Terlalu Agresif, MDRN Sebut Penyebab 7-Eleven Bangkrut
A
A
A
JAKARTA - PT Modern Internasional Tbk (MDRN) menyadari bahwa kejatuhan bisnis 7-Eleven (Sevel) yang telah berdiri sejak tahun 2009 di Indonesia disebabkan oleh banyak faktor, baik internal maupun eksternal. Untuk saat ini penghentian operasional gerai 7-Eleven merupakan pilihan terbaik, lantaran terus mengalami kerugian yang signifikan yang menggerus modal kerja.
(Baca Juga: Seluruh Gerai Tutup, Sevel Janji Penuhi Ribuan Hak Karyawan
Selain itu, manajemen menyadari bahwa keputusan penutupan seluruh gerai Sevel di seluruh Indonesia merupakan salah satu risiko bisnis yang harus dihadapi. Di samping itu, perusahaan juga mendapatkan pembelajaran bahwa ekspansi gerai 7-Eleven dilakukan terlalu cepat awalnya.
"Seperti penjelasan kami, jika dilihat periode 2009-2010 performa baik. Saat itu, manajemen melakukan investasi pembukaan toko cepat dan agresif," ujar Direktur Modern Internasional Donny Sutanto di Jakarta, Jumat (14/7/2017).
Terlalu agresifnya 7-Eleven, terang dia dimana sebagian besar kebutuhan ekspansi tersebut dibiayai oleh pinjaman, kewajiban pembayaran bunga, dan pokok pinjaman yang signifikan. Ini dinilai mengganggu modal kerja yang dapat digunakan untuk operasi bisnis 7-Eleven.
Ditambah lagi, dengan daya beli masyarakat yang melemah sejak 2015 dan terus berkelanjutan pada 2016 dan awal 2017. Selain itu, pertumbuhan bisnis retail yang melambat juga menjadi salah satu kendala dalam pengembangan bisnis 7-Eleven di Tanah Air.
"Kami bangun infrastruktur yang makan modal seperti pabrik fresh food, kapasitas suplai bisa ke 400-500. Tentu saja itu perlu modal besar. Kami sadari bahwa kami terlalu agresif, kami tak salahkan pemerintah, ini satu keputusan bisnis yang punya risiko," pungkasnya.
(Baca Juga: Seluruh Gerai Tutup, Sevel Janji Penuhi Ribuan Hak Karyawan
Selain itu, manajemen menyadari bahwa keputusan penutupan seluruh gerai Sevel di seluruh Indonesia merupakan salah satu risiko bisnis yang harus dihadapi. Di samping itu, perusahaan juga mendapatkan pembelajaran bahwa ekspansi gerai 7-Eleven dilakukan terlalu cepat awalnya.
"Seperti penjelasan kami, jika dilihat periode 2009-2010 performa baik. Saat itu, manajemen melakukan investasi pembukaan toko cepat dan agresif," ujar Direktur Modern Internasional Donny Sutanto di Jakarta, Jumat (14/7/2017).
Terlalu agresifnya 7-Eleven, terang dia dimana sebagian besar kebutuhan ekspansi tersebut dibiayai oleh pinjaman, kewajiban pembayaran bunga, dan pokok pinjaman yang signifikan. Ini dinilai mengganggu modal kerja yang dapat digunakan untuk operasi bisnis 7-Eleven.
Ditambah lagi, dengan daya beli masyarakat yang melemah sejak 2015 dan terus berkelanjutan pada 2016 dan awal 2017. Selain itu, pertumbuhan bisnis retail yang melambat juga menjadi salah satu kendala dalam pengembangan bisnis 7-Eleven di Tanah Air.
"Kami bangun infrastruktur yang makan modal seperti pabrik fresh food, kapasitas suplai bisa ke 400-500. Tentu saja itu perlu modal besar. Kami sadari bahwa kami terlalu agresif, kami tak salahkan pemerintah, ini satu keputusan bisnis yang punya risiko," pungkasnya.
(akr)