pengemplangan pajak. Dia mengungkapkan, praktik penghindaran pajak ramai dilakukan sejak krisis keuangan global yang terjadi pada 2008.

(Baca Juga: DPR Minta Penjelasan Sri Mulyani Soal DJP Buka Data Nasabah)

Pada saat itu, negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS) dan Eropa mengalami resesi dan ketidakpastian ekonomi. "Krisis keuangan global di 2008 menumbulkan dampak luar biasa di negara maju terutama AS dan Eropa yang berbentuk ketidakpastian ekonomi, resesi, dan ketidakpastian dunia," katanya dalam rapat kerja dengan Komis XI DPR RI di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Senin (29/5/2017).

Menurutnya, situasi tersebut memaksa negara untuk menggenjot penerimaan pajak guna memperbaiki keuangan mereka pascakrisis. Sayangnya, pengumpulan pajak ini mengalami hambatan karena banyak masyarakat yang justru memanfaatkan momen krisis untuk menghindar dari kewajibannya membayar pajak.

"Mobilisasi sumber daya domestik dari pajak mengalami hambatan, tentu juga karena krisis itu sendiri yang menyebakan kelesuan ekonomi dan meningkatnya penghindaran pajak," imbuhnya.

Salah satu modus penghindaran pajak yang dilakukan adalah dengan menggeser profit dan menyimpan uang dari hasil kegiatannya ke negara suaka pajak (tax haven). Bahkan, data menyebutkan bahwa pada 2013 terdapat USD8,5 triliun harta masyarakat dunia khususnya yang berasal dari Eropa Barat dan Asia Pasifik yang 'ngumpet' di tax haven country.

"Harta tersebut disembunyikan di Swiss, Hongkong, Singapura, Panama, Luxemburg, UEA," kata Menkeu.

Sri Mulyani mengungkapkan, negara seperti AS) juga sempat kebobolan karena warga negaranya banyak yang menyembunyikan hartanya di Bank UBS, Swiss. Akhirnya, pemerintah Negeri Paman Sam tersebut pun mendenda bank tersebut sebanyak USD700 juta dan meminta mereka untuk mengungkapkan lebih dari 5.000 wajib pajak yang menyimpan dananya di bank tersebut.

"Dari pengalaman tersebut, AS menerbitkan kebijakan FATCA dan pada 2010 mengharuskan semua lembaga keuangan asing untuk memberikan info tentang nasabah mereka yang warga negara AS. Ini menggambarkan negara semaju AS kesulitan mendapat info mengenai wajib pajaknya karena sangat mudah mendapatkan perlindungan dari tax haven di luar negeri," tuturnya.

Terdorong dari hal tersebut, negara-negara G-20 pun akhirnya menyepakati kebijakan untuk melakukan pertukaran informasi perpajakan. Kesepakatan ini telah mulai dideklarasikan sejak 2009.

"Waktu itu kami dampingi Pak SBY sebagai Menkeu. Ini termasuk negara yang termasuk dalam kategori tax haven. Bagaimana supaya dilakukan kooperasi agar transparansi perpajakan dapat dilakukan," ujar dia.
(izz)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8064 seconds (0.1#10.140)