Permen Ekosistem Disebut Akan Ganggu Kemandirian Ekonomi

Selasa, 08 Agustus 2017 - 03:13 WIB
Permen Ekosistem Disebut...
Permen Ekosistem Disebut Akan Ganggu Kemandirian Ekonomi
A A A
JAKARTA - Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) meminta pemerintah merevisi Peraturan Menteri (Permen) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor P.16/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 tentang Pedoman Teknis Pemulihan Fungsi Ekosistem Gambut. Ketua Apkasido Asmar Aryad mengatakan, permen tersebut berpotensi mengganggu kemandirian ekonomi nasional akibat berkurangnya luasan perkebunan sawit rakyat yang telah ada sejak ratusan tahun lalu.

Menurutnya, penerapan permen kontroversial itu mempunyai dampak ganda yang berakhirnya pada hancurnya kemandirian ekonomi nasional. “Ini lonceng kematian bagi perkebunan sawit rakyat. Bakal terjadi turunnya pendapatan asli daerah (PAD), meningkatnya pengangguran, serta beragam konflik sosial. Permen ini tidak menunjukkan keberpihakan pada rakyat,” katanya di Jakarta, Senin (7/8).

Sejak ratusan tahun lalu, Ia menambahkan lebih dari 60% konsesinya berada di lahan gambut, karena terbatasnya lahan mineral. Namun kini, petani akan direlokasi ke tempat lain. “Apakah lahan mineral yang dijanjikan pemerintah ada dan di mana lokasinya. Ataukah kami akan direlokasi ke Kalimantan atau Papua. Kalau iya, bagaimana caranya. Apakah aturan itu, tidak akan menimbulkan persoalan dan gejolak ekonomi di daerah?” katanya.

Menurut Asmar, permen ini tumpang tindih dengan aturan yang dikeluarkan Kementerian Pertanian (Kementan). Misalnya, Kementan menerbitkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 14/Permentan/pl.110/2/2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Budidaya Kelapa Sawit di lahan gambut yang memiliki kedalaman di bawah 3 meter. “Ini membingungkan rakyat. Pemerintah perlu instropeksi diri,” katanya.

Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) SAMADE (Sawitku Masa Depanku) Tolen Ketaren menyatakan, dampak terbesar pemberlakukan permen tersebut adalah turunnya pendapatan masyarakat. Sebab saat ini, penanaman sawit masih menjadi pilihan masyarakat karena usaha alternatif lain yang disarankan pemerintah hasilnya tak memuaskan. “Sehingga sawit tetap menjadi pilihan rakyat,” katanya.

Dia menegaskan, pemerintah perlu membimbing masyarakat untuk menanam beragam komoditas, termasuk sawit serta menerapkan pemanfaatan gambut ramah lingkungan untuk perbaikan ekonomi rakyat. Sementara Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit PIR Riau Sofyan Harahap menilai, aturan itu bisa menimbulkan banyak persoalan baru seperti pengangguran.

Oleh karena itu, dia mengharapkan, pemerintah juga merevisi Permen No 15/2017 tentang tata cara pengukuran muka air tanah di titik penataan ekosistem gambut. “Aturan itu sebaiknya direvisi dengan kisaran antara 50-70 cm. Jika dipaksakan, seluruh petani sawit di Riau pasti berurusan dengan hukum karena aturan itu tak mungkin diterapkan,” kata dia.

Sedangkan Ketua Umum Forum Tani Indonesia (Fortani) Wayan Supadno mengharapkan, perkebunan sawit rakyat yang sudah dibebani izin atau telah ada sejak ratusan tahun lalu, sebaiknya tidak diganggu. Diketahui, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya, Februari lalu mengeluarkan aturan pelaksanaan pemulihan ekosistem gambut melalui empat Peraturan Menteri (Permen) sebagai turunan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.

Keempat permen tersebut yakni PermenLHK P.14/2017 tentang Tata Cara Inventarisasi dan Penerapan Fungsi Ekosistem Gambut, PermenLHK P.15/2017 tentang Tata Cara Pengukuran Muka Air Tanah di Titik Penataan Ekosistem Gambut, PermenLHK P.16/2017 tentang Pedoman Teknis Pemulihan Fungsi Ekosistem Gambut, serta PermenLHK Nomor 17 Tahun 2017 tentang Perubahan P.12/2015 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI).
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0898 seconds (0.1#10.140)