Belum Ada Sistem yang Jelas, Perbankan Takut Data Nasabah Bocor
A
A
A
JAKARTA - Perbanas mengkhawatirkan bocornya data nasabah perbankan seiring dengan diberikannya kewenangan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, untuk mengintip data rekening nasabah di perbankan melalui terbitnya Perppu Nomor 1 tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Keperluan Perpajakan.
Pasalnya, saat ini belum ada sistem yang jelas untuk pemberian data rekening nasabah dari perbankan kepada Ditjen Pajak.
Ketua Bidang Pengkajian dan Pengembangan Perhimpunan Bank-bank Nasional Aviliani mengungkapkan, dengan terbitnya beleid ini maka perbakan secara otomatis harus memberikan seluruh datanya ke Ditjen Pajak. Namun, jika pemberian data nasabah tersebut dilakukan secara manual tanpa adanya sistem yang jelas maka potensi kebocoran sangatlah besar.
"Jangan sampai kasus lalu oper data menggunakan flashdisk. Kalau datanya kemana-mana bisa disalahgunakan," katanya dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi XI DPR RI, Jakarta, Selasa (18/7/2017).
Aviliani menyarankan, Ditjen Pajak bisa menggunakan sistem yang telah ada di Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) atau Sistem Penyampaian Informasi Data Nasabah Asing (SiPINA) yang ada di OJK.
"Jadi harus gunakan sistem yang ada, bisa gunakan sistem PPATK atau bisa gunakan SiPINA OJK, dimana bank otomatis sudah punya. Jadi tidak secara manual. Kalau manual akan berbahaya bagi data nasabah, khususnya debitur," imbuh dia.
Pada dasarnya, kata Aviliani, Ditjen Pajak selama ini sudah memiliki akses untuk mengintip data rekening nasabah perbankan. Hanya saja, selama ini Ditjen Pajak harus terlebih dahulu izin kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebelum membukanya. Sementara saat ini, Ditjen Pajak dapat secara langsung mengakses tanpa izin tertulis dari OJK.
Dia berharap, nantinya ada batasan yang jelas mengenai otoritas pajak yang diberikan kewenangan untuk mengakses data tersebut. Sebab, perbankan kerap diprotes oleh nasabah karena datanya diketahui orang lain.
"Harus dibuat rambu yang jelas, karena seringkali nasabah salahkan perbankan ketika mereka datanya keluar. Jadi sejauh mana jaminan terhadap bank, padahal bank wajib memberikan data ke Ditjen Pajak. Jadi perbankan lebih concern kepada kerahasiaan itu sendiri. Walaupun kita tidak bisa menolak," tandasnya.
Pasalnya, saat ini belum ada sistem yang jelas untuk pemberian data rekening nasabah dari perbankan kepada Ditjen Pajak.
Ketua Bidang Pengkajian dan Pengembangan Perhimpunan Bank-bank Nasional Aviliani mengungkapkan, dengan terbitnya beleid ini maka perbakan secara otomatis harus memberikan seluruh datanya ke Ditjen Pajak. Namun, jika pemberian data nasabah tersebut dilakukan secara manual tanpa adanya sistem yang jelas maka potensi kebocoran sangatlah besar.
"Jangan sampai kasus lalu oper data menggunakan flashdisk. Kalau datanya kemana-mana bisa disalahgunakan," katanya dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi XI DPR RI, Jakarta, Selasa (18/7/2017).
Aviliani menyarankan, Ditjen Pajak bisa menggunakan sistem yang telah ada di Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) atau Sistem Penyampaian Informasi Data Nasabah Asing (SiPINA) yang ada di OJK.
"Jadi harus gunakan sistem yang ada, bisa gunakan sistem PPATK atau bisa gunakan SiPINA OJK, dimana bank otomatis sudah punya. Jadi tidak secara manual. Kalau manual akan berbahaya bagi data nasabah, khususnya debitur," imbuh dia.
Pada dasarnya, kata Aviliani, Ditjen Pajak selama ini sudah memiliki akses untuk mengintip data rekening nasabah perbankan. Hanya saja, selama ini Ditjen Pajak harus terlebih dahulu izin kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebelum membukanya. Sementara saat ini, Ditjen Pajak dapat secara langsung mengakses tanpa izin tertulis dari OJK.
Dia berharap, nantinya ada batasan yang jelas mengenai otoritas pajak yang diberikan kewenangan untuk mengakses data tersebut. Sebab, perbankan kerap diprotes oleh nasabah karena datanya diketahui orang lain.
"Harus dibuat rambu yang jelas, karena seringkali nasabah salahkan perbankan ketika mereka datanya keluar. Jadi sejauh mana jaminan terhadap bank, padahal bank wajib memberikan data ke Ditjen Pajak. Jadi perbankan lebih concern kepada kerahasiaan itu sendiri. Walaupun kita tidak bisa menolak," tandasnya.
(ven)