Permen 12 Direvisi, IPP Tetap Tak Bisa Amandemen Kontrak Jual Beli Listrik
A
A
A
JAKARTA - Direktur Jenderal Energi Baru dan Terbarukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rida Mulyana menyatakan, pemerintah saat ini tengah merampungkan revisi kedua atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 12 tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
Namun, revisi beleid tersebut tidak berlaku surut sehingga pengembang listrik swasta (independent power producer/IPP) yang sudah menandatangani perjanjian jual beli listrik (power purchasing agreement/PPA) tidak bisa mengamandemen kontraknya.
Beleid tersebut memang banyak dikeluhkan oleh pengusaha di sektor EBTKE, khususnya subsektor panas bumi. Pasalnya, kebijakan tersebut membuat aturan main jual beli listrik dengan PLN menjadi tidak jelas.
Beleid tersebut juga dinilai membuat investasi yang dilakukan pengembang listrik swasta (IPP) tidak mencapai keekonomian. Oleh karena itu, pemerintah pun akhirnya merevisi kebijakannya tersebut.
Saat ini, draft revisi tengah dalam tahap finalisasi dan rencananya sore ini ditandatangani. "Yang pasti peraturan tidak pernah berlaku surut. Begitu permen revisi terbit (revisi Permen 12/2017), apa bisa disesuaikan enggak (kontrak jual beli listrik berbasis EBT) yang kemarin? Jawabannya enggak," tegasnya di Gedung Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (4/8/2017).
Pekan ini, setidaknya ada 53 pengembang listrik swasta yang melakukan penandatanganan perjanjian jual beli listrik berbasis EBT dengan PT PLN (Persero). Awalnya, PLN berencana teken kontrak dengan 64 perusahaan, namun tiba-tiba 11 perusahaan secara sepihak membatalkan rencana tersebut.
Rida tak mengetahui ikhwal pembatalan sepihak dari 11 IPP tersebut. Namun dia menengarai, batalnya pengembang tersebut untuk membeli listrik dari PLN akibat Permen 12/2017 tersebut.
"Yang kemarin tidak jadi tandatangan (PPA) terus berharap disesuaikan (dengan revisi Permen 12/2017), itu patut diduga seperti itu. Tapi kita belum terima alasan resminya (kenapa batal). Tapi intinya tidak bisa," tandasnya.
Namun, revisi beleid tersebut tidak berlaku surut sehingga pengembang listrik swasta (independent power producer/IPP) yang sudah menandatangani perjanjian jual beli listrik (power purchasing agreement/PPA) tidak bisa mengamandemen kontraknya.
Beleid tersebut memang banyak dikeluhkan oleh pengusaha di sektor EBTKE, khususnya subsektor panas bumi. Pasalnya, kebijakan tersebut membuat aturan main jual beli listrik dengan PLN menjadi tidak jelas.
Beleid tersebut juga dinilai membuat investasi yang dilakukan pengembang listrik swasta (IPP) tidak mencapai keekonomian. Oleh karena itu, pemerintah pun akhirnya merevisi kebijakannya tersebut.
Saat ini, draft revisi tengah dalam tahap finalisasi dan rencananya sore ini ditandatangani. "Yang pasti peraturan tidak pernah berlaku surut. Begitu permen revisi terbit (revisi Permen 12/2017), apa bisa disesuaikan enggak (kontrak jual beli listrik berbasis EBT) yang kemarin? Jawabannya enggak," tegasnya di Gedung Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (4/8/2017).
Pekan ini, setidaknya ada 53 pengembang listrik swasta yang melakukan penandatanganan perjanjian jual beli listrik berbasis EBT dengan PT PLN (Persero). Awalnya, PLN berencana teken kontrak dengan 64 perusahaan, namun tiba-tiba 11 perusahaan secara sepihak membatalkan rencana tersebut.
Rida tak mengetahui ikhwal pembatalan sepihak dari 11 IPP tersebut. Namun dia menengarai, batalnya pengembang tersebut untuk membeli listrik dari PLN akibat Permen 12/2017 tersebut.
"Yang kemarin tidak jadi tandatangan (PPA) terus berharap disesuaikan (dengan revisi Permen 12/2017), itu patut diduga seperti itu. Tapi kita belum terima alasan resminya (kenapa batal). Tapi intinya tidak bisa," tandasnya.
(ven)